"Tidak ada yang namanya cinta sejati di dunia ini. Kalaupun ada, seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami." ~Liam
"Cinta sejati tak perlu dicari. Dia bisa menemukan takdirnya sendiri." ~Lilis.
Bagaimana ceritanya jika dua kepribadian yang saling bertolak belakang ini tiba-tiba menjadi suami istri?
Penasaran? Ikuti kisahnya sekarang ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amih_amy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9. Cara yang Berbeda
...----------------...
"Ehem." Liam berdehem sekali untuk menetralkan rasa gugupnya. Dengan cepat lelaki itu mengalihkan pandangan lalu berjalan santai menuju lemari seolah tak terganggu dengan penampilan sang istri.
"Ay ...." Lilis memanggil suaminya dengan suara lirih. Perempuan itu juga malu mengenakan baju seperti itu. Namun, demi kelangsungan rumah tangganya untuk melanjutkan silsilah keluarga, Lilis harus berani menunjukkan kharisma yang dia punya.
Kaki Liam ketahuan gemetaran kalau saja dia tidak melangkah. Pasalnya, sang istri malah berjalan mendekatinya. Liam harus apa agar bisa terhindar dari adegan malam pertama? Sebagai seorang lelaki normal, Liam tidak bisa menahan sesuatu yang tiba-tiba mendesak ingin keluar.
"Kamu tidur duluan aja. Aku mau cari angin sebentar."
Lagi? Kening Lilis mengernyit tajam mendengar perkataan Liam. Langkahnya pun berhenti seketika sambil menatap nanar suaminya. Apa laki-laki itu tidak bosan atau mungkin tidak berperikelelakian karena selalu mengindari sang istri yang mengajaknya bermesraan?
"Kenapa harus cari angin? Memangnya lihat penampilan Lilis masih kurang dingin?" celetuk Lilis dengan polosnya.
Liam mendengkus lalu memberanikan diri menatap wajah istrinya. Walaupun ia harus menjaga agar jantungnya tidak sampai berbuat ulah. Liam mengepalkan tangannya untuk menahan diri agar tidak berbuat khilaf.
"Kamu dapat baju itu dari mana?" tanya Liam dengan tatapan dingin, tetapi tersirat penuh damba di dalamnya. Ia ingat jika Lilis tidak membawa apa-apa ketika datang ke sana.
"Kakek Hadi," jawab Lilis sambil menunduk malu.
"Ganti!"
"Hah?" Lilis sontak mendongak. Titah suaminya itu terlalu jahat.
"Kenapa mesti ganti? Apa Lilis nggak cocok pake baju ini?"
"Iya."
Satu kata yang terlontar dari mulut Liam sukses membuat hati Lilis terasa berdenyut sakit. Perempuan itu menggigit bibir bawahnya guna menahan rasa sakit itu. Cairan bening sepertinya sudah memupuk di pelupuk matanya yang sendu, tetapi Lilis harus menahannya agar tidak menetes di depan suaminya.
"Iya, atuh. Tapi Lilis harus ganti pake apa? Lilis nggak punya baju tidur di sini," ucap Lilis dengan nada sedih.
Liam mengambil sebuah kaos dan celana training dari dalam lemarinya. Baju itu adalah baju Liam waktu masih SMA. Walaupun masih agak kepanjangan, tetapi ukurannya tidak terlalu kebesaran di tubuh istrinya. "Pake ini aja!" titah Liam sambil menyodorkan baju tersebut ke hadapan istrinya.
Lilis pun meraihnya dengan wajah lesu, lalu berjalan menuju kamar mandi untuk mengganti baju. "Mau cari pahala istri soleha aja susah," cicit Lilis pelan sembari berjalan, tetapi masih bisa terdengar oleh Liam.
Setelah istrinya masuk ke kamar mandi, Liam mengibaskan kedua tangannya di depan wajahnya sendiri. Hawa panas yang menyerangnya sejak tadi, membuatnya gerah setengah mati.
******
Keesokan paginya, Liam terlihat masih mengantuk dan kelelahan. Namun, alasannya bukan karena servis sang istri sangat memuaskan, melainkan dia tidak bisa tidur karena takut kecolongan. Pasalnya, pertempuran semalam akhirnya gagal total. Tentunya, rencana kakeknya Liam pun jadi berantakan.
Sakit hati? Tentu saja. Lilis sangat kesal dengan sikap kaku suaminya. Namun, selain menerima Lilis bisa apa? Perempuan itu harus bisa menolelir sikap suaminya karena terlalu cinta. Lilis masih beranggapan jika Liam mungkin masih canggung dengan pernikahan mereka yang terkesan dadakan.
"Kayaknya berhasil, ya, Lis? Wajah suami kamu kayak capek gitu," Hadi berbisik di telinga Lilis ketika mereka tengah duduk berdampingan di meja makan.
"Boro-boro, Kek. Dilirik aja nggak," cicit Lilis sambil memberenggut. Ekor matanya melirik tajam pada Liam yang duduk di hadapannya, tetapi terhalang oleh meja. Liam bisa merasakan aura dingin ketika diperbincangkan oleh dua orang di hadapannya tersebut. Namun, lelaki itu memilih pura-pura tidak tahu apa-apa. Liam tetap fokus dengan makanannya.
"Masa, sih?" Hadiah tidak percaya dengan sikap teguh cucunya tersebut. Ia menatap cucunya sedikit tajam. Namun, sejurus kemudian helaan napas kasar pun terdengar. Hadi yakin jika Liam masih trauma dengan ikatan pernikahan. Secepat kilat pandangannya pun beralih pada Pranaja Narendra—papanya Liam. Tatapannya memicing tidak suka. "Ini semua gara-gara kamu!" geram Hadi dalam hatinya.
"Kek?" Hadi terperanjat lalu menoleh pada Lilis yang menepuk pundaknya. "Kenapa?" tanya Lilis merasa aneh dengan sikap Hadi.
"Nggak apa-apa. Kita coba lagi lain kali, ya!" ujar Hadi memberi semangat pada Lilis. Namun, perempuan itu hanya membalasnya dengan senyuman hambar. Ia tidak yakin bisa menaklukkan suaminya yang selalu berwajah datar.
*****
Beberapa hari pun berlalu dengan cepat. Kini, Lilis sudah lebih mahir dalam merias wajah, sehingga seseorang yang melatih di tempat kursusnya menawarkan Lilis untuk ikut lomba merias wajah di tingkat daerah.
Lilis senang bukan main, tetapi bagaimanapun dia harus meminta izin kepada suaminya terlebih dahulu. Dia tidak mau melangkahi suaminya dalam mengambil keputusan apa pun.
"Ay, Lilis boleh izin sesuatu?"
"Izin mau ke mana?" tanya Liam.
"Lilis ditawarin ikutan lomba merias wajah di tempat kursus. Lilis boleh ikut?"
Sejenak, pandangan Liam tertuju pada wajah Lilis dengan sorot yang berbeda. Lilis dibuat gugup sambil mengerjap kaku. Dipandang seperti itu membuat jantung Lilis seperti dihantam palu.
"Boleh."
Lilis menghela napas lega mendengar satu kata yang terlontar dari mulut suaminya. Tak bisa dipungkiri jika perempuan itu senang karena sudah mendapatkan izin dari suaminya.
"Aku berangkat kerja dulu. Hari ini kamu libur kursus, kan?" tanya Liam sambil berdiri. Lilis mengangguk karena memang jadwal kursusnya hanya seminggu tiga kali.
"Hati-hati!" ucap Lilis setelah mencium punggung tangan sang suami. Liam pun pergi, sedangkan Lilis masuk ke kamarnya lagi.
Akan tetapi, Liam yang hendak membuka pintu mobil urung melakukannya karena teringat sesuatu. Sepertinya ada barangnya yang tertinggal di dalam kamar. Alhasil, lelaki itu pun memutuskan kembali ke dalam.
Pintu kamar sedikit terbuka ketika Liam hendak masuk ke sana. Langkahnya dibuat pelan ketika melihat Lilis sedang duduk di tepi ranjang. Perhatian Liam tersita pada wajah Lilis yang seperti merana. Perempuan itu tengah menatap buku rekening tabungannya di salah satu bank swasta.
"Cukup, nggak, nya, buat beli peralatan make up yang belum Lilis punya?" ucap Lilis bermonolog sendiri. Hal itu tak luput dari perhatian sang suami.
"Kata A Tama harga alatnya mahal. Kalau uangnya nggak cukup, Lilis harus minta sama siapa? Lilis nggak mau minta sama kakek. Nanti yang ada dia malah beli seisi toko," cicit Lilis lagi.
"Apa minta sama Ay Ay aja, ya? Tapi nggak enak, ah. Itu bukan termasuk uang belanja." Lilis menempelkan buku tabungan itu pada wajahnya. Terlihat sekali kalau perempuan itu dilema. Perempuan yang terbiasa hidup sederhana itu memang tidak pernah mau merepotkan siapa pun untuk meraih impiannya.
Liam yang mendengarkan keluh kesah sang istri menarik sudut bibirnya membentuk senyuman tipis. Ada rasa bangga terhadap sikap mandiri yang dimiliki istrinya tersebut. Namun, Liam tidak bisa menunjukkan sikap pedulinya. Lelaki itu berniat untuk membantu Lilis dengan cara yang berbeda.
...----------------...
...To be continued...
Mampir thor 🙋
mimpi ternyata
pengen narik rara