Cinta datang tanpa diundang. Cinta hadir tanpa diminta. Mungkin begitu yang dirasakan oleh Halim saat hatinya mulai menyukai dan mencintai Medina-gadis yang notabene adalah muridnya di sekolah tempat dia mengajar.
Halim merasakan sesuatu yang begitu menggebu untuk segera menikahi gadis itu. Agar Halim tidak mengulangi kesalahannya di masa lalu.
Apakah Halim berhasil mendapatkan hati Medina?
Apakah Medina menerima cinta dari Halim yang merupakan Gurunya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ils dyzdu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Semenjak Halim memesan tempenya kemarin. Entah kenapa jantung Medina masih setia untuk berdebar-debar. Sampai-sampai dia lupa bertanya pada Halim ingin pesan berapa tempe, karena dia sudah langsung kabur saja saat itu.
“Aduh! Kenapa jantung gue jadi gak nyaman begini?”
Medina jadi senyum-senyum sendiri saat mengingat Halim malah memanggil dirinya dengan sebutan ‘Abang’ dari pada ‘Bapak’. Astaga!
Pagi ini, saat jam istirahat sekolah, Medina pergi ke sekolah. Dia akan mengantarkan pesanan brownies 3 orang kakak kelas dan 2 orang gurunya. Tak lupa dia juga membawa 5 papan tempe untuk Halim. Biar sekalian antar saja, begitu pikirnya.
Setelah selesai mengantarkan pesanan, sekarang dia mencari keberadaan Halim, tapi Halim malah tidak kelihatan sama sekali.
“Apa Pak Halim gak masuk hari ini, ya?”
Medina memutuskan untuk bertanya pada guru piket yang ruangan di dekat gerbang sekolah.
“Assalammu’alaikum, Pak Rahman.”
Pak Rahman-Guru fisika yang sedang menulis sesuatu di buku besar, sontak mendongak dan tersenyum.
“Eh, wa’alaikumsalam. Ada apa, Medina? Kenapa pagi-pagi sudah di sini? Bukannya kamu masuk siang?”
“Egh, iya, Pak. Medi ke sini ngantar pesanan. Oh iya, Pak. Pak Halim gak masuk ya, Pak?”
“Ternyata Pak Halim terkenal banget semenjak masuk sekolah ini, ya?”
Medina mengernyit dan tidak paham maksud ucapan Pak Rahman. “Egh, maaf, Pak?”
Pak Rahman tertawa sembari membenarkan kaca matanya. “Hari ini, sudah hampir separuh siswi di sekolah yang nanya Pak Halim datang atau tidak .”
Medina tersenyum kecil. “Tapi Medi tanya karena mau ngantar pesanan Pak Halim, Pak.”
Medina langsung menjelaskan, dari pada Pak Rahman juga berpikiran yang aneh-aneh padanya.
“Oohh, gitu ternyata. Pak Halim tidak ada jadwal hari ini, Me. Besok dia baru masuk.”
Medina tersenyum tipis lalu mengangguk. “Baik, Pak. Terima kasih ya, Pak?”
Medina berjalan menuju parkiran, di mana sepedanya terparkir.
Dia bingung. Ini tempe mau di kemanakan. Mau diantar ke rumah Halim, dia tidak tahu di mana rumahnya. Hem. Kan tidak mungkin nanya alamat rumah Halim sama Mamanya Reno.
Tring!
Bunyi pesan masuk. Medina segera merogoh kantung hoodie-nya. Dia selalu semangat setiap ada bunyi pesan masuk. Berharap ada orang yang ingin order brownies padanya.
Medina menaikkan kedua alisnya, saat terpampang pesan dengan nama kontak ‘Pak Halim’ di layar pop-up.
Medina menekan layarnya dengan perasaan tak karuan. Jantungnya mulai berdebar-debar lagi.
Pak Halim : [Assalamualaikum, Dek.]
“Eh? Pak Halim nge-wa cuma untuk ngucap salam? Apa gue secute itu, makanya tetap dipanggil Adek? Haha, Baiklah! Gue balas!”
Anda : [Wa’alaikumsalam.]
Pesan Medina langsung dibaca. Dan Halim langsung mengetik.
Pak Halim :[Dek, tempenya jadi diantar?]
Anda : [Ini Medi di sekolah. Kirain Bapak ada di sekolah. Mau antar ke rumah, Medi gak tahu di mana rumah Bapak.]
Pak Halim : [Tunggu di simpang sekolah, ya? Abang ke sana.]
Medina membulatkan matanya. “Hah? Ini betul Pak Halim mau ke sini Cuma untuk ngambil pesanan tempenya? Kan bisa aja gue yang ngantar.”
Medina tersenyum. Jujur saja, hatinya mulai terasa aneh saat Halim ternyata masih memanggilkan dirinya sendiri dengan sebutan ‘Abang’ pada Medina.
Medina geleng-geleng kepala. Dia memasukkan kembali hp-nya ke dalam kantung hoodie yang dia kenakan. Dia segera mengayuh sepedanya menuju simpang sekolah untuk menunggu Halim.
Di simpang sekolah, Medina menunggu kedatangan Halim dengan sabar. Medina memilih berdiri di samping sepedanya. Agar tidak bosan, dia menunggu sambil bermain hp.
TIN!
Suara klakson motor mengagetkan Medina. Dia menoleh saat motor itu mendekat ke arahnya.
‘Ini motor Pak Halim kan, ya?’
Pengendara itu mematikan motornya, lalu membuka helm full face dengan senyuman tampan yang sudah terukir dari bibirnya.
Medina hanya terpaku saat dirinya disuguhi pemandangan yang belum sama sekali pernah dia lihat. Yaitu senyum dari orang tampan yang dikagumi banyak siswi di sekolahnya.
Setelah tersadar, Medina berdehem dan segera menunduk.
Halim melihat itu, bibirnya semakin menyunggingkan senyum. Dia rasanya gemas. Dan entah kenapa tangannya terasa gatal ingin mengusap puncak kepala Medina.
“Dek, tempenya?”
Medina dengan grogi mengambil plastik dari keranjang sepedanya.
“Maaf, Pak. Medi gak tahu Bapak pesan berapa kemarin. Jadinya, Medi bawakan 5 papan tempe,” ucap Medina sambil menyerahkan tempenya pada Halim.
Halim berdecak kecil. Dia rasanya risih dipanggil Bapak oleh Medina.
‘Panggil Abang ‘kek, Medina.’
Halim turun dari motornya lalu menghampiri Medina. Sebelumnya, dia sudah celingak-celinguk dulu memperhatikan sekitar. Takut-takut kalau ada siswi di sekolah yang keluar dan melihat dia di sini.
Halim mengambil tempe itu dari tangan Medina. Dia kemudian merogoh kantung celana training hitamnya.
“Nih, uangnya, Dek.”
Halim menyodorkan selembar uang merah.
Medina mengambil uang itu kemudian dia menggaruk kepala. “Pak, kembaliannya bisa nanti, gak? Nanti Medi antar, deh. Soalnya, Medi gak bawa uang pecah.”
Halim tersenyum dan menggelengkan kepala. “Gak usah, Dek. Kembaliannya buat Adek aja.”
Medina tercengang. “Hah? Jangan gitu, Pak. Medina jadi gak enak. Nanti sore Medi antar aja ke rumah Bapak.”
Halim diam saja. Dia melangkahkan kakinya, lalu naik ke atas motor dan memakai helm-nya.
“Dah, ya? Abang pulang dulu. Uangnya gak usah dibalikin. Untuk Adek aja.”
Halim menghidupkan motornya, lalu melajukan motor itu dengan kencang.
“Pak? Pak Haliiim!! Iissh!” Medina berdecak sebal. “Pak Halim ada-ada aja.”
Halim masih bisa mendengar teriakan kesal Medina di tengah suara motornya yang berisik ini.
Halim tersenyum dengan lebar. Hatinya begitu berbunga-bunga saat ini.
‘Besok-besok aku lamar dan nikahi kamu, Dek. Biar bisa kasih uang nafkah sama uang jajan buat kamu.’
Halim semakin melebarkan senyumnya. Kali ini Halim harus segera melaksanakan apa yang sudah dia niatkan. Halim tidak mau patah hati lagi untuk kedua kalinya.
........****........
“Bu. Ini uang tempe dari Pak Halim.”
Medina meletakkan selembar uang merah itu ke atas meja, kemudian menggeser kursi dan duduk.
Bu Widya yang masih sibuk mengunyah brownies buatan Medina mengernyit. “Pak Halim? Pak Halim itu siapa?”
“Oh, Ibu belum tahu, ya? Itu guru baru Medina di sekolah. Guru matematika. Dia pesan tempe kemarin dari rumahnya Bang Reno.”
“Reno anaknya Bu Husna, ya?”
Medina mengangguk. “Iya, Bu. Medi baru tahu kalau Pak Halim temannya Bang Reno.”
“Jadi kembaliannya udah kamu kasih 'kan, Me?”
Medina menggeleng. Bu Widya menaikkan alisnya. “Loh, kok belum? Nanti kamu antar aja ke rumahnya.”
Medina menghela nafas. “Masalahnya, Pak Halim bilang kembaliannya untuk Medi, Bu.”
Bu Widya senyum-senyum. “Eh, eh.”
Medina cemberut. “Apa ‘sih, Bu? Kenapa Ibu senyum-senyum coba?”
Bu Widya mengedikkan bahu. Tangannya kembali mencomot potongan brownies di atas meja.
“Medina juga bingung, Bu.”
“Bingung kenapa, Me?”
“Kenapa Pak Halim manggilkan dirinya Abang ya sama Medi?”
“Orangnya masih muda, ya?”
Medina mendengus. “Iihh, Ibu. Kan temannya Bang Reno, ya masih muda dong, Bu.”
Bu Widya terkekeh. “Kok Ibu jadi penasaran ya gimana orangnya. Hihi.”
Medina menyipitkan matanya. Dia menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi dan melipat tangan di atas perut.
“Oh iya, Pak Halim itu udah nikah apa belum?”
“Kayaknya belum, Bu.”
“Jangan-jangan dia suka sama kamu, Me,” celetuk Bu Widya.
“Huuush, Ibu! Ada-ada aja kalau ngomong. Lagi pula dia itu guru Medi, Bu. Dah, ah. Medi masuk kamar dulu.”
Medina bangkit dari duduknya dengan bibir cemberut. Sontak Bu widya langsung tertawa karenanya.
Bu Widya memandangi Medina yang sudah melangkah menuju kamarnya.
‘Anak kita udah gadis,’ ucap Bu Widya dalam hati dengan senyum sendu.
........****.......