"Satu detik di sini adalah satu tahun di dunia nyata. Beranikah kamu pulang saat semua orang sudah melupakan namamu?"
Bram tidak pernah menyangka bahwa tugas penyelamatan di koordinat terlarang akan menjadi penjara abadi baginya. Di Alas Mayit, kompas tidak lagi menunjuk utara, melainkan menunjuk pada dosa-dosa yang disembunyikan setiap manusia.
Setiap langkah adalah pertaruhan nyawa, dan setiap napas adalah sesajen bagi penghuni hutan yang lapar. Bram harus memilih: membusuk menjadi bagian dari tanah terkutuk ini, atau menukar ingatan masa kecilnya demi satu jalan keluar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Awph, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29: Pergulatan Di Meja Bedah Jiwa
Baskara terlempar menghantam pilar peti mati hingga hancur dan ia melihat bayangannya mulai berubah menjadi mahluk raksasa yang memiliki ratusan tangan yang memegang pisau bedah. Setiap tangan itu bergerak secara lincah sambil mengeluarkan bunyi denting logam yang saling bergesekan dengan sangat memilukan secara terus-menerus.
Hawa kematian dari pisau-pisau bedah itu membuat kulit Baskara terasa perih meskipun bilah logamnya belum menyentuh dagingnya sama sekali. Bayangan masa depan itu tertawa dengan suara yang sangat parau sambil melompat ke arah Baskara untuk membelah dadanya dengan satu ayunan besar secara berulang-ulang.
"Lihatlah dirimu sendiri, kamu hanyalah seonggok daging yang menunggu untuk dioperasi oleh penyesalanmu sendiri!" raung mahluk raksasa tersebut dengan penuh kemarahan.
Baskara segera berguling ke samping menghindari hantaman pisau raksasa yang mengakibatkan lantai kayu pasar jiwa itu terbelah menjadi dua bagian yang sangat dalam. Ia merasakan jantungnya berdegup sangat kencang seolah ingin melompat keluar dari rongga dadanya akibat rasa takut yang menyergap secara terus-menerus.
Arini mencoba maju memberikan bantuan namun Sang Penjaga Pasar menjentikkan jarinya hingga muncul rantai api yang mengikat kaki Arini dengan sangat kuat. Wanita itu jatuh tersungkur sambil mencoba melepaskan diri dari jeratan api yang terus membakar jubah keperakannya hingga mengeluarkan asap hitam secara berulang-ulang.
"Biarkan para lelaki itu menyelesaikan sengketa waktu mereka tanpa campur tangan dari kekuatan suci yang tidak diundang!" perintah Sang Penjaga Pasar dengan nada yang sangat dingin.
Baskara mencabut sebilah pisau komando dari pinggangnya dan mencoba menyerang salah satu tangan raksasa yang sedang memegang penjepit medis yang sangat besar. Ia berhasil memotong satu tangan mahluk itu namun anehnya tangan yang putus itu justru berubah menjadi ular kecil yang merayap masuk ke dalam luka di bahu Baskara secara terus-menerus.
Rasa sakit yang tidak tertahankan mulai menjalar ke seluruh saraf pusatnya hingga pandangan Baskara menjadi kabur dan dipenuhi oleh bintik-bintik cahaya berwarna merah darah. Ia menyadari bahwa setiap serangan yang ia berikan kepada bayangannya justru akan berbalik menyakiti dirinya sendiri dengan cara yang jauh lebih mengerikan secara berulang-ulang.
"Hentikan serangan fisikmu, Baskara! Dia adalah bagian dari jiwamu yang hancur karena beban tugas penyelamatan yang gagal kamu jalankan!" teriak Arini dari balik jeratan rantai api.
Baskara terdiam sejenak sambil menatap ratusan pisau bedah yang kini sudah mengepung posisinya hingga ia tidak memiliki ruang untuk bergerak sedikit pun. Ia teringat akan wajah anggota timnya yang tewas di bab-bab awal dan bagaimana rasa bersalah itu selalu menghantui tidurnya selama berada di hutan ini secara terus-menerus.
Mahluk raksasa itu menghentikan gerakannya dan menempelkan ujung pisau bedah yang paling tajam tepat di atas luka lama pada perut Baskara yang didapatnya saat operasi penyelamatan di gunung berapi. Mata mahluk itu yang penuh dengan lubang nanah menatap Baskara dengan tatapan yang sangat dalam seolah sedang menghakimi seluruh hidupnya secara berulang-ulang.
"Apakah kamu siap untuk mengakui bahwa kamu sebenarnya adalah penyebab kematian mereka semua?" tanya sang bayangan dengan suara yang bergetar hebat.
Baskara memejamkan matanya dan menurunkan pisaunya sambil melepaskan seluruh ketegangan yang ada pada otot-otot lengannya yang sudah mulai membiru. Ia menarik napas panjang dan membiarkan air mata jatuh membasahi pipinya sebagai bentuk pengakuan atas segala kegagalan dan kesedihan yang selama ini ia pendam secara terus-menerus.
"Iya, aku mengakui bahwa aku gagal melindungi mereka, dan aku akan memikul beban itu selamanya tanpa perlu menyangkalnya lagi!" ucap Baskara dengan nada suara yang sangat tenang.
Seketika itu juga, ratusan tangan yang memegang pisau bedah tersebut mulai rontok satu demi satu dan berubah menjadi kelopak bunga melati yang sangat harum. Mahluk raksasa itu menyusut kembali menjadi wujud manusia biasa dan perlahan-lahan menyatu ke dalam bayangan di bawah kaki Baskara yang asli secara berulang-ulang.
Sang Penjaga Pasar tampak sangat kecewa melihat hasil akhir dari permainan ini karena ia kehilangan kesempatan untuk mengoleksi jiwa pemimpin yang sangat langka. Ia terpaksa melepaskan rantai api yang mengikat Arini hingga wanita itu bisa kembali berdiri dan berlari menuju ke arah Baskara yang masih tampak sangat lemas secara terus-menerus.
"Kamu telah memenangkan taruhan ini, manusia berjiwa rapuh, ambillah koordinat ini dan segera pergilah dari hadapanku sebelum aku berubah pikiran!" desis Sang Penjaga Pasar.
Sang Penjaga Pasar melempar sebuah gulungan kulit manusia yang berisi peta menuju jantung Alas Mayit dan gerbang terakhir yang selama ini dicari oleh banyak orang. Baskara menangkap gulungan itu namun ia merasakan telapak tangannya kembali bergetar hebat saat menyentuh permukaan kulit yang masih terasa sangat hangat secara berulang-ulang.
Arini membantu Baskara berjalan melewati kerumunan jiwa yang kini menatap mereka dengan penuh rasa hormat sekaligus rasa iri yang sangat besar. Mereka sampai di pintu keluar pasar jiwa yang berbentuk seperti mulut naga raksasa yang sedang menganga lebar dan mengeluarkan uap dingin berwarna putih secara terus-menerus.
Di luar pasar, mereka disambut oleh pemandangan sebuah danau yang airnya berwarna hitam pekat dan permukaannya dipenuhi oleh ribuan tangan yang sedang melambai secara berulang-ulang. Danau itu adalah Danau Air Mata, satu-satunya jalan pintas menuju jantung hutan namun risikonya adalah setiap tetes airnya mampu menghapus seluruh ingatan manusia dalam sekejap.
Baskara membuka gulungan kulit tersebut dan melihat bahwa koordinat selanjutnya berada tepat di tengah pulau kecil yang ada di tengah danau hitam tersebut. Ia melihat sebuah perahu kecil yang terbuat dari susunan tulang rusuk sedang menunggu mereka di pinggir dermaga yang kayunya sudah mulai membusuk secara terus-menerus.
"Kita harus menyeberang sekarang, namun ingatlah bahwa jangan pernah menyentuh air danau itu meskipun kamu mendengar suara panggilan dari orang yang kamu cintai!" peringat Arini dengan penuh keseriusan.
Baskara mengangguk dan mereka berdua naik ke atas perahu tulang tersebut sambil menggunakan dayung yang terbuat dari lempengan perunggu yang sangat berat. Perahu itu mulai bergerak perlahan membelah air hitam yang sangat tenang namun di bawah permukaan air terlihat wajah-wajah orang tua Baskara sedang menatapnya secara berulang-ulang.
Tiba-tiba, permukaan danau mulai bergejolak hebat dan muncul sebuah pusaran air yang sangat besar tepat di depan perahu mereka yang sangat kecil. Dari dalam pusaran air itu muncul sesosok jenderal raksasa yang mengenakan baju zirah dari perunggu karat dan memegang tombak bercabang tiga secara terus-menerus.
Jenderal itu menghantamkan tombaknya ke arah perahu hingga perahu tulang tersebut hancur berkeping-keping dan melemparkan Baskara serta Arini ke dalam air danau yang sangat mematikan.