Ketika kesetiaan seorang istri tak berarti dimata suami. Bagaimana kah usaha Tari menghadapi pengkhianatan yang di lakukan oleh suaminya? ikuti terus kisah Tari yang ingin membalaskan rasa sakit hatinya terhadap Dimas.
"kau salah besar jika menganggapku lemah Mas, lihatlah nanti apa yang akan aku lakukan terhadapmu dan gundikmu itu! Tak ada kata maaf untuk sebuah pengkhianatan. Akan ku kembalikan kau ke tempat asalmu, dasar laki-laki tak tahu diri. Bersiaplah, kau harus merasakan rasa sakit hatiku ini berkali lipat. Ku pastiak kau akan memelas berharap kata maaf dariku. Kau telah memilih musuh yang Salah Mas!" - Mentari
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kiki Purwanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9
Hari ini sungguh hari yang melelahkan hati dan juga fikiran. Entahlah, akan sampai sejauh mana aku melangkah. Bertahan dalam penikahan yang penuh dengan kebohongan. Jika ditanya apakah aku masih mencintai Mas Dimas? Jawabannya mungkin tidak! Rasa kecewa yang aku rasakan lebih besar dibanding rasa cintaku. Rasa Cinta ini perlahan mulai terkikis oleh rasa benci.
Besok, aku akan pergi menemui Ibu mertua, mudah-mudahan saja beliau tau tentang Maya. Untungnya Mas Dimas mengizinkanku pergi, tapi aku tidak bilang akan ke rumah Ibu mertua. Aku hanya bilang akan pergi ke rumah ayah, dan kemungkinan akan menginap disana. Tentu saja itu tak masalah bagi Mas Dimas, karena pasti dia pun akan sibuk dengan gundikny. Bersenang-senanglah mas, sebelum ku buat kau menderita.
Hari ini, aku akan berangkat ke rumah ibu pagi-pagi. Agar tak terjebak macet. Perjalanan ke rumah Ibu memerlukan waktu kurang lebih satu jam, tapi jika weekend akan memakan waktu lebih. Karena daerah rumah ibu dekat tempat wisata. Otomatis akan banyak orang yang berlibur menghabiskan waktu akhir pekan.
Pukul 09.00 aku berangkat menuju rumah Ibu mertua, ku ajak Mang Udin untuk ikut serta. Tapi nanti Mang Udin akan kembali pulang menggunakan transportasi umum. Sengaja mobil ditinggal bersamaku, karena aku nanti berniat ingin mengajak Ibu Bapak serta Riri berlibur. Mas dimas? Jangan Tanya, dia sudah pergi sejak pagi-pagi sekali, dengan dalih ingin berkumpul bersama temannya. Namun yang pasti dia sudah sibuk dengan gundiknya.
Setelah menempuh perjalan kurang lebih satu jam 15 menit, aku sampai di rumah Ibu mertua. Dulu rumah ini begitu sederhana, semenjak menikah denganku Mas Dimas bisa merenovasi rumah ini. Memang tidak besar tapi cukup nyaman dan asri untuk di tempati.
Tok, tok
"Assalamualaikum" ucapku
Hening, belum ada jawaban. Ku coba ketuk sekali lagi. Masih sama belum ada jawaban. Kemana perginya Ibu dan yang lain. Ku coba mengetuk pintu lagi.
"Waalaikumsalam, tunggu sebentar" akhirnya, sepertinya itu suara Riri
"Mbak Tari, ya Allah. Mbak kenapa gak bilang dulu mau kesini. Masha Allah, ponakan ateu makin embul aja. Riri kangen Mbak" ucap Riri sambil memelukku.
"Mbak nggak diajak masuk nih? Pegel loh" jawabku sambil melepas pelukan Riri
"Astaghfirullah, Riri lupa. Ayo mbak silahkan masuk biar Riri yang bawain tasnya
Aku dan Riri pun berjalan masuk ke dalam rumah. Sepi, sangat sepi. Tak kulihat Ibu dan Bapak muncul. Kemana mereka? Setelah merebahkan diri di sofa aku langsung menanyakan keberadaan Ibu dan Bapak pada Riri.
"Ri, rumah sepi amat. Ibu dan Bapak kemana?"
Huffft, hanya hembusan nafas yang berat yang keluar dari mulut Riri
"Ibu dan Bapak sedang pergi bekerja Mbak. Mereka jadi buruh packing kerupuk di rumahnya Wak Kasim" ucap Riri dengan lesu.
Apa? Bekerja? Sejak kapan Ibu dan Bapak bekerja seperti itu? Bukankah dulu Bapak punya usaha kedai martabak? Harusnya usaha itu semakin meningkat, mengingat modal yang kuberikan lumayan banyak. Ya, memang dari dulu Bapak mertuaku berjualan martabak, dulu sebelum menikah denganku, bapak hanya berjualan menggunakan gerobak. Tapi setelah Mas Dimas menikah denganku, ku kucurkan modal untuk usaha Bapak, tak tega rasanya melihat bapak yang sudah tua harus mendorong gerobak yang berat.
"Sejak kapan Bapak sama Ibu bekerja seperti itu Ri? Bukannya usaha martabak bapak baik-baik saja?"
"Maafkan Riri mbak, jika banyak hal Yang Riri sembunyikan dari Mbak. Riri hanya tidak ingin Mbak banyak fikiran, terlebih saat setelah melahirkan"
"Jelaskan lah Ri, apa Yang sebenarnya telah terjadi" pintaku pada Riri.
"Usaha martabak Bapak sudah tutup dari semenjak satu tahun ke belakang. Itu di karenakan uang modal habis digunakan oleh Mas Dimas, Mas Dimas bilang ia membutuhkan tambahan modal untuk ikut usaha, beegabung bersama temannya. Mas Dimas bilang, ia segan kalau harus meminjam sama Mbak, tak enak katanya. Akhirnya Bapak yang memberi pinjaman tersebut, uang tabungan dan modal habis dipinjam Mas Dimas. Tapi setelah satu tahun uang yang Bapak pinjamkam tak pernah kembali. Bapak pun tak pernah menanyakan perihal uang tersebut. Sekarang pun, Mas Dimas tak pernah memberikan uang bulanan kepada Ibu dan Bapak. Paling hanya mengirim sebesar 2 juta rupiah saja Mbak. Katanya sedang banyak pengeluaran, ditambah sekarang sudah ada Adam. Akhirya Ibu dan Bapak memilih ikut bekerja di Wak Kasim Demi memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolah Riri. Tapi Mbak, Riri merasa Mas Dimas sedang berbohong, Mas Dimas sedang menyembunyikan sesuatu. Mas Dimas Yang Riri kenal tak seperti ini Mbak. Hug huug huug" jelas Riri sambil menangis sesegukan.
Ya Allah, Ya Rabb. Sesak hatiku mendengar penjelasan Riri. Betapa kau tega sekali mas. Kenapa kau berubah seperti ini, apa sebenarnya yang kau cari dari materi Mas. Ku tekan dada ini kuat-kuat, berharap rasa sesak ini ikut memudar. Berusaha untuk tak menangis, namun nyatanya aku rapuh juga.
Ku peluk Riri dengan kuat, ikut menangis merasakan sakit ini.
"Sudah Ri sudah, berhentilah menangis. Kau harus kuat. Ada Mbak disini sekarang. Kau benar Ri, memang Mas mu sedang berbohong. Mas mu sedang bermain api di belakang Mbak. Dia, dia mengkhianati Mbak Ri" tak dapat ku bendung lagi rasa sesak ini. Ku tumpahkan segalanya dalam tangisan.
"Apa? Se-sejak kapan Mbak?"
"Entahlah, mbak tak tahu pasti kapan itu terjadi. Tapi, mereka sudah menikah siri sejak 5 bulan lalu"
"Astagfirullah, astagfirullah. Mas Dimas memang benar-benar keterlaluan. Maafkan kami Mbak, kami sama sekali tak tahu soal itu. Jika saja Ibu dan Bapak tahu, mereka pasti sangat kecewa"
"Sudahlah Ri, cepat atau lambat semua akan terungkap. Mbak datang kesini selain rindu dengan Ibu dan Bapak. Mbak juga ingin menanyakan sesuatu pada Ibu. Mungkin saja ibu tahu tentang istri kedua Mas mu itu"
"Memangnya ada hubungannya juga dengan Ibu ya Mbak?"
"Nanti saja, setelah Ibu pulang Mbak akan ceritakan semuanya"
Riri pun hanya mengangguk, dan tak banyak bertanya lagi.
Sungguh, semua ini membuatku pusing. Rasanya kepala ini ingin meledak! Tak percaya dengan perubahan suamiku itu, dulu ia adalah sosok lelaki yang baik. Pengertian dan perhatian terhadap aku dan keluarga, pekerja keras juga. Tapi kini, semua berubah 180°. Aku harus memikirkan langkah apa yang selanjutnya akan aku ambil, ternyata bukan hanya hakku dan Adam saja yang iya curangi. Tapi hak keluarganya pun tak luput ia curangi. Astagfirullah...
Setelah puas bercerita dengan Riri, akhirnya aku dan Riri berniat memasak untuk makan siang. Kata Riri Ibu dan Bapak terbiasa pulang saat jam istirahat, dan akan makan dirumah. Memang, Wak Kasim masih ada hubungan kekerabatan dengan Bapak mertua.
Setelah melihat isi kulkas, ternyata tidak ada bahan makanan yang bisa di olah. Hanya ada beberapa butir telur saja.
"Ri, kita belanja ke warung Bu Halimah yuk. Stok makanan di kulkas tidak ada apa-apa" ajakku pada Riri
"Tak usah mbak, kami sudah terbiasa makan dengan itu. Kalau mbak mau, mbak pesan online saja untuk makan mbak"
"No, no, no. Mbak pengen masak, pengen masakin buat Ibu sama Bapak. Ayo antarkan Mbak ke warungnya Bu Halimah"
"Baiklah Mbak"
Akhirnya aku dan Riri pun pergi ke warung Bu Halimah untuk berbelanja bahan masakan. Memang, disini warung Bu Halimah bisa dibilang warung paling komplit, selain menyediakan sembako warung Bu Halimah pun menyedikan aneka sayuran dan daging.
Setelah berjalan kurang lebih 5 menit, akhirnya kami sampai di warung Bu Halimah. Terlihat disana ada beberapa ibu-ibu yang tengah mengobrol.
"Permisi ibu, saya mau belanja sayur" ucapku ramah pada Bu Halimah
"Walah ada mantu Bu Sofia ternyata. Silahkan mbak dipilih" jawab Bu Halimah dengan ramah
"Wah, mantu Bu Sofia baru lagi kesini ya. Apa kabar mbak? Kirain dah lupa sama mertua" ucap seseibu yang bertubuh gempal, yang ku tahu dia bernama Bu Menik, terkenal dengan mulu lemesnya
"Alhamdulillah baik Bu, ya masih inget lah bu"
"Olah kirain dah lupa. Punya mantu kaya tapi mertua kerja jadi tukang packing kerupuk"
Deg!
Apa maksud dia berkata seperti itu? Sabar, sabar aku tak boleh terpancing emosi.
"Punya mantu aja kaya tapi pelit buat apa. Mana larang-larang suaminya lagi buat ngasih uang ke orang tua. Untung aja Dimas selalu bisa memberikan uang pada keluarganya walaupun dengan cara sembunyi-sembunyi. Kalau aku punya mantu kaya gitu, udah tak suruh cerai aja anakku. Untung aja Dimas itu orang nya penyabar"
Ya Allah, fitnah apa lagi ini? Apa sebenarnya mau mu mas sampai kau tega menjelekkanku atas apa Yang tak pernah aku perbuat. Batinku
Ku lirik Riri yang akan menimpal omongan Bu Menik. Namun ku tahan, ku berikan kode agar Riri diam saja. Tak ku hiraukan ocehan Bu Menik, memilih diam dari pada harus meladeni omongan bermulut lemes tersebut.
"Itung ini semuanya bu, jadi berapa"
"Semuanya jadi 200rb mbak. Mbak yang sabar ya. Memang mulut si Menik itu tak pernah di sekolahkan" ucap Bu Halimah dengan sedikit nada tinggi.
Ku lihat Bu Menik hanya mencebikkan mulut.
Setelah selesai membayar gegas aku pulang bersama Riri, ku berikan tatapan sinis kepada Bu Menik, sebodo amat dia akan berfikiran apa tentangku.
Baiklah mas, jika kau bisa menyebarkan fitnah keji seperti itu. Akan ku balas beribu kali lipat sakitnya. Tunggulah saja balasan dariku. Dasar manusia tak tahu diri.
Bersambung....