NovelToon NovelToon
Istri Yang Tak Di Anggap

Istri Yang Tak Di Anggap

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Penyesalan Suami
Popularitas:7.3k
Nilai: 5
Nama Author: laras noviyanti

Candra seorang istri yang penurunan tapi selama menjalani pernikahannya dengan Arman.

Tak sekali pun Arman menganggap nya ada, Bahkan Candra mengetahui jika Arman tak pernah mencintainya.

Lalu untuk apa Arman menikahinya ..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon laras noviyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ch 9

Arman melangkah keluar dari cafe, aroma kopi yang baru diseduh masih tercium di udara. Suasana luar lengang, malam semakin gelap ditambah dengan suara riuh dari dalam club yang dekat. Tono menyusul di belakangnya, susunan rambutnya yang rapi bergerak seiring langkah cepat.

"Lo yakin mau ke sana?" Tono menyela, memperbaiki dasinya yang mulai sedikit melorot.

"Kenapa enggak? Butuh hiburan," jawab Arman. Tempat tinggalnya terasa semakin sunyi setelah Candra pergi. Dia mengalihkan pandangannya ke papan neon berkilau dari club.

Tono mengangguk, tapi raut wajahnya masih tampak ragu. "Kau sudah mendengar tentang Candra? Dia buka cafe, lho."

"Ya, semua orang tahu. Bukan urusanku," Arman merespons dingin, mengedarkan pandangannya. Bising dari club memanggilnya, seperti sirene yang tak bisa diabaikan.

"Dia tampaknya benar-benar berusaha untuk melanjutkan hidupnya," Tono menambahkan, suara Tono menurun seolah sedang hati-hati menyuarakan pendapat. "Mengapa tidak kau hubungi dia? Buatlah pembicaraan."

Arman mendengus. "Apa yang mau aku bicarakan? Dia yang memilih untuk berpisah."

Tono menepuk bahu Arman, dorongannya menggelitik. "Berhenti menyalahkan semua orang, Arman. Kau hanya mengelak dari kenyataan."

"Kenyataan, ya? Mengenai apa? Candra sudah memilih, aku tidak menghalanginya. Cukup sudah, Tono," Arman menjawab tegas, kepalanya berputar untuk mencapai pintu club.

Mereka memasuki club, suara musik boom-boom yang menyengat langsung menyambut mereka. Cahaya berwarna-warni berkedip, menciptakan suasana yang menggairahkan. Arman berusaha meresapi butiran kesenangan itu, melepas embun tekanan yang membekas di pikirannya.

Dengan cepat mereka berbaur dalam kerumunan. Arman meraih minuman dari meja bar, menyeruputnya tanpa ragu. Tono masih di sampingnya, terlalu terjebak di dalam pikirannya.

"Lo benar-benar ingin melupakan Candra, kan?" Tono menuding. “Pikirkan satu hal, kau berdua pernah bahagia.”

Arman menatap ke arah lantai dansa. "Bahagia? Itu masa lalu. Sekarang, apa? Melihat dia dan Dira merayakan kebebasannya sambil aku terjebak di sini dengan segala kenangan menyakitkan?"

Tono menggeleng, mencoba menegakkan suara di tengah hiruk-pikuk. "Hidup itu bukan cuma tentang dia, Arman. Ini tentangmu juga."

Kedua pria itu berpindah ke area duduk yang lebih tenang, mereka bisa menyaksikan orang-orang berdansa. Arman mengatur napasnya, namun pikirannya tak bisa lepas dari bayang Candra, dari cafe yang kini menjadi simbol semua yang hilang.

"Lo kangen banget sama Candra?" Tono bertanya, suara prihatin menghampiri Arman. "Dia mungkin punya kesalahan, tapi itu bukan satu-satunya yang kau ingat tentang dia."

"Sesekali," Arman mengakui, bibirnya menyunggingkan senyum canggung. "Tapi itu semua hanya mengenang, bukan hidup kembali."

"Apa selamanya kau mau menghindari perubahan?" Tono kembali menantang, pandangannya tajam. "Kau butuh menemui orang lain."

"Orang lain? Ini bukan tentang mencari pengganti," Arman membantah, meraih gelasnya dengan kasar. "Candra sudah pergi."

Suara musik mengalun pelan, lampu-lampu berkedip. Dalam kekosongan pikirannya, Arman merasakan serangkaian gerakan untuk menghiasi malamnya. Suara DJ menggema, memecah kesunyian sekaligus mengikis emosinya.

"Kalau begitu beritahu aku apa yang kau inginkan?" Tono kembali bersuara, tekadnya jelas. "Apa kau hanya ingin berdiam diri dan mengingat masa lalu?"

Arman menyesap minumannya, hatinya bergetar pada pilihan yang tersisa. "Aku ingin merasa hidup lagi," jawabnya pelan. "Tapi tak tahu di mana memulainya."

Tono tersenyum, kegembiraannya mencoba mengangkat suasana. "Maka, kita bersenang-senang malam ini. Lupakan semua itu, nikmati hidup."

Arman mengangguk, namun pikirannya tak lepas dari bayang mata Candra saat tersenyum. Saat dia berbagi impian yang dibangun. Di tengah keramaian, sesaat ia merasa lambat — terperangkap dalam masa yang hilang.

"Jangan biarkan masa lalumu mengendalikanmu," Tono melanjutkan. "Sekarang, ayo kita berdansa."

Mereka melangkah menuju lantai dansa, tik-tik suara sepatu menginjak lantai mengikuti pulsasi musik. Arman menutup matanya sejenak, membiarkan ritme mengetuk hatinya. Tono menariknya lebih jauh, mengajak beberapa teman baru yang bersemangat.

Aliran energi memenuhi tubuhnya. Arman merasakan euforia itu, meski setiap goyangan membawa sekelumit kerinduan. Dia ingin berbagi ini dengan Candra, tapi itu hanya kenangan.

"Lo lihat cewek-cewek di sana? Mereka kelihatan asyik!" Tono berusaha menarik perhatian pada sekelompok perempuan yang menari. "Ayo, kita coba berbincang!"

"Enggak mau," Arman menangkis. "Aku enggak mau mengganti gadis."

Tono menghampirkan wajahnya, canda menggoda muncul. "Ayo, setidaknya pergi dekati mereka. Cobalah untuk merasakan cinta baru."

"Tidak sekarang," Arman mendesah, jari-jarinya memainkan gelas kosong. "Biarkan aku sendiri."

Raut wajah Tono meringis, tapi ia diam. Suasana yang meriah seakan menyimpan kesedihan yang sulit dijelajahi. Arman merasakannya. Dia ingin kembali, berusaha menutup luka itu.

Lampu club berangguk, mengubah pandangan Arman saat ia melihat sekeliling. Orang-orang tersenyum, membuka diri. Terkadang ia menginginkan keberanian seperti itu, berani untuk mendekat, untuk merasakan lagi.

Di dalam hati, Arman tahu — hari itu berbeda. Candra bersinar di jalannya, tetapi kini fokusnya pada dirinya sendiri. Dia menginginkan kehidupan yang lebih baik, dengan atau tanpa kenangannya.

Arman menarik napas dalam-dalam, mengayunkan pinggulnya mengikuti irama. Mungkin, ada tempat untuk permulaan baru di luar sana. Di samping Tono, ia bergerak dengan semangat. Mungkin, justru malam ini bisa membawa sesuatu yang tak terduga.

Arman menggoyangkan badan mengikuti beat, menggantikan kepedihan dengan detakan musik. Tino kembali menggoda, "Akhirnya, lo kelihatan lebih hidup lagi!"

Arman tersenyum tipis. "Dan lo yang bikin ini terjadi, bukan?"

"Setidaknya aku akan berusaha," jawab Tono. "Ayo, kita cari tempat duduk. Kita bisa ambil napas sejenak."

Saat mereka mengambil tempat di sudut bar, Tono menatap wajah Arman yang mulai memudarkan ketegangan. "Lihat, itu yang aku ingin lihat. Raut wajah lo mulai relax."

Arman menatap gelas kosong di tangan, "Mungkin ini hanya sementara. Soal Candra, aku... aku hanya merasa kehilangan."

"Ya, kita semua belajar dari kehilangan," Tono berkata. "Tapi jangan biarkan itu menghantui lo."

Senyum Tono mengurangi beban di hati Arman sejenak. "Susah, Tono. Semua ini masih segar.”

Bising club mengalun terus menerus, saat Arman menatap lantai. Sejumlah wajah baru, bercanda dan tertawa, tampak menikmati hidup. Rasa kekosongan tetap menghantui, tapi kehadiran Tono membuatnya merasa lebih baik.

"Hai, lihat yang di sana," Tono tersenyum lebar, mengarahkan pandangannya ke arah sekelompok perempuan di dekat bar. "Mereka nungguin kita."

"Nanti saja, Tono," Arman menangkis. "Kita bisa bilang mereka menyenangkan, tapi aku tidak siap."

“Jadi lo mau bersembunyi terus?” Tono cukup tegas, menantang. “Lo tidak akan tahu sebelum mencoba.”

Arman menatap Tono. Kecemasan menguasai pikirannya, tetapi nyali Tono memupus rasa ragu itu.

"Baiklah, jika itu yang kau mau," Arman menarik napas dalam, semenit sebelum dia bangkit dari kursi.

“Gitu dong!” Tono bersorak, melompat sedikit seakan memberi semangat. “Kita gak bisa terus-terusan terjebak sama bayangan masa lalu."

Mereka melangkah menuju sekelompok perempuan yang asyik berbincang di dekat bar. Kedekatan membuat Arman merasa tak nyaman, tetapi ada sesuatu yang menantang di dalam dirinya.

"Hey, apa kalian suka dengan musik di sini?" Tono membuka percakapan, senyum menawan menghiasi wajahnya.

Salah satu perempuan berambut panjang menghentikan obrolan, matanya berbinar lihat Tono. "Kita bersenang-senang di sini! Kau harus join!"

"Bagus!" Tono menjawab, mengangguk semangat. "Kami baru saja datang."

Arman berusaha tersenyum, namun dalam hati, kepalanya berputar penuh pikiran. Dia berusaha fokus pada setiap kata, berusaha menikmati momen tersebut.

"Kenalkan, ini Arman," Tono memperkenalkannya sambil menyenggol sedikit.

"Hai, Arman," balas perempuan berambut panjang itu, mengulurkan tangan. "Aku Lia."

Arman menjabat tangannya, merasakan energinya yang ceria. "Hai."

Tono kembali bersuara. "Kami baru saja merayakan hidup. Apa yang kalian lakukan di sini?"

"Kami merayakan kebebasan," jawab seorang perempuan lain, bercahaya dengan senyum. “Malam ini adalah kesempatan.”

Arman merasa tertarik, tapi ragu merasuk dalam jiwanya. Juga saat dia melanjutkan untuk melirik teman-teman barunya, liukan tubuh mereka penuh semangat.

“Jadi kalian berdua jomblo?” tanya Lia, langsung ke pokok masalah.

“Ya, hidupku baru saja berubah,” Arman menjawab, merasakan kedalaman yang mendadak.

...----------------...

1
murni l.toruan
Rumah tangga itu saling komunikasi dua arah, agar tidak ada kesalah pahaman. Kalau hanya nyaman berdiam diri, itu mah patung bergerak alias robot
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!