Menjadi Istri Simpanan Dosenku

Hana bergegas masuk ke dalam kamar pengantinnya lalu bergegas duduk di tepi ranjang untuk menelepon Fransisca.

"Ca, kamu benar. Kak Aric tadi melihatku terus dengan tatapan aneh"

"Benar, kan"

"Kenapa kamu bisa tahu trik-trik aneh-aneh kayak gini, Ca?"

"Dari dulu kamu tahu, kan, kalau aku suka baca komik romantis dan novel roman picisan, hehehehe. Beda sama kamu. Kamu hanya suka baca buku pelajaran"

"Oalah, gitu. Ada gunanya juga, ya, kamu baca komik dan novel itu. Kamu bisa bantu aku sekarang, hehehehe"

"Iya, dong. Siapa dulu, Caca!"

"Tapi, panggilan Mas tadi belum ngefek, Ca. Kak Aric mengabaikannya"

"Coba lagi aja nanti. Pura-pura kamu salah memanggil Kak Aric, Mas"

"Oke, lah. Makasih, Ca"

"Sama-sama. Eh, aku tutup dulu teleponnya, ada bel pintu bunyi"

"Oke, love you, Ca"

"Love you too, Na"

Klik! Setelah memutus sambungan teleponnya Hana, Fransisca berlari ke pintu apartemennya dengan senyum cerah ceria karena dia yakin banget yang datang itu, Theo, sang pujaan hati"

Ceklek! Dugaan Fransisca benar.

Theo tersenyum dan menyerahkan bedaknya Fransisca sambil berkata, "Bedak kamu jatuh di mobilku"

Fransisca tersenyum lebar dan sambil menerima bedak itu dia berkata, "Terima kasih, Pak. Pantas saja tadi saya cari-cari, kok, tidak ada"

"Sama-sama. Kalau gitu Bapak pulang dulu dan......"

"Tunggu dulu, Pak"

"Ada apa?"

"Bapak sudah mengembalikan bedak saya, emm, saya akan mentraktir Bapak makan di......"

"Tidak usah. Bapak udah makan dan......"

"Bukankah seseorang harus berterima kasih dengan benar setelah menerima kebaikan?"

"Iya"

"Kali begitu biarkan saya berterima kasih dengan benar, Pak"

Theo menghela napas panjang lalu berkata, "Baiklah. Tapi, jangan makan yang berat-berat, seperti nasi atau mie"

"Baiklah. Saya akan traktir Bapak makan roti bakar dan kopi di dekat sini"

"Baiklah"

Fransisca tersenyum lebar lalu menutup pintu setelah dia menyambar tasnya yang selalu dia letakkan di atas nakas yang ada di sisi kanan pintu masuk.

Beberapa jam yang lalu saat Theo mengantar dirinya dan Hana balik ke kampus, Fransisca sengaja meninggalkan bedaknya di mobilnya Theo.

Sementara itu, Alaric berlari masuk ke ruang kerjanya dan langsung menuju ke wastafel. Alaric membasuh wajahnya beberapa kali. Lalu, pria tampan itu menatap wajahnya yang masih basah di depan cermin dengan senyum kesal. Dia menertawakan dirinya sendiri. Dia menganggap Hana sebagai adiknya, tapi dia memiliki fantasi liar atas Hana.

Pria tampan itu melap wajahnya dan saat dia membuang tissue ke keranjang sampah, Alaric mematung dan bergumam, "Hana tadi memanggilku Mas pas mengambilkan perkedel. Aku tidak salah dengar, kan? Sial! Hana salah panggil apa dia teringat pria lain lalu memanggilku Mas. What?! Apa Hana memanggil Theo, Mas? Nggak! Itu nggak akan aku biarkan!"

Alaric lalu berlari kencang keluar dari dalam ruang kerjanya menuju ke kamar pengantinnya.

Ceklek! Alaric membuka pintu dan menemukan Hana tengah mengerjakan tugas di meja yang berada di dekat pintu masuk.

Alaric menutup pintu dengan tumitnya lalu mendekati meja dan meletakkan kedua telapak tangannya di meja sambil menunduk melihat wajah Hana dan bertanya, "Kenapa tadi kamu memanggilku, Mas?"

Hana mendongak kaget, "Hah?!"

Saat pucuk hidung Hana menyentuh pucuk hidung Alaric, Hana sontak bangkit berdiri dan sambil mendorong kursi ke belakang dengan kakinya dia berkata, "Maaf, Kak"

Alaric menegakkan badannya lalu berjalan mendekati Hana sambil menggeram, "Kenapa pas tadi kamu mengambilkan Kakak perkedel, kamu memanggil Kakak, Mas? Kamu salah panggil, ya? Pria mana yang biasa kamu panggil Mas, hah?!"

Hana terus melangkah mundur dan terpaksa berhenti saat punggungnya membentur tembok.

Hana menoleh ke kanan dan ke kiri dengan panik dan sebelum gadis itu berlari, Alaric mengungkungnya.

Alaric menunduk dan dengan wajah dingin dia kembali menanyakan pertanyaan yang sama, "Kenapa ada panggilan Mas? Apa kamu memanggil Theo dengan sebutan Mas?"

Hana hanya bisa menggelengkan kepala.

"Lalu, siapa laki-laki yang kamu panggil dengan sebutan Mas? Jawab!"

Hana hanya bisa menggelengkan kepala.

Alaric menggeram, "Kau tidak mau jawab?"

Hana kembali menggelengkan kepalanya.

Pantat Hana yang berada di tengah telapak tangannya yang berkeringat menempel erat di tembok berbarengan dengan kedua telapak tangannya.

Alaric menempelkan pucuk hidungnya di tengah-tengah alis cantiknya Hana.

Saat Alaric menyusurkan pucuk hidungnya menuruni hidung Hana, jantung gadis remaja itu berdegup kencang dan perutnya melilit.................