NovelToon NovelToon
Masa Lalu Pilihan Mertua

Masa Lalu Pilihan Mertua

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Poligami / Selingkuh / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami
Popularitas:6.4k
Nilai: 5
Nama Author: Thida_Rak

Aku, Diva, seorang ibu rumah tangga yang telah menikah selama tujuh tahun dengan suamiku, Arman, seorang pegawai negeri di kota kecil. Pernikahan kami seharusnya menjadi tempat aku menemukan kebahagiaan, tetapi bayang-bayang ketidaksetujuan mertua selalu menghantui.

Sejak awal, ibu mertua tidak pernah menerimaku. Baginya, aku bukan menantu idaman, bukan perempuan yang ia pilih untuk anaknya. Setiap hari, sikap dinginnya terasa seperti tembok tinggi yang memisahkanku dari keluarga suamiku.

Aku juga memiliki seorang ipar perempuan, Rina, yang sedang berkuliah di luar kota. Hubunganku dengannya tak seburuk hubunganku dengan mertuaku, tapi jarak membuat kami tak terlalu dekat.

Ketidakberadaan seorang anak dalam rumah tanggaku menjadi bahan perbincangan yang tak pernah habis. Mertuaku selalu mengungkitnya, seakan-akan aku satu-satunya yang harus disalahkan. Aku mulai bertanya-tanya, apakah ini takdirku? Apakah aku harus terus bertahan dalam perni

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thida_Rak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16 Masa Lalu Pilihan Mertua

Pagi itu di rumah Arman, suasana dapur sedikit lebih sunyi dari biasanya. Bu Susan duduk di kursi rotan favoritnya sambil menikmati teh manis, sedang Arman sibuk membuka-buka dokumen di meja makan.

Langkah Arini terdengar dari arah belakang rumah, agak tergesa. Wajahnya tampak serius, tak seperti biasanya yang tenang dan datar.

"Bu, aku mau bicara." Suaranya tegas, membuat semua orang di ruangan langsung menoleh.

"Hah? Bicara soal apa, Rin?" tanya Bu Susan, mengangkat alis, tak siap dengan perubahan suasana.

"Soal Kak Diva."

"Lagi-lagi itu orang. Sudah pergi kok masih juga"

"Diam dulu, Bu." potong Arini berani. "Sekali ini aja... dengar dulu."

Bu Susan menatap Arini tajam. "Kamu bicara sama ibu pakai nada seperti itu, Rin?"

"Arin bicara karena saya tahu apa yang Ibu dan Bang Arman lakukan salah. Ibu paksa abang nikah sama masa lalunya, Ibu hina Kak Diva, padahal yang paling banyak ngalah itu dia."

"Hei! Jangan ikut campur urusan orang tua!" bentak Bu Susan.

Arman hanya menunduk.

Arini melangkah lebih dekat.

"Arini diam selama ini bukan karena Arin setuju, Bu. Tapi karena Arin takut. Sekarang Arin ngga mau lagi. Kak Diva bukan mandul, bukan pembawa sial. Dia istri sah, dan Bang Arman yang lupa caranya bersyukur."

"Cukup, Arini!" suara Bu Susan meninggi, nadanya geram.

"Ngga, belum cukup, Bu." Arini menatap ibunya tajam. "Kalau Ibu tetap maksa Bang Arman menikah siri sama Mbak Raya, Arin sendiri yang akan cerita ke semua orang, termasuk tempat kerja Bang Arman. Biar semua tahu siapa yang merusak rumah tangga Kak Diva."

Arman menoleh cepat. "Arini, kamu serius?"

"Serius, Bang. Karena kalau bukan kita yang bela kebenaran, siapa lagi?"

Hening.

Hanya detik jam dinding yang terdengar.

Bu Susan terdiam. Tak ada jawaban. Wajahnya merah padam, tapi kali ini bukan karena menang… tapi karena terpukul oleh kebenaran dari anaknya sendiri.

Arman berdiri dari kursinya dengan cepat. Matanya menatap Arini tajam, nada suaranya tinggi, penuh emosi yang campur aduk.

"Kamu kok bisa-bisanya bentak Ibu, Rin? Sejauh apapun salahnya Ibu, dia tetap orang tua kita!"

Arini menatap kakaknya dengan tenang meskipun hatinya berdebar.

"Aku tahu, Bang. Aku pun nggak pernah mau menyakiti hati Ibu. Tapi sampai kapan Bang Arman terus diem dan biarin Kak Diva dilukai begitu?"

"Bukan begitu caranya, Rin!" bentak Arman.

Ia melirik ibunya yang terlihat terkejut dan tersinggung.

"Kamu tahu aku juga bingung, Rin. Aku di tengah! Ibu maksa, Diva ninggalin... Kamu pikir aku ngga sakit?"

"Tapi Bang Arman juga yang diam saat Kak Diva dihina. Kak Diva nunggu Bang Arman bicara, nunggu dibela, tapi yang dia lihat justru... abang membiarkan semuanya."

Arman terdiam. Nafasnya berat.

Ia tahu, Arini benar.

"Aku cuma... aku takut, Rin. Takut Ibu nggak anggap aku anak lagi. Takut kehilangan semuanya."

Arini melangkah pelan, suaranya kini lebih lembut.

"Tapi, Bang... kalau semua itu didapat dengan menyakiti orang yang tulus sayang sama abang, apa pantas disebut ‘semuanya’?"

Arman menunduk. Dalam diamnya, ia merasa dinding yang sudah lama ia bangun perlahan runtuh. Kata-kata Arini menamparnya lebih dari sekadar marah… itu suara hati yang sudah lama ingin ia teriakkan sendiri.

Bu Susan menatap anak-anaknya bergantian, wajahnya sulit dibaca.

Arman Menyendiri di Kamar

Arman mengunci pintu kamarnya. Sunyi. Hanya suara detak jam dan jantungnya sendiri yang terdengar. Ia duduk di tepi ranjang, wajahnya tertunduk dalam genggaman tangan.

Bayangan wajah Diva menari-nari dalam pikirannya saat tersenyum lembut, saat diam memendam luka, hingga saat pergi dengan mata berkaca. Ia sadar, selama ini ia terlalu banyak diam. Terlalu takut untuk kehilangan ibunya… sampai ia nyaris kehilangan istrinya.

"Apa aku ini pengecut?"

"Kalau cinta tapi tidak bisa melindungi, apa itu pantas disebut suami?"

Ia menarik nafas panjang, dadanya terasa sesak. Kemudian pelan-pelan, ia mengambil ponsel dan menatap layar kosong… tapi tetap tak berani mengetik apa pun.

Di Rumah Kak Dira

Sementara itu di rumah kakaknya, Diva duduk diam di balkon samping rumah. Pagi itu cerah, tapi tidak dengan hatinya. Kak Dira duduk di sebelahnya, menyodorkan teh hangat.

"Kamu yakin nggak mau kembali dulu, Div?"

"Aku belum sanggup, Kak. Aku takut... aku makin dihina. Aku nggak bisa pura-pura kuat terus."

Kak Dira meraih tangan adiknya, menggenggam erat.

"Kamu udah cukup kuat selama ini. Tapi kamu juga berhak nentuin arah hidupmu sendiri, Div. Jangan biarkan orang lain mendikte kamu terus."

Diva mengangguk pelan. Di balik matanya yang lelah, ada percikan keberanian yang mulai tumbuh.

"Kalau dia masih diam, berarti jawabannya sudah jelas, kan Kak?"

"Kalau dia berubah dan melawan...?" tanya Dira.

Diva diam sejenak, lalu menjawab lirih,

"Aku mungkin bisa memaafkan... tapi aku nggak akan lupa."

Ruang Tengah

Arman berdiri di depan ibunya yang duduk santai di kursi rotan, sambil memegang gelas teh hangat. Wajahnya datar, tapi matanya menyimpan keraguan.

"Bu..." ucap Arman lirih.

"Hmm? Ada apa, Man?" tanya Bu Susan tanpa menoleh.

Arman menelan ludah. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya.

"Aku... akan nurutin keinginan Ibu. Aku akan menikah sama Raya. Siri. Tapi... kita sembunyikan ini dari Diva. Biar dia nggak tahu. Biar nggak ada yang tersakiti."

Bu Susan langsung menoleh dengan mata membelalak senang.

"Man, beneran? Astaga, akhirnya kamu nurut juga sama Ibu!"

Arman hanya diam. Di dalam dadanya, rasa bersalah berkecamuk seperti badai.

"Tapi janji, Bu. Jangan ada yang tahu. Apalagi Diva. Dia... cukup menderita."

"Iya, iya... asal kamu bisa bahagiain Raya juga. Udah, biar Ibu yang atur semuanya." Bu Susan menepuk tangan anaknya dengan bangga, seolah baru saja memenangkan sesuatu.

Arman berpaling. Menatap keluar jendela. Hatinya tak tenang. Seolah telah memilih jalan yang akan membuatnya kehilangan segalanya.

"Maaf ya, Div..." batinnya pelan,

"Aku terlalu takut kehilangan kamu dan Ibu, sampai harus mengkhianati."

Rumah Kak Dira

Diva duduk di tepi ranjang, jendela terbuka sedikit, membiarkan angin pagi masuk perlahan. Tatapannya kosong mengarah ke luar, tapi pikirannya berkecamuk. Hatinya terasa berat sejak bangun tidur.

"Kenapa ya... rasanya nggak enak banget di dada," gumamnya pelan sambil memeluk lututnya sendiri.

Ia memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.

"Mungkin aku cuma lelah. Terlalu banyak mikir," katanya meyakinkan diri.

Tapi firasat itu tetap menggantung di benaknya. Seperti ada sesuatu yang sedang terjadi. Entah apa. Entah di mana.

Ia menoleh ke arah ponsel yang tergeletak di meja kecil. Tidak ada pesan. Tidak ada panggilan. Hampa.

Tiba-tiba, ia menggenggam dadanya sendiri, mencoba menenangkan detakan jantung yang tidak biasa.

"Apa mungkin... Arman sedang memutuskan sesuatu?"

Ia menggeleng cepat, mencoba menepis pikiran itu.

"Nggak boleh su'udzon. Aku harus tenang. Harus jernih. Ini bukan waktunya untuk kalut."

Diva pun bangkit, mengambil air wudhu, lalu menggelar sajadah. Saat sujud, ia meneteskan air mata tak tahu pasti kenapa.

1
Pudji hegawan
cerita yg bagus
Thida_Rak: Terima kasih kak🙏🏻🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!