NovelToon NovelToon
From Duks Till Dawn

From Duks Till Dawn

Status: sedang berlangsung
Popularitas:152
Nilai: 5
Nama Author: Cherry_15

Seorang perempuan cantik dan manis bernama Airi Miru, memiliki ide gila demi menyelamatkan hidupnya sendiri, ditengah tajamnya pisau dunia yang terus menghunusnya. Ide gila itu, bisa membawanya pada jalur kehancuran, namun juga bisa membawakan cahaya penerang impian. Kisah hidupnya yang gelap, berubah ketika ia menemui pria bernama Kuyan Yakuma. Pria yang membawanya pada hidup yang jauh lebih diluar dugaan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cherry_15, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

09. Melelehkan Musim

“Jadi, apa ada kejujuran yang mau kau sampaikan hari ini?” tanya Airi tiba-tiba, ditengah obrolan santai sembari menikmati camilan paginya.

“Apa!? Ah? Soal itu? Hmm.. bagaimana cara mengatakannya ya? Anu.. maaf, sebenarnya aku.. aku adalah.. manusia setengah serigala.” jawab Kuyan gelagapan, namun diselingi candaan juga pada akhirnya.

“Rakuyan!” Sentak Airi, mulai kesal dengan pria yang tak pernah serius. Atau memang ingin mengalihkan topik pembicaraan?

“Nah, iya! Benar! Maksudku itu! Aku adalah… siapa tadi nama yang kau sebut?” sahut Kuyan, pura pura lupa.

“Sebut namamu dengan mulutmu sendiri!” ucap Airi, malas terlalau lama bermain-main dengan orang yang pandai bermain peran.

Kuyan menghela napas pasrah, lalu sedikit tertawa kecil sebelum menjawab dengan nada bicara yang santai.

“Baiklah, baiklah! Sebenarnya aku adalah Rakuyan Yakuma. Maaf soal candaan ku yang tadi. Kau begitu menggemaskan saat sedang marah, aku jadi keterusan meledekmu,”

Kali ini, Airi yang menghela napas lega. “Baiklah, Kuma. Lalu terkait kasus yang menimpamu, apa kau bersedia untuk menceritakannya lebih detail dan jujur? Sepertinya para pembaca juga sudah tak sabar menantikan jawabannya.”

“Memangnya ini novel!?” Sentak Kuyan spontan, heran dan terkejut mendengar Airi tiba-tiba berbicara tentang pembaca. Sepertinya ia belum sadar akan dirinya yang memang tokoh novel.

“Oh? Bukan ya?” tanya Airi dengan polos, mulai meragukan fakta itu.

“Bukan!” jawab Kuyan dengan penuh ketegasan dan keyakinan. Sepertinya mereka berdua memang tidak sadar akan fakta itu.

Cukup bercandanya, waktunya kembali pada cerita yang sesungguhnya.

Airi yang sempat bercanda akan hadirnya pembaca itu, hanya terkekeh melihat Kuyan mengamuk. Lalu beberapa saat setelahnya suasana menjadi hening.

Kuyan menghela napas berat, merenungi setiap pilihan yang akan ia ambil selanjutnya. Ia sangat ingin menceritakan segalanya dengan jujur, namun setiap ingatan akan tragedi itu hanya membuat dadanya terasa sesak.

Wajahnya mulai pucat, bibir dan kukunya membiru, juga tangan beserta jari jemarinya bergetar. Kepalanya terasa cukup pening, terutama ketika mencoba mengingat tentang perempuan berparas mirip dengan Airi yang sempat ia lihat kala itu.

Ia ingin memastikan terlebih dahulu, siapa perempuan tersebut. Apakah memang benar Airi atau bukan. Jika benar, akan begitu sulit baginya untuk bercerita dengan jujur.

Dengan segala pertimbangan, Kuyan akhirnya mengambil keputusan yang cukup berat dan menantang. “Maaf sebelumnya… kau pernah bercerita tentang orang tuamu yang telah meninggal itu,” ucapnya mulai bersuara.

Airi terbelalak, sedikit tersentak mendengar itu. “Mengapa kau membahas mereka?” tanyanya, rasa takut merayap di setiap inci sel kulitnya.

“Entahlah. Aku hanya… maaf, maksudku jika kau ingin mendengar kejujuran, kurasa kau harus siap untuk jujur lebih dulu? Bukankah itu adil? Saling terbuka dan jujur?” jawab Kuyan, sedikit memancing Airi untuk bercerita lebih dulu.

Kali ini, Airi yang menghela napas berat, merenungi pilihannya apakah mampu menjawab atau tidak. Wajahnya memucat, dengan bibir yang biru.

Tragedi tiga bulan silam, kembali membayang dalam sudut matanya yang membelalak. Ceceran darah yang membekas pada jalan, bau hanyirnya yang kembali tercium, juga kue tart mahal yang sengaja ia hempaskan hingga hancur berantakan, ketika menyaksikan kedua raga tak mampu mengatupkan mata tanpa nyawa.

Airi selalu berjuang keras untuk melupakannya, namun pemandangan mengerikan akan hari itu kerap menghantui bagai sebuah mimpi buruk, yang terasa begitu nyata.

Dan kala masa kelamnya bangkit, dadanya terasa terhimpit oleh sesuatu yang tak mampu dikeluarkan. Lidahnya kelu, seolah mendorong paksa suara yang menggantung pada tenggorokan. Tanganya terasa teramat dingin, hingga tiada henti bergetar. Membuatnya menyadari satu hal.

“Maaf, tapi.. ini bukan tentang kejujuran. Melainkan tentang kesiapan hati untuk membuka luka yang sudah dengan susah payah kubuat terhenti.” jawab Airi, akhirnya bisa bersuara.

Kuyan menghela napas ambigu mendengarnya, tak mengerti ingin meresponnya seperti apa. Di satu sisi, ia lega karena tak perlu menceritakan kisah kelamnya. Namun disisi lain, ia kesal tak menemukan jawaban dari pertanyaan yang mengganggu pikirannya.

“Jika kau sudah memahami akan sulitnya membuka luka lama, berhentilah banyak bertanya. Kau boleh menanyakan itu lagi, jika kau sendiri sudah siap menjawabnya.” ucap Kuyan dengan suara yang begitu dingin, namun penuh dengan kelembutan.

Kali ini, Airi yang menghela napas ambigu. “Aku mengerti.” ucapnya lembut.

“Sepertinya memang tak perlu lagi membahas masa lalu? Sebaiknya kita fokus bahagia saja di masa kini. Urusan masa depan, biarlah dipikirkan saat sudah terjadi.” lanjutnya.

Kuyan mengangguk singkat, menyetujui apa yang dikatakan oleh Airi meski tak terucap dengan kata. Suasana kembali menjadi sunyi, mereka hanya terdiam menatap langit-langit kamar sembari bersandar pada kayu tempat tidur, meluruskan kaki di lantai.

Larut dalam lamunan masing-masing, mereka membiarkan isi kepala berkelana pada apapun yang terlintas.

Airi yang masih berusaha mencari hal menyenangkan untuk mengalihkan rasa rindunya akan keluarga, hanya terpejam sembari mengatur napasnya agar tetap tenang.

Sedangkan Kuyan, diam-diam melekatkan pandangan pada Airi. Semakin lama diperhatikan, ia semakin menyadari sesuatu yang sebelumnya tak pernah ia pedulikan.

Gadis yang tadinya ia tolak dengan perlakuan kasarnya itu, rupanya begitu cantik dan memikat. Dengan wajah polosnya yang terpejam damai, ia jadi tampak lebih manis.

Jujur saja, Kuyan tak ingin melepas pandangannya dari Airi. Ia bisa merasakan ketenangan hanya dengan melihat perempuan tersebut. Namun belum mampu memahami, bagaimana harus memberi nama pada perasaannya.

Satu yang ia tahu pasti, dirinya tak pernah ingin jauh dari perempuan yang hadir dalam hidupnya dengan cara yang mengejutkan ini.

Sesekali pertanyaan terlintas dalam benaknya, apakah Airi juga merasakan hal yang sama? Namun jika pun mereka memiliki perasaan yang sama, apakah ia mampu menjaganya agar kebodohan yang sama tidak terulang untuk kedua kalinya?

Entah mengapa ketika memikirkannya, dada Kuyan terasa begitu sakit. Rasanya mirip seperti yang ia rasakan pada perempuan penghancur itu, namun kali ini sedikit berbeda.

“Kuma,” panggil Airi tiba-tiba, dengan matanya yang masih terpejam. Membuyarkan lamunan panjang Kuyan.

“Mengapa kau memanggilku begitu? Aku lebih suka nama Kuyan, orang-orang di sini mengenalku dengan nama itu.” protes Kuyan, tak terlalu suka dengan nama pemberian Airi.

“Tidak kreatif! Kau tahu, hal apa yang paling membuatku mudah menyadari identitas aslimu? Pertama, karena nama samaranmu masih tidak beda jauh. Kedua, dari suara yang sangat khas. Dan yang ketiga aku baru menyadarinya semalam saat kau menatapku begitu dekat, wajahmu amat mirip dengannya.”

Kuyan mendengarkan dengan penuh perhatian. “Begitu rupanya? Kau juga merasa familiar?” gumamnya dengan suara yang amat kecil.

“Apa!?” untungnya Airi tidak mendengar.

Kuyan sedikit menghela napas lega. “Kau tuli ya? Tadi ku bilang, lalu apa bedanya dengan Kuma? Para penggemar sudah mengenalku dengan nama Yakuma, yang juga tidak terlalu jauh dari nama yang kau berikan padaku.”

“Tapi.. tadi rasanya kau tidak berkata sepanjang itu?” Airi masih ragu, ia bertanya dengan polosnya kembali membuka mata untuk menatap Kuyan penuh tanya.

“Aku baru menambahkannya barusan, agar lebih lengkap dan mudah dimengerti oleh otakmu yang lambat itu!” ketus Kuyan, mencoba mencari alasan supaya tidak disalahkan.

“Lalu, nama apa yang lebih cocok untukmu?” tanya Airi dengan nada bicara dan tatapan yang polos.

Hening, lagi-lagi mereka tenggelam dalam kesunyian. Kali ini bisa dipastikan, isi pikiran kedua insan itu sama. Mencari nama yang cocok untuk Kuyan.

Bahkan pose mereka saat berpikir pun, teramat mirip. Terduduk sila dilantai, sembari memegang dagu dan mengembungkan pipi. Sungguh pose yang menggemaskan.

“Rakun?” Airi memberi usul.

“Kau kira aku hewan!?”

“Kuman?” lagi, Airi sembarangan memberi usul.

“Jangan bercanda, Airi!”

Airi tertawa kecil, membuatnya tampak jauh lebih manis. Juga membuat hati Kuyan berdesir melihatnya. Sempat ia mengira bahwa telah jatuh hati, namun segera disangkal dengan alasan belum mengenalnya terlalu dekat.

“Maaf, maaf. Bagaimana kalau Kuyang?” Airi justru semakin sengaja meledeknya.

“Airi!” murka Kuyan pada perempuan yang terus saja meledeknya. Ia semakin yakin, bahwa tak mungkin menyukai orang menyebalkan itu.

Yang sedari tadi membuat jengkel, justru tertawa lepas setelah dibentak.

“Lalu, harus kusebut dengan nama apa?” tanyanya masih sembari tertawa.

“Ryuka?” lanjutnya asal sebut nama.

Lagi dan lagi mereka ditelan kebisuan, kali ini sembari saling menatap dengan mata yang membola. Tak menyangka, ditengah pencarian asalnya tertemu juga nama yang cukup keren.

“Boleh juga idemu!” puji Kuyan yang sangat menyukai nama barunya.

“Oh, jelas! Airi Miru, memang selalu bisa diandalkan dalam hal memberi nama!” bangga Airi dengan penuh kesombongan.

“Aku menyesal, telah memujimu tadi!” ucap pria yang baru saja berganti nama menjadi Ryuka, dengan nada bicara yang ketus sembari memutar kedua bola matanya malas.

“Tapi, kau suka kan?” Airi merayu Ryuka, dengan senyuman jahil sembari menyentuh pipi pria itu menggunakan jari telunjuknya.

“Berhenti menyentuhku!” tolak Ryuka tak ingin disentuh, sembari menjauhkan tangan Airi dari pipinya.

“Ah..! Kau ini suka pura-pura menolak ya? Padahal sebenarnya, kau juga ingin!” Airi terus meledek Ryuka, sembari mencoba menyentuh pipi pria itu dengan tangannya yang satu lagi.

Namun, karena salah satu tangannya masih digenggam Ryuka, Airi justru hilang keseimbangan dan jatuh pada dekapan pria dihadapannya.

Tubuh mereka hampir bersentuhan, hingga mampu merasakan hembusan napas masing-masing. Untuk beberapa waktu, mereka sempat terdiam dan saling memandang satu sama lain.

Bola mata hitam jernih milik Ryuka, begitu memikat hati Airi. Terutama pada bagian choco chips dibawahnya, yang membuat pria itu tampak lebih manis.

Di sisi lain, Ryuka tak mampu melepas pandangannya dari bibir Airi yang tampak lembut juga dengan choco chips dibawahnya sebagai pemanis.

Suara degup jantung mereka saling tumpang tindih, dan rona wajah mereka yang saling menular juga menambah suasana gugup diantara keduanya.

Namun Ryuka dengan senyum jahilnya, mampu dengan mudah memutar balikan posisi. Kini, dirinya berhasil menyudutkan Airi pada kayu tempat tidur, lalu menatap gadis manis itu dengan sorot mata yang intens.

“Mengapa kau selalu menggodaku?” tanya Ryuka, dengan suara yang mulai berat dan sedikit serak.

“Apa jangan-jangan.. justru kau lah yang menginginkannya?” lanjutnya dengan nada yang sengaja dibuat menggoda.

Entah mengapa, Ryuka lepas kendali dan menjadi sedikit nakal. Perlahan, ia mendekatkan wajahnya pada leher Airi. Hidungnya menyentuh area itu, hingga mampu menghirup aroma Cherry Blossom yang segar dan manis dari situ.

Jujur saja, ia sangat terlena untuk melakukan hal yang lebih dari itu. Aromanya begitu memikat dan membuatnya tak bisa berhenti menghirup. Ryuka benar-benar menikmati momen ini.

“Ryu- Ryuka…? I- ingin apa yang kau maksud!? Apa yang.. ka- kau pikirkan tentangku?” tanya Airi, mulai gugup mendapat perlakuan seperti itu.

Sekilas, Ryuka menyembunyikan senyuman jahil. Lalu menjawab.

“Kau ingin.. makan, kan?” tanyanya mengalihkan perhatian.

“Makan?” Airi tak mengerti.

Ryuka tertawa kecil melihat reaksi Airi yang menggemaskan. “Memangnya, apa yang kau pikirkan tentangku? Ini sudah siang, tidakkah kau ingin makan? Mengapa reaksimu gugup begitu?”

“Ryuka? Kau sedang menjebak ku ya!?”

“Menjebak apanya? Memang apa yang kau pikirkan? Apa kau menginginkan hal lain?” tanya Ryuka, pura-pura polos, sembari menatap jahil ke arah Airi.

“Ih, Ryuka menyebalkan!” sentak Airi kesal, sembari memukul-mukul dada Ryuka dengan pelan.

Ryuka hanya tertawa lepas, puas berhasil membalas dendam menggoda gadis yang ia anggap menggemaskan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!