"perceraian ini hanya sementara Eve?" itulah yang Mason Zanella katakan padanya untuk menjaga nama baiknya demi mencalonkan diri sebagai gubernur untuk negara bagian Penssylvania.
Everly yang memiliki ayah seorang pembunuh dan Ibu seorang pecandu obat terlarang tidak punya pilihan lain selain menyetujui ide itu.
Untuk kedua kalinya ia kembali berkorban dalam pernikahannya. Namun ditengah perpisahan sementara itu, hadir seorang pemuda yang lebih muda 7 tahun darinya bernama Christopher J.V yang mengejar dan terang-terangan menyukainya sejak cinta satu malam terjadi di antara mereka. Bahkan meski pemuda itu mengetahui Everly adalah istri orang dia tetap mengejarnya, menggodanya hingga keduanya jatuh di dalam hubungan yang lebih intim, saling mengobati kesakitannya tanpa tahu bahwa rahasia masing-masing dari mereka semakin terkuak ke permukaan. Everly mencintai Chris namun Mason adalah rumah pertama baginya. Apakah Everly akan kembali pada Mason? atau lebih memilih Christopher
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dark Vanilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Surat Cerai
“Aku pulang, ibu!” sapa riang gadis kecil dengan tas ransel yang masih melekat di punggung, menghambur menghampiri Everly yang tengah sibuk di dapur.
“Sayang, kau pulang dengan siapa?”
Lilly berlonjak imut. “Ayah menjemputku, tadi.”
“Ayah?”
“Everly.” Kini pria berambut golden brown itu muncul di belakang Lilly Anne. Dengan sebuah amplop di tangannya dan jas yang disampirkan di tangan lainnya. Pria itu menghampiri Everly dengan wajah sendu.
“Apa kau berencana makan siang di rumah?” Tidak biasanya pria itu pulang di tengah hari.
“Ya.” Jawabnya singkat namun tatapannya seperti akan mengatakan sesuatu. Everly paham, suaminya memiliki hal yang ingin dibicarakan.
“Aku juga lapar, ibu. Aku ingin makan bersama ayah dan ibu,” riang Lilly melompat-lompat seperti kelinci menggemaskan. Kuncir kudanya berayun-ayun seiring dengan gerakannya.
“Tentu saja, sweetheart. Gantilah bajumu terlebih dahulu. Nanti ibu akan memanggilmu jika makanan sudah siap. Hmm?”
“Yup!” tertawa riang, Lilly berlari menaiki tangga.
Everly mematikan kompor yang tengah merebus sup daging. Sekarang perhatian wanita itu beralih pada Mason yang menyampirkan jas nya di kursi meja makan.
"Bisa kita bicara di taman belakang?”
Everly mengangguk dan kemudian berpindah tempat ke area taman belakang di kediaman Zanella, taman belakang asri yang terdapat kebun yang selalu dirawat mertuanya.
Everly menduduki diri di kursi taman, menunggu Mason mengutarakan niatnya. Jelas pria itu memiliki keraguan ketika melangkah lebih dekat pada Everly. Raut wajah penuh beban tercetak di wajah tampan pria itu.
Setelah mengambil tempat duduk di seberang Everly, Mason menyerahkan selembar kertas dari dalam amplop yang ia pegang. “Aku ingin menyerahkan ini.”
Kening Everly berkerut padanya. “Apa ini?”
Eve mengambil surat yang disodorkan Mason. Lantas saja matanya terpaku pada sebuah tulisan bersamaan dengan ucapan Mason, “Surat cerai.”
Jantung Everly serasa berhenti di saat itu juga. Darahnya seolah tak mengalir hingga wajahnya pias. Sedangkan tenggorokan terasa tercekik oleh sesuatu seperti gumpalan besar.
Everly mengerjapkan mata sebagai respon yang tak terucap lewat mulutnya.
“Ini sangat berat bagiku.” Mason mengatakan itu seolah dirinya di kerubungi penyesalan.
Jika itu sangat berat, mengapa Mason melakukannya secepat ini. Ah tidak, pria itu ternyata menyiapkan rencana ini sejak lama.
“Kau bisa menandatanganinya saat kau siap, Everly. Jangan merasa terbebani.”
Dari pada ingin mengamuk, Everly lebih ke arah speechless menghadapi Mason saat ini. Jangan merasa terbebani? Apa sebenarnya maksud pria ini?
Everly persis tahu ini akan terjadi, toh mereka sudah membicarakan soal ini kemarin, kendati demikian ketika secara nyata memegang surat cerai di tangannya, rasanya tetap saja hancur.
Everly berdehem, menyingkirkan sumbatan di tenggorokannya yang mengering, emosi yang mulai berkumpul di dadanya membuat wanita itu kemudian berdiri dan bergumam pada Mason.
“Tidak, aku akan menandatanganinya sekarang. Tunggu sebentar.” Suaranya yang dingin membuat Mason tersentak halus. Rasanya saat ingin mencegah Everly, tetapi badan dan otaknya menolak untuk bekerja sama. Ia sudah sampai di tahap ini, sudah terlambat untuk mundur.
Everly melangkah masuk ke rumah. Melewati ruang belakang, berjalan menuju laci buffet yang ada di ruang tengah untuk mengambil pulpen.
Ketika benda itu sudah di tangannya, Wanita itu nyaris limbung. Mempertahankan diri di buffet saat tiba-tiba ia merasakan kakinya gemetar dan lemas.
Sial, jantungnya terasa dililit duri hingga rasanya terhimpit dan sesak. Emosi yang memenuhi dada mengalirkan panas di matanya.
Eve jatuh berlutut di depan lemari buffet. Menutup mulut, meredam isakannya. Ia gigit bibirnya yang sudah gemetar. Tangannya menghapus air mata yang mulai berjatuhan. Ia tidak bisa membiarkan matanya bengkak dan membiarkan Mason melihat itu.
Everly menegakan badan sekuat tenaga. Kemudian kembali berjalan ke taman belakang menemui Mason, tanpa tahu seorang gadis kecil mengamatinya dengan tatapan sendu di atas tangga.
Sekembalinya Everly dari mengambil pulpen, lantas wanita itu meraih kertasnya dan bersiap menandatanganinya.
Tetapi gerakan Everly terhenti ketika tiba-tiba saja Mason menahan tangannya. Meremasnya sambil menatap netra biru wanita yang beberapa detik lagi, akan menjadi mantan istri.
“Percaya padaku, Ini hanya sementara, Everly. Aku mencintaimu dan tidak ada yang berubah.”
Everly menatapnya nanar. Bahkan ucapan pria itu tidak lagi terdengar sebagai penenang, melainkan air garam yang tersiram di luka yang menganga. Everly menyingkirkan tangan Mason darinya, lalu dengan mantap menggoreskan pena di atas namanya. Dengan begini, dia bukan lagi Nyonya Zanella. Tinggal takdir sekarang yang berperan, akan membuat semuanya seperti sedia kala atau hancur perlahan.
“Aku sudah membereskan beberapa barangku tadi. Kemungkinan aku akan pergi besok," kata Everly dengan suara serak, yang serta merta membuat pria yang telah 11 tahun menjadi teman hidupnya tersentak.
“Everly, aku tidak memintamu pergi dari sini secepat ini.” kata Mason panik.
Everly tersenyum pahit, pandangannya nanar pada pria itu. "Aku tahu kamu tidak memintaku pergi, Mason. Tapi cepat atau lambat juga akan begitu."
Mason membuka mulut, ingin berkata sesuatu, tetapi tak ada kata yang keluar. Ia merasa lumpuh, tertahan oleh kenyataan yang tak mampu ia ubah.
"Apa yang bisa kulakukan lagi di rumah ini? Toh, kepergianku ini adalah untuk membantumu. Jadi kurasa lebih cepat lebih baik."
Mason hanya bisa meremas mendengar kata-kata Everly.
"Lalu bagaimana dengan Lilly Anne? Apa yang akan kau katakan padanya?"
Everly menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan kekuatan. "Aku akan memberinya pengertian. Begitu juga denganmu. Dia pantas tahu, tapi pada saat yang tepat."
Mason menggeleng lemah, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku hanya ingin Aku tidak ingin dia merasa kehilangan."
Everly memandang Mason dengan tatapan yang sulit diterjemahkan. "Aku pikir kau sudah memikirkan konsekuensi itu ketika memgambil keputusan untuk bercerai?" gumam Everly meninggalkan Mason yang termangu.
Dalam diam, pria itu mempertanyakan keputusan ini kepada dirinya sendiri, Kepercayaan dirinya yang semula kokoh, dengan pemikiran bahwa semua akan berjalan sesuai rencananya. Mengapa sekarang goyah?
...T.B.C...