Namanya Gadis. Namun sifat dan tingkah lakunya yang bar-bar dan urakan sangat jauh berbeda dengan namanya yang jauh lebih menyerupai laki-laki. Hobinya berkelahi, balapan, main bola dan segala kegiatan yang biasa dilakukan oleh pria. Para pria pun takut berhadapan dengannya. Bahkan penjara adalah rumah keduanya.
Kelakuannya membuat orang tuanya pusing. Berbagai cara dilakukan oleh sang ayah agar sang putri kembali ke kodratnya sebagai gadis feminim dan anggun. Namun tidak ada satupun cara yang mempan.
Lalu bagaimanakah saat cinta hadir dalam hidupnya?
Akankah cinta itu mampu mengubah perilaku Gadis sesuai dengan keinginan orang tuanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Aini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9- Menggantungkan Hubungan
HAPPY READING
🥀🥀🥀🥀🥀🥀🥀
"Apa sebenarnya mau kalian?!” teriak Rebecca meradang karena mulai memahami maksud tidak baik keempat pemuda itu.
“Galak juga ternyata.”
Bentakan Rebecca tidak membuat mereka takut. Malah membuat mereka tertawa terbahak-bahak.
“Tenang, sayang. Tidak perlu takut. Kami janji tidak akan menyakitimu. Justru, kami akan membuatmu merasakan kenikmatan.” pria yang berdiri paling depan mulai menjalankan niat bejatnya dengan menyentuh salah satu gunung kembar Rebecca yang berada dibalik baju gadis itu.
Ketiga temannya menyaksikannya sambil tersenyum mesum. Mereka juga tampaknya sudah tidak sabar ingin mendapat giliran.
“Jangan kurang ajar ya kalian!” Rebecca beringsut menjauh sambil melempar tatapan membunuh pada pria yang mulai melecehkannya itu.
“Hey, mau kemana?” dengan santainya pria itu mencekal pergelangan tangan Rebecca yang hendak berlari.
“Lepaskan! Jangan macam-macam kalian, atau akan teriak!” teriak Rebecca dengan perasaan marah dan takut yang beradu sambil berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman pria itu.
“Teriak saja, sayang. Aku ingin tau siapa yang akan mendengarkan teriakanmu ditempat sepi seperti ini.” pria itu masih menanggapinya dengan senyum mengejek tanpa sedikitpun terpengaruh dengan pemberontakan gadis itu. Ketiga temannya mendekat dan membantunya melakukan aksi pelecehan itu.
“Tolong! Tolong!!” pekik Rebecca sekeras mungkin sambil memandangi kesekelilingnya, berharap akan ada orang yang datang dan menyelamatkannya.
Sedangkan keempat pemuda itu mulai bertindak jauh padanya. Mereka mulai bermain-main di area sensitifnya sambil tertawa.
“Tidak! Lepaskan! Aku mohon jangan sakiti aku!” Rebecca yang semakin ketakutan mulai menangis dan mengiba. Namun, tidak mempan untuk menggugah hati mereka agar menghentikan aksi tidak senonohnya.
BUUK!!
Hingga tiba-tiba, sebuah tendangan keras mendarat di punggung salah satu dari mereka hingga terhuyung dan ambruk ketanah yang dipenuhi rumput.
Sontak mereka semua terkejut, tak terkecuali Rebecca. Dia terpana melihat sosok pria tampan yang datang untuk menyelamatkannya.
Aksi baku hantam antara kelima pria itu pun terjadi. Keempat mahasiswa mesum itu sangat marah dengan kedatangan pria yang menurut mereka sok menjadi pahlawan dan berani mengganggu kesenangannya.
Tatapan Rebecca tidak dapat berkedip dari wajah tampan itu. Hidungnya yang mancung, bibirnya yang seksi, rahangnya yang tegas dan dipenuhi brewok-brewok tipis, serta badannya yang jakung dan atletis membuat Rebecca merasakan jatuh cinta pada pandangan pertama.
Baginya, pria itu adalah pahlawan dan pangeran yang dikirim untuk menyelamatkannya. Dan, dia sangat bahagia karena pria itu ternyata membalas perasaannya. Keduanya pun menjalin hubungan.
Namun, hubungan itu hanya berjalan selama dua tahun saja. Pria itu mengakhirinya secara sepihak. Rebecca sangat sedih dan patah hati. Sebenarnya, alasan pria itu memutuskan hubungan dengannya bukan karena perasaannya yang berubah atau karena orang ketiga, melainkan karena status mereka yang berbeda.
Pria itu berasal dari kalangan bawah. Dia masuk ke universitas itu karena jalur beasiswa. Ayahnya sudah meninggal dan dia hidup bersama ibunya yang sakit-sakitan.
Padahal, Rebecca sudah berulang kali menegaskan bahwa dia tidak pernah mempermasalahkan status sosial mereka.
Namun pria bernama Yusuf Alfarizi itu mengatakan, kalau dia takut berdosa jika mengajak Rebecca hidup susah dengannya andai nanti hubungan mereka sudah terlalu jauh sampai ke jenjang pernikahan.
Yusuf memang tidak secara gamblang mengakhiri hubungan mereka. Dia hanya mengatakan kalau masih banyak hal yang ingin dia raih, salah satunya memiliki kehidupan yang mapan agar bisa membahagiakan ibunya, baru setelah itu memikirkan masalah pernikahan.
Dan selama masa itu, dia membebaskan Rebecca untuk menjalin hubungan dengan pria manapun yang diinginkannya dan tidak perlu menunggunya, karena dia sendiri tidak tau kapan dia akan siap menikahi gadis itu.
Namun, sampai saat ini Rebecca masih belum bisa membuka hatinya untuk pria manapun. Hati dan jiwanya masih sepenuhnya milik Yusuf, meski dia tidak tau kapan pria itu akan siap kembali padanya. Yang bisa dia lakukan hanya menunggu dan bersabar.
🌻🌻🌻🌻🌻
PRAANG!!
Yusuf yang baru saja menyelesaikan ibadah sholat magribnya terkejut mendengar suara barang jatuh yang berasal dari luar kamarnya. Yang kalau dia tidak salah, sepertinya berasal dari dapur.
Dengan tergesa-gesa dia bangkit, merapikan sajadahnya dan melepaskan pecinya, lalu dia keluar dan menuju dapur
“Ya Allah, Bu!” seru Yusuf terkejut melihat ibunya yang tampak sempoyongan dan akan pingsan. Sedangkan dilantai didekatnya itu tampak pecahan mangkok dan sayur lodeh berserakan.
Dengan panik dia berlari menghampiri ibunya yang berpegangan pada meja makan sebagai penopang berat tubuhnya yang lemah dan tidak bertenaga.
“Ibu tidak apa-apa?”
“Tidak, Suf. Ibu baik-baik saja.” Bu Santi berusaha tersenyum demi meredakan kecemasan sang putra.
Padahal, Yusuf tau kalau ibunya sedang menahan sakit. Terlihat dari wajahnya yang pucat. Dia memapah ibunya menuju ruang keluarga yang berada dalam rumah sederhana dan sempit itu.
“Sekarang, Ibu duduk ya.”
Sesuai dengan arahan sang putra, Bu Santi menghenyakkan duduk diatas sofa.
“Sudah berapa kali sih, Bu, Yusuf bilang? Ibu istirahat saja. Biar aku yang melakukan semuanya. Ibu kan tidak boleh kecapekan.”
“Ibu sudah istirahat. Tapi badan ibu malah jadi pegal kalau istirahat terus.” Bu Santi masih saja bersikap ceria seakan-akan dirinya sehat.
Yusuf tau semua itu dilakukan sang ibu karena tidak ingin menambah kecemasan dan beban pikirannya.
“Ibu tuh ya, kalau dikasih tau ngeyel terus. Kemarin ngotot tidak mau diopname, padahal kondisi sedang drop.” Yusuf sedikit kesal menghadapi ibunya yang tidak pernah mau mendengarkannya perihal kesehatannya sendiri.
“Ibu baik-baik saja. Sudahlah, kamu tidak perlu berlebihan.”
“Gimana aku nggak berlebihan, Bu? Jelas-jelas aku tau seperti apa kondisi Ibu. Aku minta maaf ya, Bu, karena aku belum bisa berbakti sama Ibu. Aku belum bisa membahagiakan Ibu. Bahkan, untuk mengobati ibu saja aku belum mampu,” lirih Yusuf dengan wajah menunduk sedih karena perasaan bersalah.
“Kamu bicara apa sih, Nak? Kamu itu sudah sangat berbakti sama ibu. Kamu merawat ibu dengan sepenuh hati. Tapi mungkin, Tuhan belum memberikan kita rejeki. Yang harus kita lakukan adalah banyak-banyak berdoa dan berusaha.” Bu Santi mengusap-usap bahu sang putra, berusaha menyemangatinya.
“Aku sudah berusaha, Bu. Berdoa setiap saat, mencari kerja kesana kemari. Tapi, sampai saat ini belum ada hasilnya sama sekali. Rasanya aku sudah putus asa, Bu. Aku bingung, apa yang salah denganku,” keluh Yusuf dengan ekspresi yang tampak putus asa.
“Kamu jangan bicara begitu, Nak. Sesulit apapun keadaannya, kamu tetap tidak boleh menyerah. Ibu yakin kok, semua akan indah pada waktunya.”
Nasehat sang ibu membuat perasaan Yusuf menjadi sedikit lebih baik.
“Oh ya, ibu mau tanya. Bagaimana dengan kelanjutan hubunganmu dengan Rebecca?”
“Kok, tiba-tiba, ibu menanyakan dia?”
“Karena, ibu merasa bersalah sama gadis itu. Ibu merasa sikapmu itu tidak bertanggung jawab. Kamu menggantungkan hubungan kalian, dan kamu tidak kunjung memberinya kepastian. Menurut ibu, ini tidak adil untuk Rebecca.”
BERSAMBUNG