Ina dan Izhar memasuki kamar pengantin yang sudah disiapkan secara mendadak oleh Bu Aminah, ibunya Ina.
Keduanya duduk terdiam di tepian ranjang tanpa berbicara satu sama lain, suasana canggung begitu terasa, mereka bingung harus berbuat apa untuk mencairkan suasana.
Izhar keluar dari kamar mandi dan masuk kembali ke kamar setelah berganti pakaian di kamar mandi, sementara itu, Ina kesulitan untuk membuka resleting gaun pengantinnya, yang tampaknya sedikit bermasalah.
Ina berusaha menurunkan resleting yang ada di punggungnya, namun tetap gagal, membuatnya kesal sendiri.
Izhar yang baru masuk ke kamar pun melihat kesulitan istrinya, namun tidak berbuat apapun, ia hanya duduk kembali di tepian ranjang, cuek pada Ina.
Ina berbalik pada Izhar, sedikit malu untuk meminta tolong, tetapi jika tak di bantu, dia takkan bisa membuka gaunnya, sedangkan Ina merasa sangat gerah maka, "Om, bisa tolong bukain reseltingnya gak? Aku gagal terus!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Orie Tasya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
'ting tong'
Izhar menekan tombol bel rumah orang tuanya sekali.
"Assalamu'alaikum!" ucap Izhar.
Tak lama berselang, terdengar suara langkah kaki mendekat ke arah pintu masuk.
"Wa'alaikumsalam," sahut dari dalam.
Perlahan pintu terbuka, nampaklah seorang wanita berusia 53 tahunan yang masih terlihat cantik dalam balutan mukenanya berdiri di hadapan Izhar.
"Izhar," ucapnya.
Tak lain tak bukan adalah Bu Tara, Ibunya Izhar.
"Ibu, apa kabar?" Izhar tersenyum, lalu memeluk Ibunya.
"Alhamdulillah Ibu sangat baik, Nak. Bagaimana dengan kamu?" Bu Tara balik bertanya.
"Alhamdulillah, seperti yang Ibu lihat, Iz juga sangat baik," jawab Izhar dengan senyum merekah.
Izhar menarik tangan Ina pelan dan menghadapkannya pada Bu tara, Ina sangat malu untuk pertama kalinya melihat sang Ibu mertua dari dekat.
Ina meraih tangan wanita itu dan menciumnya takzim, "Apa kabar, Bu?" Ina mengikuti suaminya menanyakan kabar.
"Alhamdulillah baik, ternyata kamu lebih cantik seperti ini daripada dalam balutan riasan ya, masyaallah..." Bu Tara langsung memuji Ina, menurutnya Ina sangat cantik tanpa riasan, seperti saat pertama melihatnya di hari pernikahan.
Dapat pujian dari mertuanya, pipi Ina merona merah, dia juga menunduk malu.
"Maaf Iz baru bisa bawa Ina sekarang, soalnya Ina harus sekolah dan jarak dari rumahnya lebih dekat daripada dari sini," Izhar menuturkan alasannya baru membawa sang istri ke rumah Ibunda.
"Nggak apa-apa, Ibu sangat mengerti, ayo masuk!"
Ina dan Izhar masuk mengikuti Bu Tara, keduanya di persilahkan untuk duduk di ruang tamu.
Malam ini, Ina dibawa ke rumah mertuanya setelah seminggu menikah, Ina harus belajar mengenal keluarga Izhar dengan sangat baik, karena dirinya adalah bagian dari keluarga tersebut.
Ini sedikit menoleh kesana kemari di rumah itu, takjub melihat rumah Izhar yang sebesar itu, berbeda jauh dengan rumahnya yang kecil dan sempit.
'Ternyata si manusia kulkas ini orang yang kaya raya, rumahnya aja mentereng begini, keren banget si Tante Ratih bisa dapetin dia, bisa morotin juga sampai rugi ratusan juta!' Ina membatin, sambil curi-curi pandang pada sekelilingnya.
Seorang pembantu bernama Bi Tati, datang membawa nampan dengan teko dan dua gelas kosong, lalu meletakkannya di atas meja di depan Izhar dan Ina.
"Silahkan diminum dulu, Mas Iz dan... Hmmm..." Bi Tati tampaknya bingung mau memanggil Ina dengan sebutan apa, karena Ina masih sangat muda.
"Panggil Non Ina aja," timpal Izhar.
Tati. "Ah iya, silahkan diminum atuh, Non Ina." ucap Bi
"Terima kasih," ucap Ina.
Bi Tati kemudian kembali ke dapur, Ina dan Izhar duduk berdua saja, sedangkan Bu Tara masuk ke kamarnya untuk memberitahu Pak Ja'far kalau putra mereka dan menantunya sudah datang.
"Om, apa disini gak ada siapa-siapa lagi selain Ibu dan Bapak, juga pembantu yang tadi?" Ina bertanya pada Izhar setengah berbisik.
"Ada, disini ada dua adik saya juga, tapi si bujang memang jarang di rumah, suka keluyuran sama teman-temannya. Kalau yang satu lagi itu adik perempuan saya dia masih sekolah SD, biasanya dia selalu ada di kamar dan belajar di jam segini sebelum makan malam."
"Oh, jadi Om punya adik 2 ya? Aku kira Om cuma anak satu-satunya."
"Saya anak sulung dari tiga bersaudara, nanti kamu pasti akan bertemu dengan mereka dan berkenalan secara langsung."
Ina mengangguk paham, ia pun tidak bertanya lagi pada suaminya.
Tak lama kemudian, Bu Tara kembali dengan pak Ja'far, mereka menyambut kedatangan Ina dan Izhar dengan baik.
Ina dan Izhar menyalami Pak Ja'far dengan takzim, Pak Ja'far cukup menyukai Ina karena gadis itu sangat sopan dan ramah.
"Ina, selama kamu tinggal di rumah ini, kamu jangan sungkan, kamu adalah bagian dari keluarga kami sekarang. Jadi, kalau kamu mau makan apapun yang tersedia disini langsung ambil saja, jangan malu-malu ya," tutur Bu Tara dengan sangat ramah.
"Iya, Bu."
"Iz tinggal disini sementara saja, Bu, Pak. Iz besok akan mencari apartemen untuk tempat tinggal kami, yang lokasinya lebih dekat dengan sekolah Ina. Karena Iz akan selalu sibuk di rumah sakit, mungkin Ina harus pulang pergi sekolah sendirian, kalau lokasinya jauh dari rumah Iz khawatir." Izhar menjelaskan rencana untuk mencari apartemen dan tinggal berdua saja bersama Ina.
"Itu bagus, dengan begitu kalian juga akan lebih bebas untuk menikmati masa-masa indah pengantin baru, kalau disini pastinya adik kamu (Isyana) itu akan ganggu," Bu Tara menimpali dengan senyum-senyum geli.
Izhar menoleh pada Ina, tapi gadis itu malah sibuk menoleh kesana kemari.
"Ina, Iz juga punya adik yang seumuran dengan kamu, masih sekolah SMA juga kelas XI. Mungkin kamu bisa lebih akrab dengannya nanti karena kalian sama-sama masih sekolah, mungkin bisa saling sharing tentang pelajaran nantinya," Bu Tara kembali mengajak Ina mengobrol.
"Ah iya," Ina tersenyum malu.
Setelah sedikit obrolan terjadi antara Ina dan orang tua Izhar, pria itu langsung mengajak Ina ke kamarnya untuk beristirahat.
Ina mengikuti suaminya dari belakang, sambil matanya terus berputar melihat-lihat keindahan di rumah Izhar.
Ketika masuk ke kamar Izhar, Ina dibuat melongo, karena kamar Izhar setara dengan dua kamar miliknya, sangat luas dan megah. Kamar itu juga dilengkapi dengan kamar mandi, sebuah ruangan untuk menyimpan barang-barang pribadi Izhar (ruang ganti), AC, televisi dan juga sebuah ruangan kerja minimalis di dalamnya.
"Wow! Kamarnya udah kayak hotel aja, megah banget, super lengkap!" ucap Ina penuh ketakjuban melihat semua isi kamar itu.
Izhar geleng-geleng kepala, rupanya istrinya itu memang baru melihat kamar sebesar itu dalam hidupnya. Bagi Izhar sendiri, itu kamar yang biasa saja, tidak ada yang spesial, tapi bagi Ina tampak sangat spesial.
"Kamu mau mandi duluan?" tanya Izhar.
Ina menoleh, "Om duluan aja deh, aku mau tiduran dulu di atas kasur empuk ini!" jawabnya, langsung menjatuhkan dirinya ke atas kasur spring bed ukuran king yang sangat empuk. Ina kegirangan, hingga loncat-loncat di atas kasur itu seperti anak kecil.
"Ya ampun, dasar random," ucap Izhar pelan.
Ia pun masuk ke kamar mandi, tak pedulikan Ina yang meloncat-loncat di atas kasur seperti gadis kampungan.
"Wuhuuu! Seru juga bisa loncat-loncat di kasur se empuk ini, dirumah gue mana bisa beginian, kasurnya udah kayak batu!" sorak Ina gembira.
Beruntung, orang tua Izhar tidak mendengarnya, kalau mereka mendengar suara menantunya itu, sudah pasti mereka akan sangat aneh atas tindakan menantunya.
***
'tok tok tok'
Pintu kamar Izhar di ketuk.
Izhar sedang sibuk membalas chat dari teman-temannya, sedangkan Ina sibuk menonton televisi sambil memakan cemilan di atas kasur, dia tak malu sama sekali pada Izhar sang pemilik kamar, baginya itu sudah menjadi kamarnya juga.
Izhar melangkah ke arah pintu dan membukanya.
"Ada apa, Bi?" tanya Izhar, seseorang yang mengetuk pintu kamarnya adalah Bi Tati.
"Anu, Ibu sama Bapak suruh saya panggilkan Mas Iz sama Non Ina untuk makan malam bersama," jawab Bi Tati.
"Oh iya, kami akan segera turun, terima kasih."
Bi Tati pergi dari hadapan Izhar, pria itu menutup pintu dan menghampiri Ina, yang matanya tidak mau lepas dari layar televisi.
"Makan malam dulu katanya, Ibu sama Bapak sudah menunggu," ucap Izhar.
"Nggak mau ah, malu!" tolak Ina.
Ina merasa malu jika pada orang tua Izhar.
"Malu? Sejak kapan kamu punya rasa malu? Biasanya juga malu-maluin!" celetuk Izha ketus.
Ini mendelik padanya, "Kapan aku malu-maluin, Om? Enak aja bilang aku malu-maluin!"
"Kapan katamu? Tadi kamu teriak-teriak sambil loncat-loncat di atas kasur, menangnya kamu pikir orang-orang di rumah ini gak akan dengar? Memangnya kamu pikir itu nggak bikin malu?"
Ina tak bisa menjawab, yang dikatakan Izhar memang benar, mungkin saja para penghuni di rumah itu mendengar suara teriakannya tadi saat loncat-loncat.
"Ayo cepat makan dulu, jangan sampai Ibu dan Bapak menunggu terlalu lama!" ajak Izhar datar.
Ina cemberut, snack di tangannya di letakkan di kasur begitu saja, lalu keluar mengikuti suaminya turun untuk ke meja makan.
Ina disambut hangat oleh orang tua Izhar di ruang makan, mereka sangat baik padanya, bahkan Pak Ja'far pun tak sungkan untuk menawarkan banyak lauk di atas meja pada Ina.
"Ish kemana?" tanya Izhar pada Ibunya.
Sejak tadi ia belum melihat sosok adiknya yang bujangan itu.
"Biasalah, adik kamu itu main ke rumah Hafiz, katanya mau nonton pertandingan bola sama-sama dengan yang lain," jawab Bu Tara.
"Kebiasaan, sukanya keluyuran terus, abangnya nikah saja nggak mau ikut antar, awas saja kalau nanti dia menikah, saya gak akan mau antar dia juga." Izhar sedikit kesal pada adiknya yang seolah tak peduli walaupun kakaknya menjalani hari besar dalam hidupnya.
Ya, saat Izhar menikah, Isha menolak untuk ikut mengantarkan kakaknya itu, dia malah memilih pergi ke rumah temannya, Jeje, dan pulang pada malam harinya.
Izhar dan Isha tidak memiliki masalah apapun, hanya aja sanga adik yang lebih suka menghabiskan waktu bersama teman-temannya dan sang kakak yang selalu sibuk di rumah sakit, menjadikan keduanya tidak begitu akrab, bahkan mereka tidak pernah duduk berdua walau hanya untuk menonton film bersama.
"Namanya juga anak muda, Iz. Kamu harus memaklumi dia, yang terpenting dia gak melewati batas pergaulan. Asalkan Ish nggak minum-minuman atau pakai obat-obatan terlarang saja bagi Ibu, itu sudah cukup sekali." Timpal Bu Tara.
Bu Tara tahu betul anaknya itu masih dalam masa puber, masih dalam masa suka bersenang-senang dengan teman-temannya. Baginya, yang terpenting Isha tidak melewati batas pergaulannya saja.
Izhar hanya bisa menghela nafas, adiknya selama ini memang hanya keluyuran untuk nongkrong di basecamp atau rumah temannya, tapi belum pernah sekalipun terdengar menggunakan hal-hal semacam itu.
Isyana menatap Ina, untuk pertama kalinya dia melihat sang kakak ipar.
"Kenapa istrinya Abang Iz seperti pacarnya Abang Ish?" celetuk Isyana.
Ina dan yang lain menatapnya, tak paham apa yang dikatakan oleh Isyana.
"Maksudnya apa, Sya?" tanya Bu Tara.
"Iya, istrinya Abang Iz mirip sama pacarnya Abang Ish.
Sya pernah lihat fotonya di kamar Abang," jawab Isyana.
Ina mengerutkan kening, agak bingung dengan celotehan adik iparnya itu.
"Mungkin hanya mirip saja, sudah jangan di bahas lagi ya," Bu Tara mengelus kepala Isyana, agar dia tidak membahas tentang itu lagi di depan Izhar.
Bu Tara takut Izhar akan tersinggung, apalagi jika mendengar adiknya pernah punya kekasih yang mirip Ina.
Suasana sedikit tegang, Izhar juga sejak tadi diam tak menimpali perkataan adiknya, yang baginya hanya celotehan tak berarti.
Bu Tara dan Pak Ja'far mencairkan suasana dengan mengajak Ina dan Izhar mengobrol, supaya mereka dapat melupakan celotehan Isyana.
Usai makan malam, Ina dan Izhar masuk kembali ke kamar mereka, Ina membantingkan lagi tubuhnya di atas kasur yang terdapat snack di atasnya, jelas saja karena guncangan dari kasur itu membuat isi snack berhamburan ke tempat tidur.
Ina membulatkan mata melihat snack-snack itu kini berhamburan di tempat tidur, dia lalu menoleh pada Izhar.
Pria itu berdiri di samping tempat tidur, melipat dua tangannya di dada, menatap Ina dengan tatapan dingin mematikannya.
"Hehehe... Sorry, guncangannya terlalu kasar, jadinya pada jatuh," Ina cengengesan, untuk menghilangkan rasa takut dari pria dingin itu.
"Saya gak mau tahu, bereskan sekarang juga dan ganti spreinya." Ucap Izhar datar, lalu duduk kembali di kursinya, tak mempedulikan Ina.
Ina turun dari ranjangnya dan keluar kamar untuk mengambil sapu di dapur.
Saat Ina berjalan menuju tangga, dia berpapasan dengan adik pertama Izhar yang kebetulan baru pulang dan kamarnya bersebelahan dengan kamar Izhar di lantai dua.
Sata itulah Ina terkejut melihat siapa adik Izhar itu.
"Elu!" ucap Ina spontan saat melihat wajah pemuda itu.
"Elu!" Isha juga terkejut bukan main saat Ina ada di rumahnya.
Keduanya saling menujuk satu sama lain, dengan ekspresi yang penuh keterkejutan.
"Lu ngapain disini?!" tanya Isha pada Ina.
"Lu yang ngapain disini?!" Ina balik bertanya.
"Jelas, gue yang punya rumah ini, lah lu siapa bisa ada disini?!" Isha sedikit menyombongkan diri sebagai pemilik rumah.
"Gue istri yang punya rumah ini, paham?!"
Ina dan Isha bersitegang, keduanya terlihat tak akur, tapi kemudian...
"Wait, lu bilang lu yang punya rumah ini?" Ina bertanya lagi seolah mengingat sesuatu.
"Iya, gue memang yang punya rumah ini, kenapa?"
Isha balik bertanya dengan nada sombong.
"Apa jangan-jangan lu itu..." Ina menghentikan kalimatnya, mengingat sesuatu yang diucapkan oleh Isyana tadi di meja makan.
"Wait, lu juga bilang kalau itu istri dari yang punya rumah ini? Apa jangan-jangan lu itu..." Isha juga sama, menghetikan kalimatnya mengingat perkataan Ina tadi.
Keduanya saling menatap dengan mulut ternganga, tak percaya dengan apa yang mereka pikirkan saat ini.
Bagaimana tidak, Ina dan Isha adalah mantan pacar yang baru putus belum genap 1 bulan ini.
...***Bersambung***...