"Kita putus!"
"putus?"
"ya. aku mau kita menjadi asing. semoga kita bisa menemukan kebahagiaan sendiri-sendiri. aku pergi,"
"Silahkan pergi. tapi selangkah saja kamu melewati pintu itu ... detik itu juga kamu akan melihat gambar tubuh indahmu dimana-mana,"
"brengsek!"
"ya. itu aku, Sayang ..."
***
Bagai madu dan racun, itulah yang dirasakan Eva Rosiana ketika jatuh dalam pesona Januar Handitama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eva Rosita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
09
"Ayo kita pergi, Va!"
Tangan Eva di genggam, dia hanya diam dan terus mengikuti kemana Janu akan membawanya.
Ternyata cowok bertato tapi ganteng itu membawa keluar gedung, menjauh dari keramaian. Kebetulan sekali samping gedung ada minimarket, Janu menyuruh Eva duduk di kursi depan minimarket itu. Sementara Janu sendiri masuk ke dalam, membeli air dingin untuk Eva, kopi kaleng dan rokok untuk dirinya sendiri.
Banyak yang ada dipikiran Eva sekarang. Tapi yang lebih mendominan pikiran kejutnya karena baru kali ini dia dilecehkan, lalu tiba-tiba datang sosok Janu yang langsung menghantam Gilang. Yang tadinya darah Eva sudah mendidih dan membuat sesak karena emosi, bisa sedikit redah dan puas juga melihat Gilang tak berdaya.
Tapi, bagaimana dengan sisa gajinya? Ya, sungguh dilema dia. Terima kasih akan dia ucapkan karena Janu menolongnya, tapi karena insiden tadi sudah jelas dia akan ditegur dan terancam ganti rugi.
Andai dia tidak terdesak uang untuk membantu Ibunya, sudah Eva ikhlaskan saja.
"Hei!" tegur Janu karena dia sudah duduk tapi Evanya malah asik ngelamun. "minum dulu," mendorong satu botol air mineral dingin ke arah Eva yang sudah ia buka lebih dulu tutupnya.
"thanks,"
Janu mengangguk, dia juga minum kopinya. Lalu dilanjut menyalakan rokok yang sekarang sudah ia apit dicela bibirnya.
"Thanks ya, yang tadi," ucap Eva tulus, berterima kasih karena bantuan yang tadi.
"Bajingan kayak gitu memang pantes di bikin kapok. Tapi lo okey kan?" balas Janu. Sedikit menoleh ke samping untuk membuang asap rokoknya agar tidak kena Eva.
"Bener. Kalo bisa gue patahin tuh tangan Gilang sialan!" desis Eva.
"Mau gue bantu?"
"Jangan. Gue liat dia bakalan masuk ugd sih, karena tangan lo,"
Kalau dilihat tadi, pukulan Janu itu tidak sembarang asal main pukul. Cowok itu memukul Gilang di bagian tertentu, yang sekali hantam langsung bikin keok. Dan itu dilakukan berkali kali. Eva juga melihat Gilang yang sudah pingsan.
"Kenapa sih? Lo kepikiran yang tadi ya?"
Eva menghembuskan nafas panjangnya, "iya lah. Gue kepikiran sama kerjaan, dan gimana nanti kalo keluarga Gilang nggak terima terus ngelaporin gue?"
"Kenapa lo? Yang mukul Gilang, gue, kalo lo lupa; Va. Dan masalah kerjaan, lo tenang aja,"
"Nggak semudah itu, Jan. Gue tuh-- ck," Eva berdecak dan tidak jadi melanjutkan ucapannya karena ponselnya sudah berdering, ada telpon dari leadernya di tempat kerja tadi. "Gue balik kesana dulu, Jan. sekali lagi makasih,"
Eva berdiri dan pamit ke Janu. Tanpa dia angkat teleponnya, dia sudah tahu jika dia pasti akan disidang dan dimintai keterangan sama atasannya.
"Gue ikut!"
"Jan!"
"Gue juga ikut andil. Udah, ayo!"
Sama seperti tadi, tangan Eva digenggam dan dibawa lagi oleh Janu untuk masuk ke gedung tadi. Tapi sebelum itu, Janu membuang rokoknya yang masih setengah dia hisap. Menginjak dengan sepatu mahalnya.
Aneh, harusnya Eva bisa jalan sendiri tanpa harus digandeng Janu. Tapi kenapa dia diam saja dan menerima cowok itu menggenggam tangannya. Entahlah, sekarang Eva seperti merasakan rasanya--dilindungi?
Baru masuk si Eva sudah di sambut oleh Rena. Entah kemana waktu kejadian tadi sehingga dia tidak tahu jika temannya ada masalah. Rena kaget setelah diceritakan oleh salah satu teman spg nya juga.
"Anjing. Lo kemana aja, monyet!" memang radak beda cara Rena khawatirnya ke Eva, sangking bedanya sampai dua hewan dia sebut. "Lo okey kan?"
"mm-hmm," gumam Eva, "Mbak Ine dimana? Dia tadi telpon gue," kata Eva menanyakan keberadaan leadernya.
Baru saja akan menjawab, Rena baru sadar jika ada cowok bertato yang tidak asing sedang menggandeng tangan Eva.
"Pacar lo, Va? Gue kayak kenal deh, dimana ya?"
"Bukan. Dia Janu, temen gue. Dia juga tadi yang nolongin gue," elak Eva.
Rena menatap Eva dengan selidik, lantas bibirnya mengeluaran seringaian.
"Bukan pacar tapi gandengan ye, Nyet??" sarkasnya.
Baik Janu maupun Eva, mereka salah tingkah dan berdeham kecil. Tapi lucunya tangan Janu masih tak mau melepaskan tangan Eva. Si Eva juga gitu, anteng banget itu tangan dalam genggaman Janu.
"Cih, apaan nggak pacaran. Tapi tuh tangan belum kelepas juga," lagi, si Rena menyindir dua manusia yang entah kenapa sekarang mirip pasangan bocil kepergok pacaran di belakang gedung.
"anggap aja calon pacar," tukas Janu yang enteng banget ngomongnya.
Diamnya Eva ini membuat Janu tersenyum tipis. Harusnya si Eva mengelak pernyataannya tadi jika gadis itu tidak menyukainya. Tapi ini Eva diam saja. Dan Janu anggap itu tanda jika Eva mulai tertarik kepadanya.
"Widih. Calon aja udah gandengan. Apa lagi kalo jadi ya, Va?"
"Bacot!" maki Eva. "oh ya, Jan. Cewek gendeng ini , Rena, namanya. Temen gue," ucao Eva yang baru ingat untuk memperkenalkan Rena ke Janu.
"Gue, Janu. Apart lo satu gedung sama gue," terang Janu yang ternyata masih tetangga dengan teman Eva.
Rena mengangguk pelan dan mulutnya berbentuk o. "pantes wajah lo kagak asing. Tetanggaan kita ternyata,"
“Mbak Ine dimana, Ren?” timpal Eva yang ingat dengan tujuan pertamanya. mau menemui leadernya.
“Ah, iya. Ayo, lo memang ditungguin kok,”
Eva menagngguk dan berjalan di belakang Rena, dengan tangan yang masih digandeng Janu.
Sebenarnya Rena ingin bertanya kenapa Janu harus mengikuti Eva juga, karena mereka akan masuk ke ruangan yang khusus karyawan. Dan Janu bukan karyawan. tapi ya sudah lah, mungkin Janu khawatir dengan Eva. Pikirnya.
Mereka bertiga sampailah di ruangan yang didalamnya sudah ada Mbak Ine, Burhan dan satu orang lagi bawahan Burhan. Begitu masuk, Burhan menyuruh Eva dan Janu duduk.
Tak pakai basa basi, Mbak Ine dan Burhan menanyakan awal mula kejadiannya seperti apa. Dan Eva menjelaskan dengan detail mulai dari kata-kata cemooh yang dia dapat dari Gilang dan teman-temannya sampai tangan Gilang yang lancang melecehkannya.
Mbak Ine dan Burhan mendesah frustasi, “Ini masalahnya sudah sampai ke atasan, Va. Kamu anak freelance, dan kamu masih tanggung jawab saya,” kata Mbak Ine yang wajahnya kelihatan lesu sekali.
“Maaf, Mbak. Saya benar-benar minta maaf. Saya juga tidak tahu jika sampai begini,” tahu betul si Eva, pasti yang kena semprot duluan itu Pak Burhan dan Mbak Ine.
“Kita tadi sudah cek cctv. Dan kamu memang tidak bersalah. Tapi ... Bos nggak mau tahu, Va. Ini event lumayan besar, pasti nama kita dibawa-bawa. Apalagi cowok itu sekarang ...” Mbak Ine menggantungkan kalimatnya dan melirik ke arah Janu.
“Gue siap jika bajingan itu mau minta tanggung jawab,” sahut Janu yang peka dengan tatapan Ine, “Itu pun kalo dia masih berani sih,” timpalnya santai.
Menghadapi masalah seperti ini, bukan sesuatu yang besar bagi Janu. Apa lagi yang salah itu si Gilang, bukti juga sudah ada di cctv kalau itu cowok melecehkan Eva.
Celetukan Janu yang terakhir itu membuat Pak Burhan dan Mbak Ine saling lirik. Terutama untuk Mbak Ine, dia penasaran siapa cowok bertato itu. Kanapa terlihat santai sekali setelah hampir membuat anak orang sekarat.
“Kalian sudah punya bukti berupa cctv, lalu apa yang kalian takutkan? Eva disini korban. Kalau memang keluarga bajingan itu nggak terima. Suruh hubungin gue. Gue sudah kasih kan, kartu nama gue, Pak?” tanyanya ke Pak Burhan yang di jawab dengan anggukan. “Masalah Bos kalian, kalo masih ribet. Suruh datengin gue juga!”
Sedikit emosi Janu. Memang banyak sekali para atasan yang hanya memikirkan reputasi. Tak mau tahu kalau anak buahnya dalam kesulitan atau masalah. Jelas-jelas disini Eva korban. Harusnya mereka melindungi Eva, bukan malah lepas begini.
“Biar gue tuntut sekalian. Heran deh. Ini korban pelecehan loh!”
Eva meringis sungkan ke Pak Burhan dan Mbak Ine karena sikapnya Janu yang terlalu berani. Tangannya mencubit paha Janu, memberi peringatan ke cowok itu agar tidak songong lagi tingkahnya. Karena Eva paham jika Mbak Ine dan Pak Burhan ini juga tertekan. Mereka karyawan juga.
Keputusannya, gaji Eva selama kerja seminggu ditahan. Uang itu akan keluar jika pihak Gilang akan tanda tangan untuk tidak membawa nama perusahaan. Sedikit kecewa Eva, tapi mau bagaimana lagi. Semoga saja si Gilang kampret itu tidak membuat ulah, dan mau tanda tangan.
Janu sempat protes, masih bersikukuh jika Eva itu korban dan uang itu juga haknya Eva. Tapi baik Mbak Ine mau pun Pak Burhan tetap pada keputusannya untuk mematuhi aturan dari Bos mereka.
“Tahu begini mending di buat patah tulang saja itu cowok, Va!” sungut Rena yang tadi ikut mendengarkan debatnya Janu dan Pak Burhan.
Mereka sekarang sedang ada diluar gedung. Karena kasus tadi, Eva tidak bisa melanjutkan pekerjaannya yang belum selesai. Sedangkan Rena harus kembali lagi, jam kerjanya masih ada. Dia hanya mengantar Eva sampai gedung. Menemani Eva yang menunggu Janu ambil mobil di parkiran.
“Sudah lah. Nggak usah dibahas lagi. Sumpek gue,” sahut Eva.
Rena mengangguk dan menatap sendu ke Eva, kasihan sekali temannya itu. “Lo nginep di apart gue kan?” tanyanya.
“Asal lakik lo belum pulang,”
“Aman. Dia masih lusa kok datengnya. Lo langsung istirahat saja. Jangan sampe nyasar masuk kamar orang, Va,”
“Matamu!” Eva yang paham maksud Rena, langsung menoyor kepala gadis tapi yang sudah tidak gadis itu.
Ya, sindiran dari Rena itu jangan sampai si Eva tujuannya ke apartnya tapi masuknya malah ke apart Janu.
Ternyata benar yang dikatakan Rena. Eva tidak turun di lantai 9 tempatnya Rena, gadis itu malah turun dilantai 12. Tempatnya Janu.
Ya, cowok bertato itu mengajak Eva main ke apartemennya, dengan alasan mau ngajak makan bareng. Makan yang sempat mereka beli tadi di jalan.
Tipe punya Janu ternyata lebih bagus dari pada milik Rena. Lebih luas.
“Wanginya Janu banget,” gumam Eva saat baru masuk. Meskipun belum lama mengenal Janu, tapi dia sudah hafal dengan aroma cowok itu. Selain wangi, ruangan ini sangat bersih. Bersih dari printilan juga, tidak ada satu pun foto yang di tempel di dinding. Sangat sepi jika dibandingkan dengan ruangan milik Rena yang banyak printilan ini dan itu.
Mereka memilih makan di sofa sambil nonton katanya, dengan duduk di bawah. Di atas karpet. Eva mengeluarkan satu persatu makanan yang ada di atas meja. Sedangkan Janu ke dapur, katanya mau ambil minum.
“Va!” seru cowok itu.
“Ya?”
“Sini. Cuci tangan dulu!”
Ah, iya. Eva lupa kalau dia belum mencuci tangannya. Menurut si Eva, dia berjalan menghampiri Janu. Lalu mencuci tangannya, ada Janu yang berdiri di sampingnya dengan pinggang yang bersandar, kedua tangannya terlipat di depan dada. Netranya yang setajam elang itu tidak berpaling sedikit pun, memperhatikan setiap gerakan gadis yang sudah seminggu ini membuatnya gusar.
Janu rindu.
Seminggu tidak melihat gadis ini sama sekali, membuatnya semakin yakin jika dia menginginkan Eva. Sangat. Bahkan sudah sampai merasakan rasa untuk memiliki. Wajar jika tadi dia murka melihat Eva dilecehkan oleh Gilang.
Dari ekor matanya, Eva sadar jika dari tadi Janu terus memperhatikannya. Usai mencuci tangannya, dia berdeham pelan. Salah tingkah. Ada heran ke diri sendiri, kenapa dia seperti tidak bisa mengontrol seperti biasanya saat berdekatan dengan lawan jenis.
Ke Ari yang sudah dia sukai selama dua tahun saja, Eva tidak pernah segugup ini. Ah, ngomong-ngomong soal Ari, sepertinya Eva benar-benar meriset otaknya untuk melupakan cowok itu. Karena seminggu ini dia tidak ingat sama sekali dengan nama itu.
Padahal dulu dia sudah pernah mencoba untuk tidak menyukai Ari lagi, tapi susah. Entah kenapa sekarang sangat gampang.
“Bisa belekan lama-lama itu mata. Begitu banget natapnya,” cibir Eva yang berusaha sesantai mungkin.
“Nggak papa. Gue ikhlas kok, belekan setahun. Asal bisa natap lo gini,”
“Kardus banget, lo,”
“Serius gue padahal,” balas Janu.Tangannya dengan cepat mengambil lap bersih, lalu tangan Eva yang masih basah di lap dengan pelan.
Sekali lagi Eva bertanya tanya, kenapa respon tubuhnya tidak ada penolakan lagi dengan skinshipmnya Janu ini. Dia malah memperhatikan wajah Janu yang terlihat serius sekali mengelap kedua tangannya bergantian. Seolah tangan Eva itu sesuatu yang rapuh, yang harus di sentuh dengan lembut dan hati-hati.
Jarak wajah keduanya sangat dekat. Dengan begitu Eva bisa melihat jelas setiap pahatan yang indah dan tegas dari wajah Janu. Matanya yang sipit tapi sangat tajam, hidung mancungnya, dan bibir atas yang lebih tipis dari bawah. Piercing dibibir bawahnya juga menambah keseksian tersendiri untuk Janu.
“Nggak takut belekan?” bisik Janu, membalikkan ucapan Eva yang menyindirnya tadi.
“Hah? ee ...”
Ck, sialan. Malu sekali rasanya Eva, sudah kepergok menikmati pemandangan di depannya, malah pakai gagap pula.
Janu terkekeh pelan.
Gila suaranya, dalem banget! batin Eva.
“Yuk, kita makan,” ajak Janu seraya mengacak pelan rambut Eva.
Jantung aman, Va?
kak kenapa ga di fizo aja sih novel ini..