Haii…
Jadi gini ya, gue tuh gay. Dari lahir. Udah bawaan orok, gitu lho. Tapi tenang, ini bukan drama sinetron yang harus disembuhin segala macem.
Soalnya menurut Mama gue—yang jujur aja lebih shining daripada lampu LED 12 watt—gue ini normal. Yup, normal kaya orang lainnya. Katanya, jadi gay itu bukan penyakit, bukan kutukan, bukan pula karma gara-gara lupa buang sampah pada tempatnya.
Mama bilang, gue itu istimewa. Bukan aneh. Bukan error sistem. Tapi emang beda aja. Beda yang bukan buat dihakimi, tapi buat dirayain.
So… yaudah. Inilah gue. Yang suka cowok. Yang suka ketawa ngakak pas nonton stand-up. Yang kadang galau, tapi juga bisa sayang sepenuh hati. Gue emang beda, tapi bukan salah.
Karena beda itu bukan dosa. Beda itu warna. Dan gue? Gue pelangi di langit hidup gue sendiri.
Kalau lo ngerasa kayak gue juga, peluk jauh dari gue. Lo gak sendirian. Dan yang pasti, lo gak salah.
Lo cuma... istimewa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zoe.vyhxx, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
95%nya azel
Kian perlahan membuka matanya. Pandangannya masih buram, dan rasa pusing belum sepenuhnya hilang dari kepalanya. Perutnya pun terasa kurang nyaman, seperti sedang protes karena telat diberi asupan.
“ aukhh” kian mencoba bangkit.
Ia mulai menyesuaikan pandangan, meneliti ruangan di sekelilingnya. Kaos oversize yang melekat di tubuh, serta celana pendek yang biasa ia kenakan di rumah, membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Setidaknya, ini bukan tempat asing.
Kian bangkit dan melangkah menuju jendela. Dari sana, ia melihat Jeevan sedang berlatih menembak bersama Darel di halaman belakang. Namun tak lama kemudian, Darel masuk ke dalam rumah, dan seseorang yang lain mendekati Jeevan,, Bian.
Perempuan itu tampak mendekat dengan sengaja, menyenggol bahu Jeevan seolah mengisyaratkan kedekatan yang lebih dari sekadar teman. Melihat itu, Kian merasakan amarah
“ cewek itu” geram kian ia mengepalkan tangannya. " Kurang kerjaan banget nih orang .."
Tok tok tok
“ kian”
Kian menoleh kearah suara yang memanggilnya pelan dibalik pintu. Kian tahu itu suara darel.
Kian membuka pintu “ kak darel” lirihnya
“ kamu gak pake celana ya?” Tanya darel
“ hee? Pake kok. Nih” tunjuk kian sambil membuka kaosnya. " Limited edition celana pendek, kak. Mau?”
Darel cuma geleng-geleng. “Ya udah, mau ngomong bentar—”
Namun Kian segera berlari kearah jendela untuk mengamati sang kekasih.
" Dasar bocah.." Darel yang mau berbicara sebentar mengikuti arah kian pergi.
“ kak. Sebenernya cewek itu siapa sih?” Tanya kian penasaran.
“ dia bukan cewek yang ketemu gue di caffe kemarin deh.”
Darel mengernyit . “ kapan?”
Kian menatap darel “ itu pas gue nyemburin air. Emang om ganteng gak bilang? “
Darel menggeleng.
“ waktu itu om ganteng juga dipeluk peluk sama cewek. “
“ ciri cirinya gimana ?” Tanya darel kepo.
Kian mencoba mengingat. “ Hmm… rambut panjang, body kayak LC, bibir merah kayak cabe rawit, cantik sih. Tapi vibes-nya tante-tante high class.”
“Kamu.. nyemburin apa tadi?” Darell mencoba tidak tertawa
“ air.” Kian terdiam “ salah ya?”
“ pftt… hahahahahhaha” darel tertawa terbahak bahak
Kian hanya melihat sambil garuk garuk kepala “ stres nih kak darel”
“ terus reaksi dia gimana ?”
“ gak tau sih, abis itu gue kabur. Soalnya deg-degan juga sih, takut ditampar” kian menjawab acuh tak acuh.
“Sella.. namanya sella”
Kian langsung fokus. “Sella? Nama tante cabe itu Sella?”
“ inget baik baik ya. Kalo ketemu lagi bilang sama aku. Kita recokin rame rame”
“ a haha.. haha .. emang gapapa kak?”
“ gapapa. “ darel sedikit melirik kebawah dimana bian sedang diajari cara menggunakan senapan.
Kian ikut menatap mereka berdua.
...Brukk!! ...
Entah apa yang membuat bian jatuh dan menindih badan jeevan.
Dari lantai tiga, Kian menyaksikan semuanya. Matanya membelalak, jantungnya berdegup tak karuan. Entah karena kaget, marah, atau… cemburu yang memuncak.
“Apa-apaan itu?” bisiknya dalam hati.
Tanpa pikir panjang, Kian langsung berlari menuju pintu, menuruni tangga tanpa memperhatikan apa pun lagi. Darel yang baru saja mau mengajaknya bicara, hanya sempat mengernyit.
“Sial... masalah lagi nih,” keluh Darel, segera menyusul Kian yang melesat bagai peluru.
“Kian, tunggu! Astaga... cepet banget larinya! Dan... eh, itu anak gak pake sendal?!” Darel melongo, melihat Kian lari ngacir dari lantai tiga hingga ke halaman belakang tanpa alas kaki.
" Om Ganteng!!!” teriak Kian lantang, suaranya menggema, penuh emosi dan nada tidak suka.
Kian berlari dengan kecepatan penuh, seperti tidak peduli lagi siapa yang melihat. Tanpa sendal, tanpa berpikir, hanya satu hal di kepalanya: kenapa cewek itu nindihin Jeevan?!
Jeevan dan Bian sontak menoleh ke arah suara teriakan. Bian tampak panik, buru-buru menjauh dari Jeevan. Sementara Jeevan, yang semula duduk sambil mengernyitkan dahi karena kejadian aneh barusan, langsung berdiri dan melangkah cepat ke arah Kian.
Namun Kian keburu berhenti tepat di depan mereka. Nafasnya memburu, wajahnya merah, entah karena capek atau karena terbakar api cemburu.
“lo ngapain?!” bentak Kian, tatapan matanya lurus menusuk ke arah Jeevan, atau lebih tepatnya, ke arah Bian.
Bian terdiam, jelas tak menyangka akan mendapat reaksi sebesar ini.
“Itu bukan seperti yang kamu pikir, Kian,” kata Jeevan berusaha tenang, tapi ekspresinya juga mulai berubah saat melihat Kian tampak sangat terpukul.
“Bukan seperti yang dipikir? Terus kenapa tadi dia jatuh terus nindihin gitu aja? Lucu, ya? Seru?”
“ sayang gak kayak yang kamu liat. Oke. Bian jatuh jadi aku.. akuu.. bian tolong jelasin ke kian”
Kian mundur selangkah. Ia menunduk sambil meremas kaosnya. Ada sedikit darah dikakinya . Mungkin ia tergores oleh pot kecil yang ia tabrak saat berlarian tadi.
“ om kok gitu” suara kian sedikit lebih pelan.
“Gitu apa? Sayang heii.. “ jeevan berusaha mendekat.
"Kalo kalian mau latihan tembak-tembakan, silakan. Tapi jangan pake drama telenovela jatuh nindih segala. Gue bukan penonton sinetron,” katanya dengan suara sedikit gemetar.
Bian akhirnya angkat bicara. “Maaf, aku gak sengaja. Aku kepleset waktu mau ngambil peluru latihan. Aku gak bermaksud—”
“Gak usah dijelasin,” potong Kian.
Ia berbalik, tapi Jeevan memegang lengannya. “Kian, dengerin dulu—”
Kian menepis tangan Jeevan. “Lepasin. Gue lagi gak pengen drama. Kalau gue penting, harusnya tau posisi mana yang gak pantas buat dilihat orang lain.”
Seketika suasana hening. Angin sore berhembus pelan, tapi di hati Kian, badai sudah terlanjur datang.
Kian berlari menjauh dari sana karena menatap bian yang tersenyum sinis dibelakang punggung jeevan seperti perempuan yang bernama sella itu lakukan. Sama persis.
Semua seakan sedang menertawakan dirinya.
Jeevan berdiri diam di tempatnya. Napasnya berat, dan untuk sesaat ia hanya bisa menatap punggung Kian yang menjauh. Di dadanya, ada sesak yang tak bisa dijelaskan. Bukan karena kesalahan besar, tapi karena seseorang yang paling ia jaga… merasa disakiti.
Brukk!! Kian terjatuh didepan kolam ikan.
Tubuhnya sempoyongan karena belum terisi energi sama sekali. Seluruh tubuhnya lemas. Ia berdiri lagi sambil berjalan pelan.
“ kampret!!” Umpatnya
Darel yang mendengar umpatan itu sedang berusaha menahan tawa . Kalau saja tidak ditatap tajam oleh jeevan . Darell pasti akan membuli kian karena udah jatuh dengan konyol.
" Eh, ada apaan nih rame-rame? Gue ketinggalan acara apa?” tanya Azel cuek sambil nyeruput minumannya.
“ gaji kamu saya potong 95% bulan ini”
Deghh!!
Tanpa menoleh, Jeevan langsung nyeletuk dingin.
“Gaji kamu saya potong 95% bulan ini.” terngiang di telinganya azel berulang kali.
Degghhh!!
Deghh!!
Gelas di tangan Azel hampir copot.
“Lho?! Lah? Pak! Kenapa, Pak Jeevan?!” serunya panik sambil mengejar Jeevan yang sudah mulai melangkah ke arah Kian.
Darel langsung ngakak tanpa bisa nahan lagi.
“Mampus lo!” katanya sambil menunjuk Azel. “Makanya kalo ditugasin jangan malah ngilang. Lo bukannya jagain si bian biar ga Deket Deket malah ngaso sambil ngudud dan ambil minum!”
Azel mencoba membela diri. “Yaa ampuun bro! Gue cuma ambil minum. Aus egeee. Tadi siang panas banget, bibir gue kering retak!”
Darel makin menjadi. “Lo satu jam, bro. SATU JAM. Dari atas gue liatin lo udah kayak patung kuda duduk manis di bangku pos jaga. Pegang minuman, kaki selonjor, kayak lagi di spa.”
Azel menepuk jidat “ mati gue. Udah di pantau sama calon istrinya si bos”
Sementara itu, Bian berjalan melewati keramaian tanpa merasa bersalah sedikit pun. Wajahnya datar, tangan lipat, ekspresi santai kayak gak terjadi apa-apa. Tatapan tajam Darel yang seolah minta penjelasan hanya dibalas dengan tatapan "who cares".
.
.
.
...****************...