"Mahasiswi nakal harus dihukum!" Suara dinginnya menggelegar dan mengancam. Dia Gabriel, dosen killer yang terkenal kejam dan tidak suka digoda wanita.
Ivy, seorang primadona kampus memiliki nilai yang buruk dan nakal. Akibat kenalakannya, Mr. Gabriel ditugaskan untuk mengurus Ivy.
"Kerjakan soalnya atau aku akan menghukummu."
Karna tersiksa, Ivy mencoba membuat Mr. Gabriel menjauh berdasarkan rumor yang beredar. Tapi bukannya menjauh, Mr.Gabriel malah balik mendekatinya.
“Cium aku dong Mister~” Ivy selalu menggoda dosennya duluan agar risih.
Cup!
Bibirnya seketika dicium dalam dan membuat Ivy kewalahan. Saat pagutan dilepas, Ivy merasa bingung.
“KOK DICIUM BENERAN, MISTER?!”
“Loh kan kamu yang minta, kok di gas malah takut?”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pannery, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Posesif
Setelah perjalanan panjang yang menegangkan, motor itu akhirnya berhenti di depan rumah Ivy.
Mr. Gabriel, tanpa berkata banyak, segera turun dari motor dan membantunya.
“Sebentar,” ucap Mr. Gabriel tiba-tiba, matanya memperhatikan rambut Ivy yang acak-acakan akibat angin perjalanan.
Pria itu mendekat, tanpa menunggu persetujuan, tangannya terulur untuk merapikan helai-helai rambut Ivy yang berantakan.
Ivy tertegun. Jemari pria itu terasa hangat. Cara Mr. Gabriel memperlakukannya begitu hati-hati, seperti ia sedang menyentuh sesuatu yang rapuh.
Ivy menelan ludah, berusaha mengalihkan pikirannya yang mulai dipenuhi hal-hal aneh.
Namun, semakin pria itu merapikan rambutnya, semakin sulit bagi Ivy untuk mengabaikan perasaannya.
Ada sesuatu yang begitu intens di antara mereka—sesuatu yang membuat nafasnya tak beraturan dan jantungnya berdebar kencang.
Ketika jemari Mr. Gabriel menyentuh ujung rambutnya, Ivy tanpa sadar menyentuh tangan pria itu. Mr. Gabriel berhenti, alisnya sedikit terangkat, tetapi ia tidak menarik tangannya.
“Mister,” Ivy memanggilnya pelan, suaranya hampir berbisik.
“Hm?” Sahut Mr. Gabriel, matanya tetap terfokus pada rambut Ivy.
Tanpa menjawab, Ivy perlahan membawa jemari pria itu ke bibirnya.
Sebelum Mr. Gabriel sempat bereaksi, Ivy mengecup lembut ujung jarinya.
Gerakan itu menghentikan segalanya. Mata Mr. Gabriel membelalak, kejutan tergambar jelas di wajahnya. Ia menarik tangannya cepat, seperti tersengat sesuatu.
“Kenapa kamu melakukan itu?” Tanyanya, nadanya tegas namun terdengar gemetar.
Ivy hanya tersenyum, senyum yang nakal dan menggoda. “Barangkali... Mister kangen?” Jawabnya dengan nada santai, meskipun di dalam hatinya ia juga berdebar hebat.
Mr. Gabriel terdiam sesaat, matanya menatap Ivy seolah mencoba mencari penjelasan di balik tindakannya.
Namun, jika disimpulkan gadis ini hanya bersikap nakal saja untuk menggoda dosennya.
“Ivy,” ucapnya akhirnya, suaranya berubah menjadi lebih dingin. “Jangan lakukan hal seperti itu lagi, aku kan sudah bilang sebelumnya.”
Ivy mendesah pelan, merasa sedikit kecewa. “Terserah saja,” gumamnya kesal.
Mr. Gabriel segera kembali ke motornya. Pria itu menyalakan mesin dengan cepat, matanya masih sempat melirik Ivy sejenak.
"Sampai bertemu lagi, Nona Ivy." Ucapnya sebelum ia melaju pergi, meninggalkan gadis itu yang berdiri terpaku di depan rumahnya.
Setelah beberapa saat, Ivy masuk ke dalam rumah dengan langkah ringan, wajahnya berseri-seri.
Pintu kamarnya ia tutup perlahan, lalu ia menjatuhkan tubuhnya di atas kasur dengan senyum lebar yang tak kunjung pudar.
“Hehehehe...” Ivy terkekeh pelan, memeluk blazer milik Mr. Gabriel yang tadi diberikan padanya.
Aroma parfum pria itu masih begitu kuat, menempel pada kain blazer yang kini berada dalam dekapannya.
Ivy memejamkan mata, menarik nafas dalam-dalam, membiarkan aroma itu memenuhi indera penciumannya.
“Parfum ini... aku harus tau apa mereknya,” gumamnya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
Wajah gadis itu kembali merah saat memikirkan bagaimana Mr. Gabriel dengan tangan hangatnya tadi merapikan rambutnya, lalu suara tegas pria itu yang masih terngiang di telinganya.
Ivy bangkit, berdiri di depan cermin. Ia menatap bayangan dirinya sendiri, senyumnya tak hilang. Tangannya menyentuh pipinya yang masih terasa hangat.
“Rasanya... aku udah mulai sadar,” bisiknya. “Pria menyebalkan itu... dia benar-benar memporak-porandakan hidupku.”
Namun, alih-alih merasa kesal, Ivy justru merasa senang. Sebuah perasaan hangat mengalir di dadanya.
Pikiran untuk menghabiskan waktu bersama Mr. Gabriel terasa lebih menarik daripada apa pun.
Dibandingkan teman-temannya yang selalu mengajak Ivy shopping atau minum di bar, Ivy lebih suka momennya bersama Mr. Gabriel.
...****************...
Beberapa hari berlalu, Mr. Gabriel benar-benar menjaga Ivy dengan serius. Albert, yang masih mencari-cari Ivy, kini seperti kehilangan arah.
Untuk menghindarinya, Ivy bahkan mengganti nomor ponselnya, sesuatu yang membuatnya merasa lebih aman. Mr. Gabriel, di sisi lain, semakin sering terlihat mengantar-jemput Ivy.
“Hai, Mister! Lihat, aku beli helm sekarang. Bagus, kan?” Seru Ivy dengan senyum lebar, mengangkat helm barunya yang ia gunakan setiap kali dibonceng oleh Mr. Gabriel.
“Bagus,” jawab pria itu singkat.
Mobil Ivy kini jarang digunakan, demi menghindari kemungkinan diikuti oleh Albert.
Ivy juga mengganti gaya pakaian dan rambutnya agar tidak diikuti Albert. Setiap bepergian, Ivy selalu menggunakan jaket kulit Mr. Gabriel.
Setiap kali bersama Mr. Gabriel, Ivy merasa lebih tenang dan nyaman.
“Ivy, coba gunakan item ini untuk menyelesaikan misinya,” kata Mr. Gabriel suatu hari, saat mengajari Ivy bermain game yang ia kuasai.
Ivy mengangguk penuh semangat dan mengikuti arahan Mr. Gabriel. Setelah beberapa kali mencoba, ia akhirnya berhasil menyelesaikan misi yang sebelumnya terasa mustahil baginya.
“Yesss! Aku berhasil!” Teriak Ivy penuh kegembiraan, nyaris melompat dari tempat duduknya.
Mr. Gabriel tersenyum tipis, lalu menepuk kepala Ivy. “Good job.”
Lalu setiap kali Ivy berhasil menjawab dengan benar atau menyelesaikan soal yang diberikan, Mr. Gabriel tak segan memuji dan menunjukkan kebanggaannya.
Ivy merasa dorongan ini semakin mendekatkannya pada pria itu. Perasaan hangat yang perlahan tumbuh dalam dirinya kini terasa sulit dibendung.
Namun, Mr. Gabriel terkadang selalu menjaga jarak. Meski kadang Ivy menggoda dengan sikapnya yang nakal—mengerling atau menatapnya dengan tatapan penuh arti—Mr. Gabriel tak pernah terpancing.
“Fokus pada pelajaranmu, Ivy,” ucapnya datar saat Ivy mulai bertingkah.
Tapi bukannya berhenti, Ivy justru semakin menikmati melihat bagaimana pria itu mencoba mengendalikan diri.
Hari itu, Ivy sedang bersiap untuk tampil sebagai cheerleader di pertandingan kampus.
Gadis itu mengenakan kostum cerah yang membuatnya tampak lebih berenergi dari biasanya.
Sorak-sorai penonton memenuhi arena pertandingan basket kampus. Di sela-sela kerumunan itu, Mr. Gabriel duduk dengan tenang, tetapi tatapannya tak pernah lepas dari Ivy.
Rambut gadis itu diikat dua, gerakannya lincah dan penuh energi, membuatnya terlihat sangat mencolok di antara tim cheerleader lainnya.
Seragam pendek dan senyumnya yang cerah memancarkan pesona yang sulit diabaikan.
Nama Ivy diteriakkan berkali-kali oleh penonton. “Ivy! Ivy! Kamu cantik banget!” Suara-suara itu menggema, membuat Mr. Gabriel tanpa sadar mengepalkan tangannya.
Rahang pria itu mengeras, dan tatapan matanya tajam, seolah mengirimkan peringatan tak kasat mata kepada siapa pun yang memanggil nama Ivy dengan terlalu bersemangat.
“Dia benar-benar populer, huh?” gumamnya, merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Kekesalan itu muncul tiba-tiba, tanpa bisa ia kendalikan.
Setelah pertandingan selesai, Mr. Gabriel berdiri di depan ruang ganti, menunggu Ivy keluar.
“Ivy kamu dicariin tuh sama Mr. Gabriel,” Clara memanggil Ivy yang sedang menyeka keringatnya.
“Oh oke,” balas Ivy santai, lalu memasukkan handuk ke dalam tasnya.
Ivy segera mengambil tas dan menghadapi Mr. Gabriel yang menunggu di depan ruang ganti.
Gadis itu menatap Mr. Gabriel dengan senyum lebar, tetapi pria itu hanya diam.
Menyadari perubahan sikap itu, Ivy mengernyit.
"Ikut aku." Ucap Mr. Gabriel dingin.
“Ada apa Mister? Hari ini bukan sesi bimbingan kan?” Tanyanya sambil mencoba mengejar langkah Mr. Gabriel yang bergerak cepat ke suatu tempat.
Tidak ada jawaban dari pria itu, hanya ada langkah yang tegas dan aura kekesalan yang terpancar.
Ivy mengikutinya tanpa banyak bertanya, merasa suasana di antara mereka berbeda dari biasanya.
Setelah berjalan beberapa saat, mereka akhirnya sampai di ruangan Mr. Gabriel.
Setelah pintu ruangan tertutup, pria itu berbalik, menatap Ivy dalam-dalam.
“Kita mau ngapain Mister-" Sebelum Ivy sempat berkata banyak, Mr. Gabriel tiba-tiba menarik Ivy lebih dekat.
Tanpa peringatan, bibirnya mendarat di bibir Ivy, sebuah ciuman yang dalam dan penuh emosi terjasi. Ivy terkejut, tetapi tidak menolak.
Hal itu terasa tidak biasa. Ada intensitas yang membuat Ivy merasa tubuhnya melemah di pelukan Mr. Gabriel.
Gadis itu bisa merasakan kemarahan, rasa memiliki, dan sesuatu yang lebih dalam yang pria itu coba sampaikan.
Ivy pun memejamkan matanya, membalas hal itu dengan ragu-ragu.
Dalam senyap yang begitu rapat, ruangan itu seolah hanya menjadi milik mereka berdua.
Mr. Gabriel semakin dekat, tatapannya menyelami Ivy, seperti lautan yang tak berujung. Nafasnya menyapu ringan, membuat udara di sekitarnya bergetar halus.
Rasanya etiap detik adalah pernyataan miliknya—posesif, namun tak bisa ditolak.
Tangannya merayap perlahan, berhenti di pinggang Ivy, menariknya lebih dekat hingga tak ada celah di antara mereka.
Jemarinya menyusuri garis halus di sisi tu buhnya, merayap tu run hingga menemukan lengkung pahanya.
Ivy menggigil kecil, nyaris kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Ada kehangatan yang menjalar, membuatnya kewalahan, antara ingin menjauh dan terperangkap lebih dalam.
Ruangan itu mendadak terasa sempit, seolah hanya dihuni oleh desir napas dan debaran jantung yang berpacu cepat.
Ivy menggenggam lengan Gabriel, entah untuk menahan atau meminta lebih.
Sementara Gabriel, dengan segala ketenangan yang ia miliki, hanya tersenyum tipis, seakan puas pada apa yang baru saja ia mulai.
ikut nyimak novelmu thor..