Berniat berlari dari penagih utang, Kinan tak sengaja bertabrakan dengan Reyhan, laki-laki yang berlari dari kejaran warga karena berbuat mesum dengan seorang wanita di wilayah mereka.
Keduanya bersembunyi di rumah kosong, sialnya persembunyian mereka diketahui oleh warga. Tanpa berpikir lama, warga menikahkan paksa mereka.
Keinginan menikah dengan pangeran yang mampu mengentaskan dari jerat utangnya pupus sudah bagi Kinan. Karena Reyhan mengaku tak punya kerjaan dan memilih hanya menumpang hidup di rumahnya.
READER JULID DILARANG MASUK!
Ini hanya cerita ringan, tak mengandung ilmu pelajaran, semoga bisa menjadi hiburan!
Tik tok : oktadiana13
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Okta Diana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Telur Burung Unta
Setiap pagi hanya berdiam dan bermalas-malasan di atas tempat tidur. Tak ada yang bisa dilakukan, toko kue sudah ku tutup. Aku tak mempunyai semangat untuk memulai membukanya. Modal dari mana? Uang dua puluh juta yang Rey beri padaku sudah habis.
Rey, kenapa kamu tak pernah memberiku kabar? Sedang dimana kamu sekarang? Apa sedang bersama pacar-pacarmu? Tegakah padaku?
Hanya menatapi layar ponsel sembari tengkurap menempelkan kepala di bantal. Sungguh seperti orang yang tak punya masa depan. Apa ini yang disebut kaum rebahan? Ku helakan napas panjang.
Tiba-tiba aku terlonjak saat mendengar bantingan pintu mobil di depan. Dengan cepat aku beranjak melihat dari jendela kamar, ternyata Rey sudah pulang. Entah kenapa jantung ini rasanya berdegup kencang, gugup tak karuan. Ah, bukannya dulu aku ingin dia menghilang. Tapi, hampir satu minggu ini dia tak pulang membuat sangat kesepian.
Aku berkaca sebelum membukakan pintu untuknya. Dia terlalu mendadak, aku bahkan tak sempat mempersiapkan diri.
Eh, Perasaan apa ini?
Tok tok tok
Tanpa mengulur waktu, aku berlari membuka pintu. Dia melempar senyum padaku. Sungguh rasanya malu. Menunduk, dan menggigiti bibir bawahku.
"Aku gak boleh masuk?" tanyanya dengan memiringkan kepala.
"Ih, bolehlah."
Kenapa dia bertanya seperti itu? Tak sadarkah kalau selama ini aku menunggunya. Dia langsung duduk di sofa dan menatapku. Tak mengerti kenapa ini membuat bertambah bersemu.
"Pipimu kenapa jadi kayak tomat gitu?"
Apa? Kayak tomat? Apa kebanyakan blush on?Aku menggosok-gosok dengan telapak tangan. Tapi aku tak merasa memakainya. Dia malah tertawa kegirangan. Rasanya malu, aku berlari ke dalam kamar dan berkaca.
"Gak terlalu merah. Kenapa dia bilang kayak tomat?"
Tiba-tiba tendengar tawa ledekannya di belakangku. Wajahku berkerut. "Ih gak lucu." Dia kini duduk bersandar di atas tempat tidurku.
"Kamu kangen gak sama aku?" tanyanya seraya melipat kedua tangan di dada.
"Pede banget." Rey mencebikkan bibirnya. Sebenarnya aku sangat menyukai pertanyaannya itu. "Kamu itu dari mana? Hampir satu minggu loh gak pulang?"
"Ke rumah istri muda," jawabnya seraya terkekeh.
"Ih," Aku mendengus kesal. Apa menurutnya ini lucu. Dia tak tau saja, selama ini aku terbelenggu.
"Kamu gak ke toko kue?"
Ah, dia belum menjawab pertanyaanku malah mengalihkan ke pertanyaan lain.
"Udah aku tutup. Bangkrut."
Dia terlonjak. "Loh bukannya dulu udah aku kasih dua puluh juta? Kok malah ditutup?"
"Aku mau jual."
"Udah?"
Aku menggelengkan kepala. "Lagi nyari pembeli yang mau bayar harga tinggi." Dia terdiam dan mengerutkan dahi.
"Terus kamu dapat penghasilan dari mana kalau dijual?"
Kenapa bertanya. "Ya dari kamu lah, kamu 'kan suamiku. Jadi itu tugasmu."
"Tapi aku 'kan gak kerja."
"Kamu menikah denganku dulu terpampang jelas lulusan sarjana loh, kenapa kamu malah sia-siakan ijazahmu? Aku kalau jadi kamu pasti udah nyari kerjaan yang tetap. Kamu tuh gak mikir masa depan kita bagaimana?" Aku geram, kenapa ada laki-laki berpola pikir malas sepertinya?
"Kita?" Dia menganggkat kedua alisnya.
"Eh," Aku kelepasan bicara terlalu jauh. Mungkin dia tak mau berlama-lama denganku. "Ya udah kalau gitu, pisah aja! Biar gak ada istilah 'kita'."
Aku mengerucutkan bibir seraya berjalan keluar kamar. Mengambil air dalam kulkas, duduk di meja makan lalu meminumnya. Aku melihat dia mengikuti langkah ini. Raut wajahnya pun berubah cemberut. Rey kini duduk di sampingku.
"Kamu tuh ngomong pisah terus ya, beneran kamu gak nyaman mempunyai suami sepertiku?" ucapnya dengan intonasi nada tinggi.
Aku meremas-remas tangan geram. "Kamu sih pergi kemana gak mau bilang. Gak mau telepon atau kirim pesan. Apa kamu pikir nungguin itu menyenangkan?" Aku mengalihkan pada kesalahannya. Rasanya belum terima saja, dia begitu tak memperdulikanku.
"Nungguin itu seru tau," sahutnya.
Aku menggedikkan bahu dan membuang muka. Tanganku menompang dagu. Ingin sekali aku memukul dan mencabik-cabiknya. Kenapa cowok itu tidak peka.
"Kamu itu pergi kemana seminggu ini?"
"Pulang," jawabnya ketus.
"Pulang?" Dia mengangguk. "Kok aku gak kamu ajak? Orang tuamu belum tau kalau kamu udah nikah?" Rey menggelengkan kepalanya.
"Kamu katanya ingin pisah sama pengangguran kayak aku. Ya makanya gak aku kenalin sama orang tuaku." Aku merengut kesal. Kenapa dia tidak paham, jika hanya bercanda.
Aku tak mampu menjawab. Terdiam sejenak. "Ya kamu cari kerja dong!"
"Besok aku cari."
"Benar ya?" Dia mengangguk lemas. "Kamu udah makan belum?"
"Udah tadi sama telur burung unta."
"Ih," Aku gemas memukul-mukul bahunya sampai dia mengaduh. "Telur burung unta tuh mahal banget, kamu mana sanggup beli," teriakku.
Dia memajukan bibir bawahnya dan menyentuh ujung kelingking dengan ibu jarinya. "Kecil." Aku memundurkan kepala. "Mahalan dua telurku."
Aku menggedik sembari menahan tawa. "Dasar gila."
"Kenapa kamu masih nungguin orang gila?"
"Karena aku terlanjur dinikah paksa dengannya."
Rey memiringkan kepala dan mendekati wajahku. "Ya udah, aku pergi sekarang kalau gitu."
"Kamu tega. Masak aku harus jadi janda."
"Yang penting 'kan masih perawan."
"Ih," Aku mencubit perutnya.
"Hadoh, ya sakitlah. Main cubit-cubit aja." Dia membuka kaosnya. "Lihat merah nih!"
Aku menggigit bibir bawah seraya melirik perutnya. Mungkin terlalu berlebihan. Maafkan aku! Itu jika kamu mendengar suara batinku.
"Ya aku maafin."
"Eh," Aku terlonjak saat dia mengucap kalimat itu. Apa dia mendengar suara batinku. Jangan-jangan dia bisa baca pikiran lagi. "Siapa yang minta maaf?" tanyaku penasaran.
"Biasanya cewek 'kan kayak gitu. Makanya sebelum kamu minta maaf udah aku maafin dulu."
Aku menahan tawa geli dengan menutup mulut dengan tangan. Dasar buaya hafal banget sama wanita.
"Hari ini sibuk apa?" tanyanya. Gelengan kepala ku berikan padanya. "Jalan-jalan mau?"
Ah, ingin rasanya aku menjerit dan berlonjak. Ya mau lah. Pakai ditanya segala.
"Yah, pakai senyum-senyum. Malu jawabnya?"
"Apaan ih?" Aku membuang muka tak mampu menahan tawa. "Ya udah, kemana?" tanyaku setelah kegelian di perut sedikit mereda.
"Kamu inginnya kemana? Asal jangan yang nguras dompet aja!"
Aku mengernyit. "Pantai."
"Pasti mau lihat matahari di atas kepala ya?" tanyanya yang mampu membuat perutku seperti digelitik. "Siang-siang mau ke pantai. Nanti kalau kulitku gosong kamu mau tanggung jawab?"
"Idih kamu tuh cowok, kulit gosong aja takut." Aku berdiri dan menggeser kursi keras. "Mau mandi dulu."
Dia memegang tanganku dengan tatapan menyeringai. "Ikut!"
Aku ternganga. Ku dorong tubuhnya sampai hampir terjatuh. "Dasar otak mesum!" Dia terkekeh seraya menggaruk kepalanya.
Tak membuang waktu lama aku langsung masuk kamar mandi, mengguyur tubuh ini. Rasanya tak sabar untuk jalan-jalan bersamanya. Dengan cepat aku menggosokan spons mandi ke seluruh tubuh seraya bernyanyi-nyanyi.
Tok tok tok
"Eh,"
"Buka dong! Aku kebelet nih."
Aku menggedik. "Bentar lagi," teriakku.
"Aku udah gak tahan nih. Rumah kamar mandi cuma satu."
"Berisik." Dia mengetuk pintu lagi. "Aku masih handukan Rey, sabar dong!" teriakku geram.
Tunggu! Baju gantiku. Aku lupa tidak membawanya ke kamar mandi. Bagaimana ini? Masak iya keluar harus handukan begini.
"Cepetan!" teriak Rey dari luar.
"Rey tolong ambilin bajuku di lemari kamar dong! Aku lupa bawa nih!"
"Baju? Aku gak ngerti baju yang mana."
"Terserah kamu. Pokoknya baju."
❤
❤
❤
❤