Akibat kesalahannya di masa lalu, Freya harus mendekam di balik jeruji besi. Bukan hanya terkurung dari dunia luar, Freya pun harus menghadapi perlakuan tidak menyenangkan dari para sesama tahanan lainnya.
Hingga suatu hari teman sekaligus musuhnya di masa lalu datang menemuinya dan menawarkan kebebasan untuk dirinya dengan satu syarat. Syarat yang sebenarnya cukup sederhana tapi entah bisakah ia melakukannya.
"Lahirkan anak suamiku untuk kami. Setelah bayi itu lahir, kau bebas pergi kemanapun yang kau mau."
Belum lagi suami teman sekaligus musuhnya itu selalu menatapnya penuh kebencian, berhasilkah ia mengandung anak suami temannya tersebut?
Spin of Ternyata Aku yang Kedua.
(Yang penasaran siapa itu Freya, bisa baca novel Ternyata Aku yang Kedua dulu ya.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Peringatan dari Abidzar
Di ruang kerjanya, tampak Abidzar sedang sibuk memeriksa beberapa berkas yang baru saja diserahkan sekretarisnya untuk ditandatangani. Bila biasanya sekretaris itu seorang perempuan, tapi berbeda dengan sekretaris Abidzar yang merupakan seorang laki-laki. Sekretarisnya itu pun merupakan sepupu sekaligus sahabatnya sendiri. Mereka telah tumbuh bersama dan bersekolah di tempat yang sama membuat mereka lebih dari sekedar sepupu, tetapi sahabat.
Abidzar merupakan owner dari usaha tour and travel yang bernama Barokah Tour and Travel. Usaha ini ia rintis sendiri sejak bangku kuliah. Dan berkat kerja keras dan kegigihannya, Barokah Tour and Travel miliknya bisa berkembang pesat hingga kini telah memiliki 5 cabang di kota berbeda.
Saat sedang memeriksa beberapa berkas di hadapannya, tiba-tiba Abidzar menghela nafas panjang dan menghempas begitu saja lembaran berkas di tangannya ke atas meja. Tentu saja hal itu memancing atensi sang sekretaris, yaitu Tirta.
"Kenapa kamu, Bi? Kayak galau banyak pikiran gitu." Tanya Tirta yang baru saja masuk ke ruangan Abidzar.
Lagi-lagi terdengar helaan nafas kasar dari bibir Abidzar. Lalu ia memijat pelipisnya yang sedikit pening karena memikirkan permintaan sang istri yang sungguh menurutnya di luar nalar.
Bagaimana tidak, karena persoalan tidak bisa memberikan keturunan, Erin memaksanya untuk menikah lagi. Namun pernikahan itu hanya bersifat sementara. Setelah istri mudanya berhasil hamil dan melahirkan, maka bayi itu harus diserahkan kepada mereka, sedangkan si istri muda harus pergi menjauh dari hidup mereka.
Lalu Abidzar mengingat percakapannya semalam dengan istrinya.
'Mas, aku sudah mendapatkan wanita yang bersedia hamil anak kita.' Ujar Erin sumringah yang tentu saja di balas netra yang membulat oleh Abidzar.
'Maksud kamu, kamu tetap akan menjalankan rencana gila kamu itu? Iya?' tanya Abidzar tak habis pikir. Ia pikir rencana Erin itu hanya bualan saja atau rencana Ong kosong, tapi nyatanya Erin benar-benar mewujudkan niatnya itu.
'Ya iya dong, mas. Mas, aku nggak mau sampai ada yang tahu kalau aku itu mandul. Apalagi aku ingin sekali mewujudkan keinginan orang tua kamu, mas. Terlebih papa. Kamu nggak mau nerusin usaha papa jadi otomatis hanya keturunan kamu yang bisa. Jadi mau tak mau aku harus melakukan ini. Kalau bukan anak kita, siapa lagi.'
'Tapi nggak gini juga caranya, Rin. Apa kamu nggak takut, kamu itu mau memasukkan orang ketiga dalam rumah tangga kita. Apa kamu nggak mikirin konsekuensinya?' Abidzar berusaha semaksimal mungkin agar Erin membatalkan niatnya itu.
'Mau cara apalagi, mas? Nggak ada. Udah aku bilang, andai aku bisa, aku pun nggak mau, tapi mau gimana lagi. Soal memasukkan orang ketiga, aku percaya kamu, mas. Aku pun yakin, setelah mengetahui siapa perempuan itu, kamu nggak akan mau sama dia meskipun dia godain. Aku sengaja memilih dia soalnya hanya dia yang memiliki peluang kecil untuk membuatmu jatuh hati. Aku juga memilih dia sebab hanya dia yang bisa bantu kita sebab dia pun saat itu butuh kita atau lebih tepatnya uang kita untuk membantunya.'
'Maksudnya?'
'Aku membantunya keluar dari dalam penjara. Aku menebusnya. Jadi anggap saja rahimnya itu rahim tebusan karena aku menebusnya agar bisa menggantikan ku hamil anakmu.'
Sontak saja Abidzar membelalakkan matanya. Bagaimana bisa istrinya meminta wanita yang berstatus narapidana untuk hamil anaknya.
'Apa kamu sudah gila? Kau ingin seorang penjahat mengandung anakku? Bagaimana bila ia pun tumbuh menjadi seperti orang tuanya? Menjadi penjahat. Tidak. Pokoknya aku tidak setuju.'
'Mas, kita tidak punya pilihan lain. Mas pikir mudah mencari perempuan yang mau hamil anak orang lain? Nggak mas. Mereka pun pasti pada mikir. Belum lagi keluarganya pasti akan menentang. Beda kalau perempuan pilihan ku ini, dia tak perlu banyak pertimbangan. Dia hanya minta dibebaskan dan diberi sejumlah uang dengan nominal yang cukup besar untuk uang tutup mulut. Itu saja.'
Abidzar menghela nafas panjang. Pikirannya kalut. Benaknya berkecamuk. Lelah berdebat, ia pun beranjak dari sofa kamarnya. Sebelum benar-benar pergi keluar, Abidzar kembali mengingatkan istrinya itu, 'Rin, tidak setiap yang menurut kita baik itu baik menurut Allah. Dan tidak setiap yang kita rencanakan akan berakhir sesuai dengan yang kita harapkan. Jadi jangan kecewa bila apa yang terjadi kelak tidak sesuai harapanmu. Aku hanya mengingatkan mu sebelum segalanya benar-benar terjadi dan berakhir penyesalan.'
Setelah mengucapkan itu, Abidzar pun segera keluar dari dalam kamar.
"Erin memintaku nikah lagi." Ucap Abidzar dengan raut wajah frustasi.
"What? Apa? Apa? Ulangi lagi? Aku nggak salah dengar kan?" Ucap Tirta dengan membelalakkan matanya. Ia sampai menghempaskan bundelan kertas yang tadi di pegang ke atas meja saking terkejutnya.
"Kamu tak salah dengar, Erin memang memintaku menikah lagi. Ah, lebih tepatnya menikah untuk mendapatkan seorang anak."
"Gila. Kamu nggak sedang ngigo kan, Bi?" Tirta lantas menarik kursi yang berseberangan dengan kursi yang diduduki Abidzar. Ia menghempaskan bokongnya begitu saja sebab sudah terlalu penasaran dengan cerita sang sepupu sekaligus bosnya itu.
"Aku serius, begok. Memangnya aku sedang mabuk bisa ngigo di siang bolong gini. Gila aja." Sembur Abidzar kesal. Ia yang sudah banyak pikiran, makin dibuat pusing dengan tingkah Tirta.
"Itu si Erin waras apa nggak sih? Kok bisa-bisanya minta kamu nikah lagi. Apa nggak takut dia kamu kegaet perempuan itu?" Celoteh Tirta tak habis pikir dengan permintaan istri dari sepupunya itu.
"Waras nggak waras lah, Tir. Aku pun bingung dengan jalan pikirannya. Aku pun bilang, apa dia nggak takut masukkin orang ketiga ke dalam rumah tangga kami, tapi dia jawab nggak soalnya dia percaya aku. Katanya, aku nggak mungkin jatuh cinta sama perempuan itu. Dia kayak yakin banget."
"Oh ya? Kok bisa? Apa calon madunya itu jelek? Bisa jadi kan. Dia pikir kamu nggak akan mungkin jatuh hati sama perempuan jelek."
"Mana ada. Mana mungkin dia mau calon anaknya berasal dari perempuan jelek. Dia pasti khawatir parasnya turun ke calon anaknya."
"Iya juga sih." Tirta manggut-manggut sambil mengusap dagunya yang sedikit berbulu. "Lantas apa alasannya?"
"Mungkin karena dia mantan narapidana kali."
"Hah? Seriusan? Mantan narapidana? Apa nggak salah tu? Penjahat dong."
Abidzar mendengkus, "bukan lagi mantan, tapi emang dia itu narapidana dan Erin yang menebusnya agar bisa keluar. Hah, entahlah, aku benar-benar bingung dengan jalan pikiran Erin. Aku sudah berkeras menolak, tapi Erin pun berkeras meminta aku setuju. Sebenarnya siapa perempuan itu? Kenapa Erin sampai yakin sekali aku takkan mungkin menyukainya?" Mata Abidzar menerawang.
"Aku pun tak habis pikir, apalagi kau yang akan menjalani, Bi. Kau yang sudah berumah tangga selama hampir 3 tahun saja masih belum bisa memahami jalan pikiran istrimu, apalagi aku yang hanya sepupumu. Aku pun jadi penasaran siapa perempuan itu? Narapidana. Kesalahan apa yang dia perbuat sampai masuk dalam penjara? Jangan-jangan dia pembunuh karena itu kau tak mungkin mau dengannya sebab salah-salah malah kau yang dibunuh, Bi." Ucap Tirta dengan wajah tegang setelah mereka pun tergelak.
"Canda mu tak lucu." Ketus Abidzar yang sudah kembali ke setelan pabrik. Datar.
...***...
...HAPPY READING 😍😍😍...
syediiih Thor