NovelToon NovelToon
Level UP Milenial

Level UP Milenial

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Teen School/College / Mengubah Takdir / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Naik Kelas / Dunia Masa Depan
Popularitas:4.2k
Nilai: 5
Nama Author: Ahmad Rifa'i

Level Up Milenial mengisahkan Arka, seorang guru muda berusia 25 tahun yang ditugaskan mengajar di SMA Harapan Nusantara, sekolah dengan reputasi terburuk di kota, dijuluki SMA Gila karena kelakuan para muridnya yang konyol dan tak terduga. Dengan hanya satu kelas terakhir yang tersisa, 3A, dan rencana penutupan sekolah dalam waktu setahun, Arka menghadapi tantangan besar.

Namun, di balik kekacauan, Arka menemukan potensi tersembunyi para muridnya. Ia menciptakan program kreatif bernama Level Up Milenial, yang memberi murid kebebasan untuk berkembang sesuai minat mereka. Dari kekonyolan lahir kreativitas, dari kegilaan tumbuh harapan.

Sebuah kisah lucu, hangat, dan inspiratif tentang dunia pendidikan, generasi muda, dan bagaimana seorang guru bisa mengubah masa depan dengan pendekatan yang tak biasa.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Rifa'i, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Misi Resmi dan Misi Rahasia

Hari itu suasana sekolah sedikit tegang. Ada tamu penting dari Dinas Pendidikan yang akan datang untuk memantau proses belajar-mengajar serta melihat langsung fenomena “kelas 3A yang viral namun berprestasi.”

Namanya Bu Arin, petugas dinas yang dikenal tegas, perfeksionis, dan tidak mudah tertawa. Para guru langsung bersiap, memastikan semuanya rapi.

Namun, kelas 3A... tentu saja punya cara sendiri menyambut tamu.

Begitu Bu Arin masuk ke kelas 3A, Reza langsung menyapa sambil merekam vlog,

“Selamat datang di kelas 3A, tempat belajar dengan hati dan logika... plus sedikit kegilaan.”

Deri langsung menyodorkan minuman dari kantin. “Ini teh manis, Bu. Manisnya kayak... masa depan Bapak dan Ibu.”

Bu Arin mengerutkan alis. “Maaf?”

Lia menambahkan, “Kami dengar Bu Arin belum menikah. Dan Pak Arkan juga... masih sendiri.” ucapnya horor.

Semua mata melirik ke Pak Arkan yang baru saja masuk kelas membawa map. Wajahnya langsung memerah.

“Saya datang untuk observasi pembelajaran, bukan biro jodoh,” ujar Bu Arin dengan datar.

Namun, dari belakang, Toni berseru, “Tapi Bu... cinta dan pendidikan sama-sama butuh pendamping!”

Tawa pecah seisi kelas. Bahkan Bu Arin tak kuasa menahan senyum tipis.

Observasi tetap berjalan. Bu Arin duduk di pojok kelas memperhatikan Reza yang sedang mengajar Bahasa Inggris, lalu Amira menyampaikan puisi dalam bahasa Indonesia, Andi mendemonstrasikan reaksi kimia dengan mentega dan teh hangat (tidak direkomendasikan), dan Deri menjelaskan konsep inflasi lewat analogi cilok.

“Kalau uang terlalu banyak beredar, Bu, cilok bisa jadi 5 ribu per tusuk. Itu menyakitkan bagi dompet, dan hati,” katanya serius.

Bu Arin mencatat dengan serius, tapi sesekali mengangguk... dan tertawa.

Di luar kelas, saat istirahat, para murid berkumpul lagi.

“Plan B: foto bareng Bu Arin dan Pak Arkan. Caption-nya: ‘Pendidikan dan cinta, duet masa depan.’” ujar Reza.

Sinta menyodorkan bunga plastik dari dekorasi kelas. “Buat diserahkan ke Bu Arin. Bilang dari Pak Arkan.”

Pak Arkan masuk kantin dan langsung terkejut melihat Bu Arin duduk sendiri, dikelilingi para murid.

“Pak... kami tahu ini mendadak. Tapi cinta tidak bisa ditunda,” kata Deri sambil menyerahkan bunga.

Pak Arkan nyaris tersedak es tehnya. “Kalian ini... astaga!”

Namun, alih-alih marah, Bu Arin hanya tertawa kecil dan berkata, “Kalian memang... berbeda. Tapi entah kenapa, saya mulai paham kenapa kalian disukai.”

Di akhir kunjungannya, Bu Arin berbicara di depan kelas:

“Saya datang untuk observasi. Tapi saya pulang dengan pelajaran. Bahwa pendidikan bukan hanya tentang buku dan nilai, tapi tentang rasa, semangat, dan... tawa.”

Pak Darman di belakang langsung tertegun. “Apa-apaan ini... dia terpengaruh aura konyol!”

Pak Arkan tersenyum. “Aura yang baik, Pak.”

Saat Bu Arin pamit pulang, Reza berseru, “Bu, jangan lupa, kalau butuh tim dokumentasi lamaran, kami siap!”

Toni menambahkan, “Kami juga bisa jadi tim koor resepsi!”

Bu Arin tersenyum, lalu berbisik pada Pak Arkan, “Saya belum tentu setuju... tapi anak-anak ini memang lucu.”

Pak Arkan? Cuma bisa tersenyum... dan mengusap peluh.

...----------------...

Sudah seminggu sejak kunjungan Bu Arin ke sekolah, tapi ada satu hal yang tidak kembali normal: Pak Arkan. Biasanya tenang, terstruktur, dan agak kaku, kini ia sering melamun di ruang guru sambil tersenyum sendiri.

Sampai suatu pagi, Reza memergokinya sedang menatap foto kunjungan Bu Arin di ponselnya.

“Eh, Pak. Lagi buka file rencana pembelajaran ya?”

Pak Arkan kaget. “Apa? Eh... iya. Rencana... pembelajaran... hati.”

Reza tersenyum nakal. “Bapak suka ya sama Bu Arin?”

Pak Arkan menunduk malu. “Kamu jangan bilang siapa-siapa, ya.”

Reza langsung berlari ke kelas dan berteriak, “GUYS! Misi baru! Operasi Cinta Pak Arkan!”

Seketika kelas 3A berubah jadi tim pencari jodoh profesional.

Toni membuat strategi seperti kampanye politik. “Langkah pertama: Bangun citra. Pak Arkan harus tampil beda. Harus punya pesona. Lebih... wangi.”

Deri menyiapkan anggaran untuk ‘makeover’ kecil. “Modal parfum, kemeja baru, dan teh spesial. Cinta juga butuh investasi.”

Amira dan cindi menyiapkan skrip obrolan. “Kalau Bu Arin ngomongin pendidikan, Bapak harus nyambungin ke... masa depan bersama.”

Andi bahkan membuat simulasi eksperimen kimia. “Kalau berhasil, ini parfum dari bahan alami yang bisa bikin Bu Arin terpesona. Kalau gagal... yah, paling baunya kayak nasi basi.”

Hari Selasa, mereka semua mengatur “kebetulan” agar Bu Arin kembali datang ke sekolah dengan dalih wawancara lanjutan.

Pak Arkan datang dengan kemeja biru muda, rambut klimis, dan aroma wangi samar (hasil eksperimen Andi).

Bu Arin tampak sedikit terkejut. “Pak Arkan... hari ini terlihat... segar.”

Pak Arkan mencoba senyum terbaiknya. “Terinspirasi dari... semangat pendidikan, Bu.”

Sementara di balik jendela kelas, seluruh 3A mengintip sambil membawa poster bertuliskan: “Semangat, Pak!”

Setelah sesi observasi, Pak Arkan mengajak Bu Arin ke taman belakang sekolah.

“Mungkin ini mendadak, Bu. Tapi saya ingin mengenal Ibu lebih jauh... sebagai sesama pendidik dan... mungkin lebih dari itu.”

Bu Arin menatapnya sebentar, lalu tersenyum. “Kamu butuh tim dukungan besar hanya untuk bicara ini ya?”

Pak Arkan tertawa. “Mereka terlalu antusias.”

“Tapi... saya tidak keberatan. Asalkan pendekatannya tidak lewat eksperimen kimia beraroma aneh,” katanya sambil mencium udara.

Dari kejauhan terdengar teriakan Andi, “Itu bukan bau aneh! Itu inovasi cinta!”

Tawa pun pecah. Dan hari itu ditutup dengan langkah kecil menuju cinta... dan langkah besar bagi kelas 3A dalam menjalankan misi absurd.

...----------------...

Libur semester akhirnya tiba. Setelah ujian yang penuh tawa dan kebingungan, kelas 3A butuh pelepasan stres. Mereka memutuskan untuk berlibur ke sebuah tempat wisata alam: air terjun Bukit Pelangi.

Tapi tentu saja, liburan ini tidak hanya tentang berenang dan makan mie instan di alam. Bagi Reza dan kawan-kawan, ini adalah misi lanjutan dari “Operasi Cinta Arkarin”.

Rencana mereka sederhana: mengajak Bu Arin ikut liburan, lalu membuat momen-momen ‘kebetulan romantis’ antara dia dan Pak Arkan.

Reza menghubungi Bu Arin dengan gaya formal,

“Bu, sebagai bentuk penghargaan atas kontribusi Ibu terhadap pendidikan kami, kami ingin mengundang Ibu ke acara liburan edukatif kelas 3A.”

“Liburan edukatif?” tanya Bu Arin curiga.

“Ya Bu, banyak unsur geografi, biologi, sosiologi... dan cinta lingkungan,” jawab Reza cepat.

Bu Arin akhirnya setuju, setelah diberi janji tidak ada eksperimen kimia yang mencurigakan.

Tibalah hari liburan.

Bus pariwisata sudah disiapkan. Para siswa membawa bekal, gitar, dan... skenario penuh jebakan cinta.

Di perjalanan, mereka mengatur posisi duduk. Toni, yang jadi koordinator logistik, mengatur agar kursi Pak Arkan dan Bu Arin berdampingan.

Deri membisikkan,

“Kalau mereka ngobrol, kita nyanyikan lagu ‘Kemesraan’. Kalau mereka diam-diaman, kita nyanyikan ‘My Heart Will Go On’.”

Toni langsung memainkan gitar. Reza menyiapkan drone untuk merekam momen spesial.

Sampai di lokasi, suasana langsung ceria. Mereka bermain air, memasak bersama, dan tentu saja... menyusun skenario jebakan.

Sinta, Amira, cindi dan Dina mengatur ‘momen licin’: menyiram sedikit air dekat tempat duduk Bu Arin agar terpeleset ringan... dan Pak Arkan bisa menangkapnya.

Tapi yang terpeleset justru Pak Darman yang ikut mengawasi. Ia jatuh dengan dramatis sambil berkata,

“Apa-apaan ini, tanah ini licin seperti hati kalian yang penuh rencana.”

Tawa pun pecah.

Sore harinya, mereka mengadakan sesi “sharing cita-cita dan harapan.” Bu Arin dan Pak Arkan diminta duduk berdampingan.

“Pak Arkan, cita-citanya?” tanya Toni.

“Saya ingin... membimbing generasi muda, membangun pendidikan yang bermakna... dan mungkin, membangun keluarga yang hangat.”

Lia langsung berbisik, “Kode keras!”

Bu Arin tersenyum. “Kalau begitu, saya doakan tercapai. Siapa tahu, saya bisa ikut mendukung.”

Semua anak langsung berpura-pura batuk, bersin, dan mengedipkan mata satu sama lain.

Malam tiba, mereka duduk melingkar di depan api unggun. Andi memainkan lagu mellow, Reza merekam semuanya, dan langit penuh bintang.

Pak Arkan akhirnya memberanikan diri,

“Bu Arin, kalau suatu saat saya mengajak Ibu makan malam, tanpa anak-anak ini, apa Ibu bersedia?”

Bu Arin menatapnya dan berkata pelan, “Kalau mereka tidak mengintip dari balik pohon, mungkin saya akan iya.”

Suara tertahan dari balik pohon terdengar: “Ups.”

Malam itu ditutup dengan senyuman. Bukan hanya karena liburan yang menyenangkan, tapi karena cinta yang perlahan-lahan menemukan jalannya... dibantu oleh siswa-siswa paling konyol seantero Nusantara.

1
Ahmad Rifa'i
menceritakan semangat dalam menggapai cita-cita walau di balut dengan kekurangan.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!