Renjana, seorang gadis muda yang baru saja pindah ke kota kecil Manarang, mulai bekerja di panti asuhan Widarpa, sebuah tempat yang tampaknya penuh dengan kebaikan dan harapan. Namun, tak lama setelah kedatangannya, ia merasakan ada yang tidak beres di tempat tersebut. Panti asuhan itu, meski terlihat tenang, menyimpan rahasia gelap yang tak terungkap. Dari mulai bungkusan biru tua yang mencurigakan hingga ruangan misterius dengan pintu hitam sebagai penghalangnya.
Keberanian Renjana akan diuji, dan ia harus memilih antara melarikan diri atau bertahan untuk menyelamatkan anak-anak yang masih terjebak dalam kegelapan itu.
Akankah Renjana berhasil mengungkap misteri yang terkubur di Widarpa, atau ia akan menjadi korban dari kekuatan jahat yang telah lama bersembunyi di balik pintu hitam itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
WIDARPA 30
Dalam penelusuran lebih lanjut, polisi akhirnya berhasil mengungkap tugas-tugas yang dibagi di antara para anggota jaringan kejahatan ini. Dokter Gio melanjutkan ceritanya dengan suara yang penuh penyesalan dan rasa ngeri yang mendalam.
"Helena, sebagai ketua panti, memiliki tugas utama yang sangat mengerikan," kata Gio, suaranya hampir berbisik. "Dia bertugas untuk melakukan pembersihan dan menghilangkan jejak-jejak kejahatan mereka. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan membuat sertifikat kematian palsu, yang sangat rapi dan terlihat sah. Setiap anak yang meninggal di panti, tak peduli bagaimana kondisinya, akan mendapatkan dokumen yang mencatatnya sebagai kematian alami. Semua bukti hilang, dan mereka bisa melanjutkan tanpa ada yang tahu."
Renjana menahan napas, merasa kengerian merayap dalam dirinya. "Jadi, mereka benar-benar memalsukan semuanya? Mereka membunuh anak-anak itu dan mengubahnya menjadi 'kematian alami'?"
Gio mengangguk perlahan. "Ya. Setiap anak yang meninggal di panti ini akan dicatat dengan cara yang sah di atas kertas. Tak ada yang mencurigakan, tak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Semua itu dilakukan untuk menjaga agar panti asuhan tetap terlihat sah di mata dunia."
Renjana menggigit bibir, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. "Lalu, Kiwi? Apa perannya dalam semua ini?"
"Kiwi adalah tangan kanan Helena dalam melaksanakan kejahatan-kejahatan ini," jawab Gio dengan nada serius. "Kiwi bertugas untuk membuat kondisi anak-anak semakin parah. Dia akan memberikan perawatan yang buruk, membuat mereka semakin sakit dan lemah. Semakin banyak anak yang masuk ke dalam kondisi kritis, semakin besar kemungkinan mereka dipindahkan ke ruang isolasi—di mana mereka bisa ‘hilang’ begitu saja tanpa ada yang tahu. Setelah anak-anak itu dipindahkan ke ruang isolasi, mereka akan lebih mudah hilang. Di ruang itulah mereka akan diberikan suntikan obat oleh Kiwi—obat yang membuat mereka semakin lemas, tak berdaya. Setelah anak-anak itu kehilangan kesadaran, mereka akan dipindahkan ke ruangan lain yang lebih tersembunyi, di mana tak seorang pun akan menemukannya. Itu adalah bagian dari proses mereka untuk menutupi jejak dan memastikan tak ada yang curiga."
Renjana menggigil mendengarnya. Renjana lalu teringat sesuatu. "Adi. Pasti dia yang melakukannya. Awalnya kondisi anak itu tidak terlalu buruk hanya demam biasa, ketika Kiwi memintaku untuk keluar sebentar dari kamar... pasti dia yang melakukan hal itu kan?"
"Ya. Tapi tenang saja Adi benar-benar sudah pulih dan diurus oleh salah satu keluarganya," jawab Gio, wajahnya penuh penyesalan. Renjana mengangguk dengan pelan, masih menyesali kebodohannya.
Renjana merasakan rasa campur aduk antara takut dan marah. "Mereka harus dihentikan, Gio. Semua ini harus dihentikan."
"Benar," jawab Gio dengan tegas. "Kami sudah terjebak dalam sistem ini cukup lama, tapi sekarang kita memiliki bukti dan kita tidak akan membiarkan mereka lolos begitu saja. Polisi akan bergerak lebih cepat setelah temuan-temuan ini. Kita hanya perlu memastikan mereka tidak melarikan diri dan bahwa semua anak yang masih selamat mendapatkan perlindungan."
Renjana menatap Gio dengan tekad yang baru. "Aku siap untuk membantu. Ini bukan hanya tentang diriku, tapi tentang semua anak yang telah menjadi korban. Mereka semua harus diungkap."
Gio menatap Renjana dengan harapan. "Dan kita akan pastikan semua ini terbongkar. Tidak ada lagi kejahatan yang bisa disembunyikan."
Renjana berdiri di tanah kosong yang terhampar luas, dikelilingi oleh pohon kelapa yang berbaris rapi. Angin sore yang sejuk berhembus, menyapu lembut rambutnya, membuatnya terdiam sejenak. Suara desiran angin yang merayap di antara dedaunan kelapa menambah kesunyian yang mendalam, memberi nuansa tenang yang jarang ditemukan di dunia yang penuh dengan kegelisahan dan kegelapan.
Di depan Renjana, ada beberapa kuburan baru yang dibuat oleh warga Manarang. Kuburan-kuburan itu masih tampak sederhana, namun terlihat penuh dengan harapan—harapan agar para anak-anak yang telah meninggal bisa menemukan kedamaian yang mereka tak pernah rasakan semasa hidup. Setiap tumpukan tanah yang baru ditimbun tampak lembut, segar, memberi kesan bahwa mereka adalah tempat peristirahatan terakhir yang penuh kedamaian. Beberapa bunga tabur yang baru disebar di atas tanah menambah kesan penuh kasih sayang dan penghormatan.
Renjana menundukkan kepala, matanya terpejam sejenak saat berdoa. Hatinya terasa berat, tapi dia berusaha mencari sedikit kedamaian di tengah kepedihan yang mendalam. Doanya dipenuhi dengan permohonan agar anak-anak itu bisa tenang, agar mereka bisa lepas dari segala penderitaan yang mereka alami selama hidup mereka—agar mereka bisa merasakan kedamaian yang selama ini terenggut dari mereka.
Angin yang berhembus semakin kuat, seolah turut mengantarkan doa Renjana ke angkasa, membawa harapan-harapan kecil yang mengapung di antara pepohonan kelapa yang tinggi. Suara alam yang mengiringi seolah memberikan jawaban, sebuah ketenangan yang langka di dunia yang penuh ketidakadilan.
Renjana membuka matanya perlahan. Matanya memandang tanah yang baru tergali itu, dan dia merasa seolah bisa mendengar suara bisu dari anak-anak yang akhirnya bisa beristirahat dengan tenang, jauh dari dunia yang penuh kekejaman dan penderitaan. Di tengah kesunyian itu, Renjana merasa seolah dia mendengar suara lembut yang memberi ketenangan pada jiwanya, suara yang mengatakan bahwa anak-anak itu kini tidak lagi merasakan rasa sakit, dan mereka akan selalu dihormati.
Dengan perlahan, Renjana melangkah mundur, meninggalkan tempat itu dengan hati yang lebih ringan. Meskipun dunia masih penuh kegelapan, dia tahu bahwa di tanah kosong itu, ada kedamaian yang akan selalu dikenang—dan anak-anak yang telah pergi, kini bisa tidur dengan tenang.
......TAMAT......