Maelon Herlambang - Pria, 16 Tahun.
Dibesarkan di lapisan pertama, panti asuhan Gema Harapan, kota Teralis. Di sekeliling kota ditutupi banyak tembok besar untuk mencegah monster. Maelon dikhianati oleh teman yang dia lindungi, Alaya. Sekarang dia dibuang dari kota itu dan menjadi umpan monster, Apakah Maelon bisa bertahan hidup didunia yang brutal dan tidak mengenal ampun ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26: Latihan Stamina
Malam sudah menggantung di atas desa itu. Angin yang lewat membawa aroma tanah dan kesunyian, seolah waktu sendiri enggan bergerak lebih cepat. Di dalam gubuk reyot yang hangat oleh cahaya api kecil, Roy dan Jeffrie Nova masih duduk bersama Maelon. Obrolan mereka sudah lama mereda, hanya tinggal diam yang tersisa—diam yang berat, penuh makna yang belum diucapkan.
Maelon mengangkat kepalanya perlahan. Matanya mulai berat, tubuhnya lelah, dan pikirannya penuh. “Aku… ingin istirahat sekarang,” katanya pelan, hampir seperti bisikan sopan. “Aku masih belum terbiasa dengan semua ini.”
Jeffrie mengangguk ringan. “Pergilah. Istirahat yang cukup, Maelon. Jangan terburu-buru memahami semuanya dalam semalam.”
Roy menambahkan dengan nada rendah, “Dan jangan coba-coba menyerap terlalu banyak inti jiwa sekaligus. Satu pun sudah cukup untuk mengganggu kestabilanmu. Ingat itu.”
Maelon menunduk hormat sedikit, lalu berdiri dan berjalan menuju kamar sempit di sudut gubuk. Langkahnya pelan, seolah ia sedang berjalan menuju sesuatu yang lebih dari sekadar tidur.
Di dalam kamar, jerami tua menjadi alasnya. Udara lembab masuk dari celah-celah dinding kayu. Tapi Maelon tidak langsung tidur. Ia duduk bersila dan mengeluarkan satu dari lima batu pemberian Jeffrie—sebuah inti jiwa Doctrina yang berpendar redup, seperti bara yang hampir padam. Ia menggenggamnya dengan dua tangan, menatapnya sejenak.
“Kalau aku tidak bisa menanggung satu pun, lebih baik aku tidak usah bermimpi naik tingkat,” gumamnya pelan.
Ia memejamkan mata, lalu perlahan membiarkan kekuatan Aetheron dalam dirinya bersentuhan dengan inti itu. Panasnya merambat, lalu tekanan muncul perlahan, seperti tangan tak kasat mata yang meraba bagian dalam jiwanya.
Maelon bergeming. Ia menahan tekanan itu, menggenggam erat batu di tangannya. Bukan rasa sakit yang ia rasakan, melainkan berat… seperti kehendak asing yang mencoba menyatu dengannya. Ia bisa merasakan sisa-sisa perasaan, ingatan samar, bahkan kemarahan dan ketakutan yang pernah dimiliki pemilik inti ini. Ia menahan napas sejenak.
“Ini baru satu... bagaimana dengan inti dari pengguna Lapsus lebih tinggi?” pikirnya. Sebuah kesadaran muncul, dingin dan tajam: menyerap kekuatan bukan sekadar menambah daya… itu juga berarti menanggung jiwa lain, bahkan jika hanya sebagian. Jika tidak kuat, bisa hancur. Menjadi lunatics. Makhluk tanpa kesadaran, terisi fragmen yang saling bertabrakan.
Namun Maelon bertahan. Ia membiarkan kekuatan itu menyatu perlahan, tak memaksakan apapun. Dan setelah beberapa menit yang panjang, cahaya dalam batu itu padam. Maelon membuka mata. Nafasnya berat, pelipisnya basah, tapi ia masih utuh—lebih kuat, mungkin, tapi juga lebih sadar akan betapa tipisnya batas kegilaan.
Ia meletakkan batu kosong itu di sudut ruangan, lalu berbaring perlahan di atas jerami. Dingin masih merayap ke kulitnya, tapi ia tak peduli. Malam ini, ia tertidur bukan karena tenang… tapi karena lelah bertahan.
Dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar tidur sebagai seorang pengguna Doctrina.
Pagi merekah dengan lembut, menyelimuti desa itu dalam sinar keemasan yang menyusup di sela kabut tipis. Di dalam gubuk kecilnya, Maelon perlahan membuka mata—rasa dingin masih membekas di kulit, namun semangat yang menggeliat dalam dadanya jauh lebih kuat dari itu. Ia duduk, meregangkan tubuh yang masih terasa kaku sisa latihan kemarin, namun kali ini tak ada keluhan… hanya keinginan untuk segera berdiri dan kembali melatih dirinya.
Saat ia keluar dari kamar kecil itu, aroma hangat langsung menyambutnya—bau kentang yang dipanggang perlahan di atas api kayu. Roy sudah duduk di meja sederhana dengan satu piring penuh di depannya. Tanpa banyak bicara, ia mendorong piring itu ke arah Maelon.
“Untukmu. Makanlah. Hari ini kau butuh tenaga lebih banyak,” ujarnya pelan.
Maelon duduk dan mengambil piring itu. Di depan matanya, kentang panggang itu tampak sederhana—tidak dihias, tidak dilapisi apapun, hanya kentang yang dipanggang hingga keemasan. Tapi saat giginya menggigitnya perlahan, rasa gurih dan manis alami itu seolah menjadi kemewahan yang tak pernah ia bayangkan. Di panti asuhan, makanan seperti ini hanya muncul dalam khayalan. Dan kini, di dunia yang penuh kegelapan, ia menemukan kehangatan kecil seperti ini… dan ia menikmatinya dalam diam, dengan rasa syukur yang tak ia ucapkan.
Setelah piring itu kosong dan Maelon mengusap mulutnya, ia berdiri dengan semangat yang tak bisa disembunyikan. Ia membuka pintu gubuk, dan sosok Daniel telah berdiri tak jauh dari sana, bersandar santai di tiang pagar kayu.
“Siap untuk latihan hari ini?” tanya Daniel, suaranya datar namun ramah, seperti biasa.
Maelon mengangguk, mata berbinar. “Aku sangat bersemangat hari ini.”
Daniel tersenyum samar, lalu memberi isyarat dengan kepalanya. “Kalau begitu, ayo.”
Mereka berjalan menyusuri jalur tanah yang membelah desa kecil itu, dan suasana pagi mulai terbuka di hadapan mereka. Di ladang yang terbentang tak jauh dari tempat latihan, para warga sudah mulai bekerja. Tangan-tangan kurus dan cekatan menggali tanah, menanam bibit, menyiram dengan ember yang mereka bawa dari sumur desa. Tak ada keluhan. Tak ada rintihan. Hanya tawa kecil, sapaan hangat, dan senyum-senyum yang nyata di wajah-wajah mereka. Sebuah ketenangan yang ganjil, di dunia yang seharusnya sudah lama kehilangan kedamaian.
Maelon memperhatikan semuanya dalam diam. Ada sesuatu yang tumbuh dalam dirinya—sebuah rasa kagum yang sulit dijelaskan. Tempat ini… bukan sekadar tempat persembunyian. Ini adalah tempat di mana harapan masih ditanam, satu demi satu, seperti benih-benih di ladang itu.
Dan di tengah semua itu, ia tahu… hari ini ia harus tumbuh bersama mereka.
Tentu, ini versi yang lebih santai dan diperlambat lagi, dengan nuansa yang lebih tenang dan mengalir:
Tanah itu masih lembap oleh embun yang belum sepenuhnya hilang. Langit pagi menggantung tenang, disaput awan tipis yang melayang malas. Angin berembus ringan, membawa bau dedaunan yang tersapu dan aroma samar dari ladang yang mulai dipanaskan sinar matahari. Maelon berdiri di sisi lapangan, tubuhnya masih sedikit pegal, tapi ada semangat baru yang menyalakan matanya. Di hadapannya, Daniel berdiri seperti biasa—tenang, penuh kendali.
“Hari ini kita akan melatih stamina,” ucap Daniel perlahan, suaranya datar tapi jelas. “Bukan tentang seberapa kuat pukulanmu, tapi seberapa lama kau bisa bertahan sebelum tubuhmu menyerah.”
Maelon hanya mengangguk, diam. Ia mendengarkan. Dan memahami. Kemarin, dia kelelahan hanya setelah beberapa menit. Nafasnya habis, ototnya menolak. Ia tahu ini penting.
Daniel berjalan ke sudut lapangan, mengambil sebuah karung tua yang tampak berat, lalu menjatuhkannya ke tanah. Bunyi jatuhnya pelan, berat, seperti mengajak tubuh untuk ikut terbaring.
“Bawa ini keliling ladang. Lima putaran. Jangan terburu-buru. Rasakan tubuhmu. Dengarkan nafasmu.”
Maelon melangkah maju. Ia membungkuk pelan, meraih karung itu dengan dua tangan. Beratnya langsung terasa, menekan bahunya saat ia mengangkatnya ke punggung. Tapi dia tidak mengeluh. Langkahnya perlahan, menyusuri jalur di tepi ladang.
Warga desa terlihat di kejauhan. Beberapa sedang menanam, ada yang membetulkan alat bercocok tanam. Wajah mereka teduh, gerakan mereka lambat tapi pasti. Sesekali mereka melirik Maelon, sekilas, lalu kembali bekerja.
Putaran pertama masih bisa dia tahan. Napasnya mulai berat di putaran kedua. Di putaran ketiga, kakinya mulai terasa berat, seolah tanah menariknya kembali. Putaran keempat… tubuhnya mulai bergetar halus. Tapi dia tetap melangkah. Satu langkah. Lalu satu lagi.
Putaran kelima. Matahari sudah naik sedikit lebih tinggi. Keringatnya menetes perlahan dari dagu. Napasnya tak lagi teratur. Tapi dia tetap melangkah, walau pelan.
Saat akhirnya dia sampai di tempat awal, tubuhnya tak lagi bisa menyangga beban. Dia membiarkan karung itu jatuh, lalu duduk di tanah, memejamkan mata sejenak, membiarkan angin pagi menyentuh wajahnya.
Daniel mendekat perlahan, duduk di sampingnya.
“Kau melakukannya dengan baik,” katanya tenang. “Ini bukan soal kecepatan. Tapi tentang tidak berhenti.”
Maelon tak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil. Matanya masih memejam. Tubuhnya lelah, tapi hatinya tenang. Hari ini, ia telah melangkah sedikit lebih jauh dari kemarin. Dan itu cukup. Untuk sekarang.