Muara Cinta

"Selamat ya Mas, kamu benar-benar berhasil menghancurkan kepercayaan ku."

Perkataan yang diucapkan dengan pelan itu terdengar jelas di telinga Andri, karena hanya ada mereka di dalam mobil.

Andara sadar bahwa cinta dan kesetiaannya selama 8 tahun berumah tangga kini telah gagal. Dia hanya bisa mengalah, karena bertahan pun, Andara sudah tidak sanggup.

Mata Andara bertemu dengan mata Andri yang baru saja menoleh. Mereka saling menatap singkat sebelum Andara menunduk karena menyembunyikan air mata menyesali kegagalan rumah tangganya.

"Gavin memberitahumu, Yank?"

Andra menoleh, kembali menatap Andri dengan mata basahnya.

Andara menggeleng.

"Lantas?" tanya Andri lirih. Hatinya hancur melihat Andara yang terus menangis .

Andri mencengkram roda kemudi dan menatap awas wajah istrinya dan raut muka yang hampa itu menyiksanya saat ini.

Terdengar tawa lirih dari Andara. Tawa itu tanpa perasaan, kosong. Andara tak pernah seperti ini di hadapannya selama 8 tahun. Hingga kemudian kata-kata yang selanjutnya dari Andara seolah menghentikan detak jantung Andri selama beberapa waktu.

"Malam itu, ketika Mas izin dinas ke luar kota. Pagi harinya ibu mas Andri datang menemui ku." belum apa-apa air mata Andara kembali mengalir. "kepercayaanku padamu diuji kala ibu menyodorkan foto pernikahan beserta video akad nikah seseorang yang yang sayangnya ku kenal, bahkan walau hanya bentuk ujung jarinya. Ibumu bahkan mengatakan istri keduamu jauh lebih bermartabat dan membandingkan denganku yang bodoh, mau menikah tanpa restu dan tak tahu malu."

Andara menghapus asal air matanya.

"Bukankah cinta memang seperti itu? Gila dan penuh tekad?" tanya Andara yang sudah setengah putus asa karena tak bisa membendung air matanya.

Bagai tersangka yang menunggu vonis, Andri seolah mendengar Hakim mengetuk Palu dan menyatakan hukuman mati baginya. Andri merasa tertipu oleh keluarganya sendiri. Laki-laki itu menegang, tak mampu untuk sekedar bergerak. Mata sang suami yang bergetar terpaku pada perempuan yang punggungnya bergetar hebat.

"Kamu bisa meninggalkanku jika memang sudah tahu, tak perlu melakukan ini semua." Andri tak kuasa menahan perasaan kecewanya.

"Karena itu kamu tidak mau pulang, Yank, tidak menjawab berapa kali pun aku bertanya lewat pesan. Ini rencanamu sejak awal?" gumam laki-laki itu setelah terdiam cukup lama.

Andara mengangguk.

Andri tertawa sumbang, fakta yang ia ketahui hari ini menyakiti hati dan perasaannya. Andara sedang mengingatkan jika dia adalah laki-laki yang tidak bisa menepati janji. Andara telah menyadarkan Andri jika Andri adalah pria tak setia.

Mereka terdiam, menyelam dalam pikiran masing-masing. Bersamaan dengan matahari yang semakin meninggi. Panasnya mulai terasa menembus kaca mobil. Namun tidak pada dua anak manusia yang masih dingin. Mereka menatap jauh keluar sana dengan tatapan mata yang kosong. Duduk berdampingan tetapi terasa sangat jauh. Bahkan Andri takut hanya sekedar menyentuh jemari istrinya sendiri. Andara setelah menghentikan tangis tak juga sudi bersuara.

Mereka bersitatap setelah berjam-jam lamanya berdiam diri.

Andri terlalu kecewa dengan fakta yang dia dengar, bahwa ibunya lah yang membocorkan pernikahannya dengan Gia. Padahal beberapa hari lalu ibunya masih mengancamnya dengan hal itu.

"Aku tidak punya hak marah, bagaimanapun kamu sudah menikahinya."

Kata-kata istrinya berhasil menciptakan roller coaster bagi laki-laki itu. Perasaan tenang sekejap digantikan oleh pedih, tumpah ruah menjadi satu dalam dirinya seketika itu juga.

Andara tidak bisa memungkiri bahwa Gia cantik dan seksi, masih sangat belia. Tipe perempuan yang menggebu-gebu dan bebas, cukup berbeda dengannya.

Jika Andara adalah bulan purnama yang indah, Gia ada matahari yang bersinar terang. Andara adalah sebuah danau yang tenang, perempuan itu adalah lautan yang berombak. Jika Andara adalah bunga melati yang sangat sederhana, Gia adalah bunga mawar yang penuh daya tarik.

Hanya membayangkan Andri bersama perempuan itu.

Andra merasa cemburu, hatinya sakit dan terluka.

"Aku tak bisa menghalangi mu dan keluargamu mendapat yang lebih baik dariku Mas, aku anggap kita tak berjodoh. Mungkin pernikahan kita sampai di sini."

"Tidak Yank, bukan ini yang aku inginkan. Aku minta maaf, aku akan memperlakukan kalian dengan adil, aku berjanji padamu." Andri menggeleng frustasi. Andara tampak sudah bertekad, perempuan itu tidak luluh dengan janji yang Andri ucapkan.

"Tapi aku bukan perempuan muslimah taat yang menerima poligami. Itu tidak sesuai dengan prinsip hidup dan keyakinanku. Kita akhiri saja pernikahan ini sehingga kau bisa hidup bahagia dengan perempuan yang direstui oleh keluargamu, aku pun tahu Mas. Selama ini kau diam-diam membangun hubungan lagi dengan keluarga mu sementara aku..." Andara tak mampu melanjutkan ucapannya. Terlalu sakit, terlalu banyak yang Andri sembunyikan darinya. Andri bakan mungkin lupa selama 8 tahun ini hanya dia seorang yang Andara miliki.

Maka Andara sudah membulatkan tekadnya, tak sedikitpun ada keraguan dengan pilihannya.

Andri sendiri tak berkutik dengan fakta-fakta yang Andara ungkapkan satu persatu. Laki-laki itu kehilangan suara hanya untuk membujuk istrinya.

"Yank..."

"Kamu berharap apa Mas dariku? Memintamu untuk memilih antara Aku dan Dia?"

Tidak. Karena Andri tidak bisa memilih saat ini. Bukan karena rasa cintanya pada Gia, tapi karena wanita itu tengah mengandung anaknya.

Fakta baru menghantam kesadaran Andri, Dia baru saja melupakan bahwa ada ikatan baru yang terjadi antara dia dan Gia.

Entah apa jadinya jika Andara tahu kenyataan yang terjadi saat ini, mungkin Andri akan benar-benar kehilangan Adara.

Beribu-ribu kali Andri ingin kembali pada malam itu. Pada waktu semua belum terlambat untuknya.

Suasana hati Andri semakin buruk ketika Andara memutuskan untuk turun dari mobil, entah kapan wanita itu menghubungi taksi mungkin karena dia terlalu tenggelam dalam ketakutan tak berujung hingga Andri lengah.

"Andara..." teriaknya setelah taksi itu berhasil membawa istrinya pergi.

Andri menendang udara kosong, air mata yang jatuh tak pria itu hiraukan.

"Andri, kamu ngapain disini?"

Hingga sebuah tanya menyapa lelaki itu.

...****************...

"Galau banget, ada apa sih kok kamu ngos-ngosan gitu." suara Gilang teman Andri.

Andri menceritakan permasalahannya. Mungkin Andri harus memberi waktu Andara, bisa jadi saat ini istrinya itu masih dikuasai emosi, bukan tidak mungkin Andara akan memberinya kesempatan kedua.

"Kan Andara bilang dia tidak bisa menerima poligami dan memilih bercerai. Itu prinsipnya. Kamu masa susah ngerti sih."

"Aku nggak akan pernah setuju dengan perceraian yang Andara minta."

Ucap Andri berhasil membuat Gilang melongo.

"Please lah, jangan egois Dri. Saat kamu memutuskan menikah lagi, harusnya kamu udah siap dengan konsekuensi yang seperti ini, secara tidak langsung kamu pasti sudah siap kehilangan salah satunya."

"Nggak! Aku akan mempertahankan pernikahan sama Andara. Aku nggak mau cerai sama dia, Andara nggak boleh menyerah lebih dulu dalam hubungan kita."

"Tapi kamu bilang, istrimu yang lain sedang hamil?"

Sungguh Gilang tidak menyangka bahwa temannya kini berubah begitu egois. Gilang seperti tak mengenal sahabatnya.