Seorang laki-laki muncul di hadapan Ajeng. Tidak amat tampan tetapi teramat mapan. Mengulurkan keinginan yang cukup mencengangkan, tepat di saat Ajeng berada di titik keputus-asaan.
"Mengandung anaknya? Tanpa menikah? Ini gila namanya!" Ayu Rahajeng
"Kamu hanya perlu mengandung anakku, melalui inseminasi, tidak harus berhubungan badan denganku. Tetap terjaga kesucianmu. Nanti lahirannya melalui caesar." Abimanyu Prayogo
Lantas bagaimana nasab anaknya kelak?
Haruskah Ajeng terima?
Gamang, berada dalam dilema, apa ini pertolongan Allah, atau justru ujian-Nya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
"Maaf, aku terpaksa ngelakuin ini, percayalah aku hanya mencintaimu," lirih Abi menarik Vivi dalam pelukan. Biasanya senjata paling ampuh menenangkan seorang wanita saat marah dengan memeluknya serta menenangkan. Mendengarkan segala keluh kesah dan uneg-unegnya.
"Kamu harus jelasin ke aku, Mas, apa hubungan kalian lebih dari sekedar meminjam rahim?" tanya Vivi mengurai pelukan itu. Menatap suaminya sendu.
"Tidak, hanya sebatas itu. Aku terpaksa menikahinya karena Ajeng mengajukan satu syarat itu. Dia tidak mau melanjutkan kesepakatan itu bila tidak ada qobul diantara kami."
"Terus, apa kamu juga menidurinya?" tanya Vivi lagi dengan pipi basah. Abi menghapus air mata itu dengan tatapan sendu.
"Tentu saja tidak, kita hanya terikat secara agama. Itu pun sampai anak itu lahir, semua hubungan ini akan berakhir, dan kita akan punya anak. Tolong percaya padaku, aku hanya mencintaimu," ucapnya sungguh-sungguh.
"Sungguh? Kenapa tidak bilang dari awal, setidaknya aku memperingatkan perempuan itu untuk tidak berharap apa pun dari hubungan ini selain uang."
"Jangan khawatir, dia pecinta uang, hubungan ini sampai Ajeng melahirkan saja, kuharap kamu bisa bersabar."
"Aku tetap saja kesal, itu artinya selama sembilan bulan berjalan, aku bukanlah istri satu-satunya."
"Siapa bilang, kamu tetap istri satu-satunya. Yang di sana hanya status, jangan mengkhawatirkan apa pun. Love you, bisakah kamu menyiapkan air hangat untuk aku mandi?" pinta pria itu merasa penat. Harus sedikit sabar menyikapi Vivi yang emosinya kadang sering meledak-ledak.
Perempuan itu mengangguk, lekas bergegas menyiapkan air hangat dan pakaian ganti suaminya. Saat malam merangkak, entah mengapa Abi tidak bisa tidur. Vivi sudah terlelap lebih dulu, namun Abi belum menemukan kantuknya. Bayangan Ajeng terus berseliweran di otaknya. Apalagi hujan di luar begitu deras, mendadak pria itu merasa khawatir.
Entah di jam berapa pria itu terlelap, saat membuka mata di pagi hari. Langsung bergegas ke kamar mandi, merasakan mual-mual seperti biasanya. Tidak begitu mengeluh, dan sepertinya mulai akrab dengan morning sickness yang ia alami, tetapi tetap saja Abi merasa jengah dan tak nyaman.
"Kapan ini akan berakhir, apakah Ajeng juga mengalami mual seperti ini," gumam Abi sembari mengelap mulutnya yang basah.
"Mas, kamu mual lagi?" tanya Vivi menyusul suaminya ke kamar mandi. Perempuan itu mencoba membantu memapah, namun apa yang terjadi, Abi merasa semakin mual saat berdekatan dengan istrinya.
"Mas, kamu kenapa?"
"Maaf, Vi, tolong jangan mendekat, aku nggak kuat, aroma tubuhmu bikin aku tambah mual," ujarnya cukup membuat Vivi jengkel.
"Apaan sih, nggak jelas banget kamu itu. Orang aku tuh udah mandi, wangi gini, kamu memang aneh, ini gara-gara Ajeng nih pasti, pakai pemikat biar kamu menderita," omel Vivi sewot sendiri.
Abi tiduran sampai tubuhnya sedikit lebih nyaman. Agak siangan sedikit, seperti biasanya pria itu merasa lebih baik. Memang terlihat cukup aneh, tetapi nyata, dan ini begitu menyiksa. Bahkan setiap pagi bagai momok menakutkan untuk Abi.
"Hari ini aku mau mengantar Ajeng chek up kandungan, kamu mau ikut?" tawar Abi demi menjaga perasaan istrinya.
"Harus banget kamu ikut? Aku malas datang ke tempat seperti itu. Kalau aku bilang jangan, apa kamu mau dengar?"
"Tidak, aku harus memastikan sendiri anak aku sehat, kalau kamu mau ikut, nanti biar Anto menjemputmu. Aku berangkat dari kantor."
"Kamu kenapa peduli banget Mas, sama kehamilan Ajeng. Andai aku yang bisa hamil," gumam Vivi mendadak sendu.
"Tolong jangan mulai, aku tidak ingin debat, sebelumnya kita bahas ini, dan kamu yang menyarankan agar aku melakukan inseminasi, sekarang anakku sedang tumbuh, dan kamu berubah pikiran?"
"Aku masih kesal karena kamu tidak hanya menyewa rahimnya melainkan juga menikahinya."
"Hanya sembilan bulan saja, tidak ada yang berubah, semua akan kembali sesuai harapan kita. Tolong jangan membuat mood aku jelek."
"Oke, kamu boleh pergi, moodku juga sedang tidak baik, aku butuh hang out."
"Buatlah dirimu bahagia, aku tidak melarangnya," ujar Abi tak ambil pusing.
Siang itu Abi sudah membuat jadwal kunjungan dengan Dokter Stela. Ajeng cukup berangkat saja sesuai jam yang sudah disepakati. Anto menjemputnya sampai ke rumah sakit.
Hal yang selalu mendebarkan untuk Ajeng dan tentunya bagi Abi sebenarnya. Saat-saat pemeriksaan seperti ini, serasa lebih dekat dengan bayi mereka. Tapi pada kenyataannya, semakin membuat mata Ajeng terbuka lebar, bahwa kehadirannya hanya sebagai warna dan wadah saja untuk dirinya. Ada perasaan yang entah saat membayangkan semua itu, sakit lebih tepatnya.
Selama pemeriksaan, Abi yang aktif bertanya-tanya. Pria itu begitu antusias dan semangat, bahkan terus tersenyum bahagia menatap hasil print USG anaknya saat perjalanan pulang ke rumah.
Tiba-tiba di perjalanan Ajeng meminta Anto untuk menghentikan mobilnya.
"Berhenti Pak, saya turun di sini saja!" seru Ajeng membuat Abi menatap dengan tanda tanya.
"Mau ke mana? Kita langsung pulang."
"Mas, aku mau beli sesuatu, tidak usah mengantar aku sampai rumah. Lagian kamu harus balik ke kantor, 'kan?"
"Aku sudah meluangkan waktuku hari ini, apa yang kamu inginkan?"
Ajeng terdiam sejenak, beberapa hari ini dia sedang suka ngemil dan doyan makan, bahkan cukup terasa berefek pada berat tubuhnya yang mungkin semakin berisi.
"Aku pingin eskrim," ujar Ajeng sedikit canggung.
"Owh ... biar Anto membawamu ke kedai paling baik di sini," jawab Abi tersenyum melihat muka istrinya yang imut.
"Tidak perlu, mini market saja cukup," tolak Ajeng merasa terlalu berlebihan.
"Biar aku memberikan yang terbaik untuk anakku, apa hak kamu melarangku. Tugasmu hanya mengandung, memastikan ia selalu sehat di dalam sampai melahirkan nanti, dan kamu tidak berhak apa pun atas anak itu."
🤔🤔🤔
Yang datengnya barengan sama Abi?? 🤔🤔
ceritanya menarik tp bahasanya msh agak kaku antara kakak dgn adik