Ketukan palu dari hakim ketua, mengakhiri biduk rumah tangga Nirma bersama Yasir Huda.
Jalinan kasih yang dimulai dengan cara tidak benar itu, akhirnya kandas juga ... setelah Nirma dikhianati saat dirinya tengah berbadan dua.
Nirma memutuskan untuk berjuang seorang diri, demi masa depannya bersama sang buah hati yang terlahir tidak sempurna.
Wanita pendosa itu berusaha memantaskan diri agar bisa segera kembali ke kampung halaman berkumpul bersama Ibu serta kakaknya.
Namun, cobaan datang silih berganti, berhasil memporak-porandakan kehidupannya, membuatnya terombang-ambing dalam lautan kebimbangan.
Sampai di mana sosok Juragan Byakta Nugraha, berulangkali menawarkan pernikahan Simbiosis Mutualisme, agar dirinya bisa merasakan menjadi seorang Ayah, ia divonis sulit memiliki keturunan.
Mana yang akan menang? Keteguhan pendirian Nirma, atau ambisi tersembunyi Juragan Byakta Nugraha ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 21
Juragan Byakta tak jadi melangkah, ia berhenti tepat di hadapan Nirma. Menatap dalam pada netra coklat tua yang kelopak nya sembab. “Percayalah! Semuanya akan baik-baik saja. Yang perlu kau lakukan menyiapkan diri, sebab lusa kita akan pergi ke kampung halamanmu, menghadiri acara akikah si kembar sekaligus meminta doa restu.”
Hati Nirma berdesir, tubuhnya bergetar halus, hal sulit lainnya telah menunggu di depan mata. “Baik. Mas … hati-hati!”
“Ya, saya pergi dulu. Assalamualaikum.” Byakta melangkah lebar, diikuti oleh Ron. Sedangkan sang pengacara sudah menunggu di dalam mobil.
“Waalaikumsalam.” Nirma kembali naik ke lantai dua, ia membuka pintu yang terhubung pada balkon, tangannya terentang menggenggam besi pembatas.
“Akhirnya aku kalah, memilih menyerah dan mencari sandaran berwujud nyata daripada gigih berjuang seorang diri,” monolognya seraya terkekeh sumbang.
“Tak mengapa, semua ini demi Kamal, dan jua menjauhkan keluarga ku dari mulut julid para manusia tak bertanggung jawab. Perihal hati bisa dipikirkan nanti, yang terpenting … putra ku terlindungi,” sambungnya, tak terasa air mata jatuh membasahi pipi.
Menjadi janda di usia muda bukanlah keinginannya, tetapi stigma negatif akan statusnya itu pun tak bisa dipandang sebelah mata!
Terkadang manusia hanya pintar menghujat, tanpa mau berusaha mencari tahu apalagi ikut berempati. Nirma sadar akan hal itu, masa kecilnya pun selalu bersinggungan dengan status Janda yang disandang oleh ibunya.
Dahulu, sewaktu ia masih berumur 8 tahun, ibunya sudah jadi seorang janda, sebab ditinggal pergi untuk selamanya oleh almarhum bapak Abidin.
Nirma kecil sering mendengar para mulut penghujat sedang membicarakan status ibunya yang termasuk janda muda, bahkan sesekali dicurigai sebagai wanita penggoda, padahal jelas-jelas pakaian ibunya tertutup rapat, serta sifat dan sikapnya tidak dibuat-buat seperti wanita mauan.
Namun, tetap saja mereka yang tidak memiliki hati nurani sering menatap sinis. Memendam kecemasan berlebihan, takut bila suaminya digoda oleh Mak Syam.
Apapun yang ibunya lakukan tetap salah dimata mereka, berpakaian sedikit bagus dibilang sengaja ingin tebar pesona, mencari perhatian kaum Adam. Berbincang dengan lawan jenis, langsung dicap perempuan gatal.
Nirma banyak belajar dari pengalaman ibunya, ia tentu tidak ingin kembali menjadi beban, setelah berhasil menorehkan luka dalam.
“Ya Allah,” wanita muda itu menghela napas berat.
“Ya Rabb. Tolong ajari hamba caranya ikhlas menerima semua ketentuan-Mu ini. Maaf, bukan maksud hati ingin mempermainkan sebuah pernikahan, tapi hamba memang membutuhkan status demi masa depan Kamal. Agar ia tak lagi dirundung, dijadikan bahan tertawaan, serta aib hamba dikulik lebih dalam lagi.” Nirma memandangi telapak tangannya yang terdapat beberapa titik luka.
‘Tak mengapa bila kami tidak saling cinta, asal ia menyayangi Kamal dengan segenap jiwa raganya, maka aku pun akan memperlakukan dirinya layaknya seorang Raja.’
Nirma telah bertekad ingin membalas kebaikan juragan Byakta dengan pengabdiannya sebagai seorang istri.
“Daripada memikirkan hal yang belum tentu terjadi, lebih baik menjaga amanah yang telah Tuhan titipkan, bukan?” ia kembali bermonolog, men sugesti dirinya sendiri, mencoba mengenyahkan pikiran negatif yang bertebaran.
Wanita berwajah sendu itu lebih memilih memperjuangkan, menjaga anugerah terindah dari Tuhan, yakni Kamal Rashad. Ia mengesampingkan segala konsekuensi bila menjadi istri seorang Byakta Nugraha. Mencoba menjalani kehidupan yang sudah pasti daripada berharap pada sesuatu semu.
“Bukankah sudah saatnya aku melepaskan bayang-bayang Mbak Mala? Dulu, ia selalu menjadi garda terdepan bagi diri ini, tetapi sekarang dirinya telah berkeluarga dan memiliki kehidupan sendiri. Tak elok rasanya terus menerus merecokinya,” ia menatap jalanan raya yang banyak dilalui kendaraan.
“Ya Tuhan, jalan yang hamba pilih ini sudah benar bukan? Bila tak jua, hamba mohon permudah lah langkah kaki ini dalam melewati setiap aral melintang,” mohon nya sungguh-sungguh.
“Ku rasa memang sudah betul, untuk sekarang hanya Linda dan lingkup kerja yang tahu bila Kamal anak di luar nikah. Hal tersebut begitu riskan, bisa saja menyebar ke kampung Mamak. Lagi dan lagi, putra ku yang akan kena getahnya. Dengan menikah dengan juragan Byakta, setidaknya status ku dan Kamal kuat. Setiap orang akan berpikir ulang bila ingin berbicara sembarangan tentang kami.” Nirma mengangguk, meyakini keputusannya sudah tepat.
Ya, warga kampung transmigrasi tempat di mana ibunya tinggal, hanya tahu bila Kamal lahir prematur. Semua itu adalah skenario rancangan mantan ibu mertuanya, yang tidak mau dicap jelek lantaran sang menantu hamil di luar nikah.
Beruntungnya lagi, Nirma melahirkan di rumah sakit kabupaten yang letaknya jauh dari kampung halaman, jadi tidak ada satupun warga kampung yang tahu bagaimana proses kelahiran serta fisik Kamal.
.
.
Sementara di ruang rawat rumah sakit pelosok kabupaten, seorang wanita tak henti-hentinya merintih, wajahnya terasa begitu perih, serta sekujur tubuhnya sakit semua.
Linda kesulitan berbicara, wajahnya membengkak, bibirnya rusak, terdapat banyak bekas luka akibat duri di cabut.
‘Sialan kau Nirma! Kali ini dirimu takkan lagi bisa selamat. Siap-siap membusuk dipenjara wahai wanita Sundal!’
***
Mobil hardtop warna hitam memasuki halaman rumah sakit pelosok kabupaten.
Sosok Ron yang berbadan tegap, perut rata, serta rambut gondrong, terlihat turun dari jok kemudi, ia bergegas membuka pintu penumpang.
Juragan Byakta, kali ini penampilannya bak anak muda. Celana jeans longgar, jaket kulit, tidak ketinggalan kaca mata hitam, topi bewarna senada. Ia mengedarkan pandangannya ke setiap sisi bangunan, lalu mendecih muak.
Aji sang pengacara duda muda, tersenyum remeh kala melihat sosok pria seumuran juragan Byakta, melangkah tergesa-gesa mendekati mereka.
Seorang perawat muda berlari kecil seraya menjinjing tas selempang.
“Abang!” Nersi bergegas mendekati abang kandungnya, lalu menyalami tangan besar Ron.
"Ini tas milik Nyonya Nirma." Ia mengulurkan tas berwarna biru, yang langsung diambil oleh Ron, dan di masukkan ke dalam mobil.
“Juragan.” Ia menangkupkan tangan, menunduk sungkan pada sosok yang begitu berjasa dalam hidupnya.
“Di mana si Tolol itu dirawat, Dek?” tanya Ron, nada suaranya terdengar sangat tegas.
“Di bangsal Anggrek. Kamar nomor 19, Bang,” beritahu nya.
“Nersi ….” juragan Byakta memanggil salah satu anak asuh yang ia biayai pendidikannya sampai menjadi seorang perawat.
“Iya, Juragan?” Nersi mengangguk, tidak berani menatap.
“Terima kasih banyak atas bantuannya,” ucapnya tulus.
“Sama-sama, Juragan,” hatinya dipenuhi rasa bangga, sebab ia berguna bagi orang paling berjasa bukan bagi dirinya saja, tetapi seluruh keluarganya.
Kehadiran juragan Byakta, mengubah perekonomian keluarga Nersi yang dulu sangat miskin.
Ron ikut juragan Byakta, dijadikan salah satu orang kepercayaannya. Sedangkan Nersi dibiayai sekolahnya, sang ibu yang kala itu mengidap stroke, diberikan pengobatan terbaik. Sedangkan rumah reot mereka, dibangun ulang menjadi layak huni.
Nersi lah yang menjadi mata-mata juragan Byakta di RS ini, ia terus memantau Nirma. Menjaga dalam jarak aman, mengabari setiap detailnya kepada sang juragan.
“Bang Byakta, Maaf. Saya baru tahu kejadian tak mengenakkan ini.” Kening David berkeringat, napasnya terdengar terengah-engah, memandang sungkan pada sang juragan.
“Dulu saya menitipkannya padamu untuk dipekerjakan secara layak, bukannya diperlakukan tak manusiawi! Apa kau tak sayang bila bangunan yang luasnya tak seberapa ini, saya ratakan menggunakan buldozer …?”
Deg.
.
.
Bersambung.
restu dah dikantongi tinggal gasssss polllll resepsi yeeeeeeeee
Gak tahu aja mereka, kalau juragan Byakta dan Aji sudah mepersiapkan seminggu sebekum hari H.nya.