NovelToon NovelToon
Haluan Nadir

Haluan Nadir

Status: tamat
Genre:Tamat / Poligami / Cinta setelah menikah / Pernikahan Kilat / Pengganti / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:19.2k
Nilai: 5
Nama Author: Windersone

Jodoh adalah takdir dan ketetapan Tuhan yang tidak bisa diubah. Kita tidak tahu, siapa, di mana, dan kapan kita bertemu jodoh. Mungkin, bisa saja berjodoh dengan kematian.

Kisah yang Nadir ditemui. Hafsah Nafisah dinikahi oleh Rashdan, seorang ustaz muda yang kental akan agama Islam. Hafsah dijadikan sebagai istri kedua. Bukan cinta yang mendasari hubungan itu, tetapi sebuah mimpi yang sama-sama hadir di sepertiga malam mereka.

Menjadi istri kedua bertolak belakang dengan prinsipnya, membuat Hafsah terus berpikir untuk lepas dalam ikatan pernikahan itu karena tidak ingin menyakiti hatinya dan hati istri pertama suaminya itu. Ia tidak percaya dengan keadilan dalam berpoligami.

Mampukah Hafsah melepaskan dirinya dari hubungan itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Windersone, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Panggil Kakak Saja

🍃🍃🍃

Rashdan dan Halma selaras menghampiri Hafsah di teras rumah. Gadis itu berdiri dari posisi jongkok, menghadap ke arah sepasang suami-istri yang sudah sempurna baginya. Hafsah menyemaikan senyuman, di mana Halma mencari titik kejelasan dari senyuman itu mengenai sesuatu yang membuatnya paling sulit untuk direlakan, yaitu kewajiban istri melayani suaminya dalam nafkah batin. Sejak mengetahui suaminya menikah kembali, bayangan mengenai suami dan madunya itu menghantuinya, itu yang sering membuatnya menangis tanpa sepengetahuan Rashdan. Dimaklumi, wanita itu juga manusia biasa.

Rashdan menatap dalam cara Halma menatap istri keduanya, yang membuatnya sedikit penasaran dengan pemikiran yang terbentang di benak istri pertamanya itu. Namun, disadarinya, itu bukan kebencian.

“Kita berangkat sekarang?“ tanya Rashdan, mengalihkan pandangan Halma dari Hafsah.

“Iya. Ayo, Nak!“ Halma mengangkat kedua tangan, hendak menggendong Husein.

“Enggak,” tolak anak itu yang duduk di atas mobil-mobilannya.

“Sini, Abah yang gendong.“ Rashdan ambil alih.

“Enggak. Sama Kak Hafsah saja,” ucap bocah itu, menarik tangan kanan Hafsah, di mana gadis itu berdiri di sampingnya.

Sontak sepasang suami-istri itu kaget melihat dan mendengar perkataan Husein karena dengan cepat bocah itu bisa memberikan kepercayaan pada orang lain bergaul dengannya. Sebelumnya tidak ada orang yang dengan mudahnya melekat begitu cepat dengan anak tersebut.

Tingkah Husein malah membuat Hafsah merasa tidak enak hati. Gadis itu tertawa ringan sambil melepaskan tangan Husein darinya yang akhirnya kembali digenggam anak berkulit putih bersih itu.

“Biarkan saja,” ucap Halma. “Oh iya, kenapa panggil Kakak? Bukankah Umma sudah memberitahu Husein untuk panggil Bunda sama Tante cantik ini?“

Bocah itu tertawa ringan.

“Tidak apa-apa. Panggil Kakak saja. Aku yang suruh, Mbak. Rasanya sedikit tidak nyaman ketika dia memanggilku dengan sebutan itu,” terang Hafsah.

“Anggap saja belajar, Hafsah. Nanti kalau punya anak bisa terbiasa!“ sahut Syahril, menghampiri mereka karena melihat mereka masih berdiam diri di teras rumah.

Jiwa Halma melemah. Masalah nafkah batin yang sudah jadi beban di benaknya bertambah berat dengan topik anak yang dibawa oleh ayah mertuanya itu. Bukannya menolak kebenaran suatu saat hal itu akan terjadi, tapi Halma merasa itu terlalu cepat dan tidak mudah ditanggung oleh perasaannya. Wanita itu tidak sekuat yang terlihat. Meskipun bisa menipu banyak orang, ia tidak bisa menipu diri sendiri.

Setelah Syahril berucap, Rashdan langsung mengarahkan pandangan kepada Halma, tahu wanita itu terbebani dengan kalimat yang baru dicetuskan sang ayah.

“Kita berangkat sekarang. Bah, kami pamit pergi ke pesantren. Assalamualaikum.“ Rashdan menyalam tangan pria paruh baya itu dan Halma juga melakukan hal yang sama.

Sengaja pria itu bertindak seperti itu agar tidak ada pembicaraan lebih dalam mengenai anak dari bibir Syahril, ia tahu istrinya terluka saat mendengarnya setelah menyadarinya dari ekspresi senyuman di bibir Halma sedikit berkurang.

Kemudian, Rashdan merangkul bahu Halma, mengajak istri pertamanya itu berjalan menuju mobil yang sudah terparkir di halaman rumah. Hafsah melakukan hal yang sama, lalu menggendong Husein, bergegas menghampiri mereka.

“Maafkan Abah, Halma. Bukannya Abah tidak memikirkan perasaanmu, Abah mau kamu belajar dan berlatih lebih awal caranya mengikhlaskan dan merelakan. Pada akhirnya hal itu akan kamu terima juga,” ucap Syahril dalam jiwa sedih sambil memperhatikan mereka berdiri di depan mobil yang akan dikemudikan oleh Rashdan.

“Hafsah, kamu du ….“ Halma menggantungkan perkataannya ketika melihat Hafsah bergegas masuk dan duduk di bangku belakang.

Wanita itu ingin menyuruh madunya itu duduk di samping Rashdan sebagai tahap untuk menumbuhkan benih-benih cinta di antara mereka karena sadar masih belum ada cinta mendalam di antara mereka setelah melihat interaksi kaku kedua sepasang suami-istri yang baru menikah itu, mereka terlihat biasa-biasa saja. Namun, pemikiran mengenai nafkah batin masih saja terpikir olehnya mengingat mereka manusia biasa dan Rashdan juga seorang pria yang memiliki hawa nafsu. Mungkin saja pria itu tidak bisa menahan diri saat melihat Hafsah tidak berjilbab, yang mungkin jauh lebih menarik darinya karena masih muda, meskipun terpaut beberapa tahun saja.

Tingkah Halma disadari Rashdan yang sebenarnya sedikit berat untuk diterima pria itu. Halma tidak terlalu sadar dengan besarnya cinta Rashdan padanya. Karena saking besar rasa cinta itu, tidak diketahuinya hal yang menghantuinya itu belum terjadi karena suaminya itu berat melakukannya bersama Hafsah mengingat dirinya.

“Ayo,” ajak Rashdan, membuka pintu mobil untuk Halma sampai memandu wanita itu duduk.

Hafsah juga sadar dengan tingkah Halma yang pura-pura tidak diketahui olehnya. Gadis itu hening sejenak dengan mata memperhatikan Husein yang ada di pangkuannya berbicara, tapi telinganya tuli terhadap ocehan yang keluar dari mulut anak itu. Fokus utamanya saat ini ialah Halma, tidak habis pikir dengan tingkah wanita itu yang mendorong Rashdan untuknya. Sikap Halma itulah yang membuat Hafsah semakin merasa bersalah dan terbebani. Ia merasa tidak bisa berada di lingkungan keluarga itu lagi karena perasaannya itu yang merusak jiwa dan mentalnya.

***

Seorang pemuda tampak seusia Hafsah dalam balutan kain sarung, berkemeja polos warna biru muda, dan berpeci hitam keluar dari sebuah gedung, berlari kecil menghampiri mobil Rashdan yang baru terparkir di parkiran mobil, di kawasan pondok pesantren Miftahul Jannah, salah satu pondok terkenal di kota itu. Pemuda itu menyalam tangan kakak dan kakak iparnya, lalu menyambut tangan Husein yang juga ingin salam dengannya. Kemudian, pemuda bernama Raihan itu, yang semalam dijemput oleh Mur, orang yang berbicara bersama Hafsah menaikkan pandangan, menatap gadis itu dalam diam dengan rasa penasaran.

“Siapa gadis cantik bermata kecil ini?“ Raihan berkata dalam hati.

Pemuda itu belum tahu mengenai pernikahan kedua kakak iparnya itu karena Halma maupun Rashdan belum memberitahunya. Tatapan lama Raihan terhadap Hafsah menarik turun pandangan gadis itu dengan senyuman terukir di bibirnya, menghargai keberadaan pria itu, bukan karena salah tingkah. Sedangkan Halma dan Rashdan saling melirik dengan ekspresi sama, bingung cara memberikan penjelasan kepala pemuda itu mengenai status Hafsah saat ini.

“Siapa, Kak? Lumayan,” kata Raihan dengan sedikit menggoda.

“Huss!“ tegur Halma.

“Kenapa?“

“Jaga pandanganmu. Kebiasaan,” ucap Rashdan. “Kita masuk sekarang,” ajak Rashdan, mengalihkan topik pembicaraan.

Halma meraih bahu adiknya, merangkul pemuda tersebut memasuki area pesantren yang kaya akan nuansa islami. Kehadiran mereka disambut, disapa oleh beberapa para santri yang tengah menikmati waktu istirahat pertama. Beberapa pengajaran maupun petugas kebersihan yang melihat Rashdan juga menyapa hormat ustaz muda itu.

“Masih muda, ya. Katanya, jarak usia mereka tujuh tahun. Lumayan, cantik,” terdengar seorang pengajar wanita berbicara dari salah satu pintu kelas yang dilalui mereka, di mana Hafsah menangkap jelas perkataan pengajar wanita berhijab sepinggang itu.

“Mereka sudah tahu kalau aku istri kedua Ustaz Rashdan?“ Hafsah berkata dalam hati sambil melirik Rashdan di sampingnya. “Malu sekali. Bukan prinsipku menjadi istri kedua.“ Hafsah mengalihkan pandangan ke depan, memperhatikan sentuhan tangan Halma bercanda pada pemuda bernama Raihan itu, yang berjalan di hadapan mereka.

1
Sri Atun
bagus cerita nya lanjut
Ig: Mywindersone: Ditunggu...!
🥰🥰
total 1 replies
Sri Atun
seru... lanjut dong
Sri Atun
bagus lanjut
Fitri Nur Hidayati
jangan2 memang benar rashdan. bisa saja kan. semoga masih saling ingat.
Fitri Nur Hidayati
jangan ada orang ke-3 y thor. aku kok g ikhlas gitu, biar mereka terlibat poligami g usah ada pelakor
Sofian
lama ya tor up nya
Sofian
lama ya baru up lagi,lagi penasaran jga🫢
Fitri Nur Hidayati
iya pak syahril. kalo mau pisah beneran ka nunggu debay nya lahir dulu.
Fitri Nur Hidayati
lanjut thor
Baiq Susy Meilawati Syukrin
semangat ya thoor , cerita keren....💪
Hilda Hayati
lanjut thor
Baiq Susy Meilawati Syukrin
hmmmm...ribet bet bet.,.🤦🤦🤦
Hilda Hayati
jangan lama2 min kelanjutannya keburu lupa alurnya
Hilda Hayati
keren ceritanya, islami, biin penasaran.
Hilda Hayati
kapan kelanjutannya min, penasaran gmana jadinya hub mereka
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!