Dibuang ke neraka Red Line dengan martabat yang hancur, Kaelan—seorang budak manusia—berjuang melawan radiasi maut demi sebuah janji. Di atas awan, Putri Lyra menangis darah saat tulang-tulangnya retak akibat resonansi penderitaan sang kekasih. Dengan sumsum tulang yang bermutasi menjadi baja dan sapu tangan Azure yang mengeras jadi senjata, Kaelan menantang takdir. Akankah ia kembali sebagai pahlawan, atau sebagai monster yang akan meruntuhkan langit demi menagih mahar nyawanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Terobosan S3
Suhu di sudut barak Sektor 4 itu terasa seperti pemanggangan roti yang menyala di tengah malam. Kaelan meringkuk di atas tumpukan jerami kering yang kini mulai mengeluarkan aroma hangus akibat panas tubuhnya. Keringat yang bercampur dengan residu gas belerang mengalir deras, namun sebelum sempat menyentuh lantai, cairan itu menguap menjadi asap tipis yang berbau asam.
"Panas... ini terlalu panas," rintih Kaelan dengan suara parau.
Di dalam sumsum tulangnya, energi kristal hijau yang ia jarah dari gudang logistik sedang berperang melawan sisa-isa energi Void yang terserap saat infiltrasi. Setiap kali kedua energi itu berbenturan, Kaelan merasa seolah-olah ada palu raksasa yang menghantam tulang belakangnya, mencoba memecahkan struktur Iron Bone yang baru terbentuk.
"Kaelan, minumlah ramuan ini. Kau sudah menggigil selama tiga jam, tapi kulitmu membara," suara Mina terdengar lembut namun penuh kekhawatiran medis. Wanita itu duduk di sampingnya, memegang mangkuk kayu berisi cairan herbal yang beraroma sangat pahit.
"Jangan... jangan sentuh aku, Mina," Kaelan mengerang, rahangnya mengeras hingga otot lehernya menonjol. "Energi di tubuhku sedang tidak stabil. Jika kau menyentuhku, kau bisa terkena luka bakar spiritual."
Mina menghela napas, meletakkan mangkuk itu di dekat tangan Kaelan yang memerah. "Aku tahu bedanya demam biasa dan Overheat. Kau menolak menggunakan sisa kristal hijau itu untuk mendinginkan tubuhmu sendiri, malah memberikannya pada budak-budak tua yang terinfeksi gas belerang. Kau gila, Kaelan. Kau mengorbankan nyawamu untuk martabat yang bahkan tidak mereka hargai."
"Ini bukan tentang dihargai atau tidak," bisik Kaelan, matanya yang abu-abu kini sesekali memancarkan cahaya perak yang tidak stabil. "Ini tentang menjadi manusia. Jika aku menggunakan kekuatan itu hanya untuk kenyamananku sendiri, maka aku tidak ada bedanya dengan para Elf di Benua Langit."
Sementara itu, ribuan mil di atas sana, di keheningan kamar tidurnya yang kini terasa hampa tanpa gaun-gaun indah, Lyra Elviana duduk dengan tangan gemetar. Ia sedang memegang jarum jahit emas, mencoba menyatukan kembali potongan sutra Azure yang ia robek demi mengalihkan perhatian pengawal Alaric tempo hari.
"Ugh!" Lyra tersentak. Ujung jarinya tertusuk jarum yang tajam. Setetes darah merah segar muncul di permukaan kulitnya yang pucat.
Namun, rasa sakit itu bukan hanya miliknya. Melalui resonansi Shared Scar, Lyra bisa merasakan jantungnya berdegup kencang secara tidak alami. Ia merasakan panas yang membara di tulang punggungnya, seolah-olah ia sedang berdiri di tengah kawah gunung berapi.
"Kau sedang bertarung dengan takdirmu lagi, kan?" bisik Lyra sembari mengusap darah di jarinya. "Jangan biarkan kegelapan itu menang, Kaelan. Aku akan menjahit kembali setiap harapan kita, seberapa pun hancurnya itu."
Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka dengan kasar. Pangeran Alaric melangkah masuk dengan keangkuhan yang sudah mendarah daging. Ia mengenakan jubah putih bersih yang sangat kontras dengan suasana kamar Lyra yang suram dan berbau parfum lili yang tajam.
"Kudengar kau sedang sakit, Tunanganku," Alaric berkata dengan nada yang dibuat-buat prihatin, namun matanya menatap tajam ke arah kain biru yang sedang dijahit Lyra. "Dan pengawalku lapor bahwa kau menghina mereka demi tumpukan kain sampah ini."
Lyra tidak berdiri. Ia terus menarik benang emasnya melewati serat sutra. "Kain ini memiliki nilai yang tidak akan pernah bisa dipahami oleh orang yang menganggap segalanya bisa dibeli dengan emas, Alaric."
Alaric mendekat, lalu mengeluarkan sebuah botol kecil berisi cairan ungu yang berpendar. "Aku membawa 'Ramuan Cahaya Suci'. Ayahmu memintaku untuk memastikan kau pulih sebelum pesta dansa. Ramuan ini akan membersihkan pikiranmu dari segala pengaruh... bawah tanah yang mengotorimu."
Lyra menatap botol itu. Ia tahu itu bukan sekadar obat. Itu adalah penghambat mental yang bisa memutus koneksinya dengan Mata Void—dan dengan Kaelan.
"Simpan saja ramuanmu, Pangeran. Tubuhku hanya butuh istirahat, bukan kendali pikiran," sahut Lyra dingin.
Di bawah tanah, di tengah penderitaannya, Kaelan tiba-tiba mendengar suara itu lagi. Bisikan Void yang serak dan menggoda, bergema di dalam rongga kepalanya yang panas.
“Lepaskan saja... hancurkan kamp ini... biarkan energi mereka menjadi nutrisimu... Kau akan menjadi Dewa di antara bangkai-bangkai ini...”
"Diam!" bentak Kaelan pada kehampaan.
“Kenapa kau menderita demi mereka? Mereka hanya menunggumu mati agar bisa memakan jatah rotimu...”
Kaelan mencengkeram kepalanya. Di saat ia hampir menyerah pada godaan kekuatan instan untuk menghentikan rasa panas di tulangnya, ia merasakan sebuah tusukan kecil di ujung jarinya secara batiniah. Rasa sakit yang tajam, kecil, namun sangat nyata—resonansi dari jarum jahit Lyra.
Kehangatan dari benang emas di ingatan Lyra merambat masuk ke dalam jiwanya, mengusir dinginnya bisikan Void. Kaelan menyadari bahwa ia tidak sendirian. Ia menarik napas dalam-dalam, mengabaikan rasa perih di paru-parunya, dan mulai melakukan kompresi energi terakhir pada sumsum tulangnya.
"Aku... adalah manusia!" teriak Kaelan dalam hati.
Cahaya perak meledak dari pori-pori kulitnya. Lapisan embun perak yang dingin mulai menyelimuti tubuhnya yang tadinya merah membara. Panas itu perlahan mereda, digantikan oleh kekuatan yang terasa lebih padat dan tenang.
Spark Tahap 3.
Kaelan membuka matanya. Ia melihat uap panas yang keluar dari tubuhnya kini telah berubah menjadi partikel cahaya kecil yang menetralkan bau belerang di sekitarnya. Di tangannya, kapak tambang yang ia pegang mulai bersinar mengikuti detak jantungnya.
"Kaelan? Kau masih hidup?" Mina mendekat dengan wajah penuh kekaguman bercampur ngeri.
Kaelan berdiri perlahan. Tubuhnya terasa lebih ringan, lebih kokoh. "Aku hidup, Mina. Dan mulai hari ini, tidak akan ada lagi budak yang mati karena sesak napas di sektor ini selama aku masih bernapas."
Udara di dalam barak yang semula pengap oleh aroma kematian perlahan berubah menjadi segar, seolah-olah embun pegunungan baru saja turun menyapu debu belerang. Kaelan berdiri dengan punggung tegak, merasakan setiap inci sumsum tulangnya kini berpendar dengan warna perak yang solid. Spark Tahap 3 bukan sekadar peningkatan kekuatan; itu adalah sebuah evolusi antibodi. Racun yang sebelumnya membakar paru-parunya kini diserap dan diolah menjadi energi murni yang memperkuat struktur tulangnya.
"Energi ini... kau benar-benar berhasil melakukan terobosan tanpa bantuan kristal mana murni?" Mina bertanya dengan suara gemetar, tangannya masih memegang mangkuk sup yang kini sudah mendingin.
Kaelan menatap telapak tangannya sendiri. "Kristal itu adalah milik mereka yang sekarat, Mina. Martabat kita sebagai manusia tidak diukur dari seberapa banyak energi yang kita telan, tapi dari seberapa kuat kita bertahan tanpa menjadi monster."
Di Benua Langit, Alaric masih berdiri mematung di tengah kamar Lyra. Ia merasakan aura yang sangat asing bergetar di atmosfer—sebuah frekuensi energi yang rendah namun sangat padat, sesuatu yang seharusnya tidak mungkin dimiliki oleh seorang budak fana di Terra. Matanya menyipit, menatap botol ramuan ungu di tangannya yang kini bergetar kecil.
"Ada sesuatu yang kau sembunyikan, Lyra," desis Alaric, suaranya mengandung ancaman yang tajam. "Aku bisa merasakan detak jantungmu tidak sinkron dengan udara di istana ini. Kau terhubung dengan sesuatu di bawah sana, bukan?"
Lyra menarik benang emasnya dengan satu tarikan kuat, menyelesaikan jahitan terakhir pada gaun Azure yang telah rusak. Ia berdiri, menatap Alaric dengan martabat yang tak tergoyahkan, meskipun keringat dingin masih membasahi dahinya akibat demam resonansi yang baru saja mereda.
"Pangeran Alaric, kau selalu mencari hantu di tempat yang terang," ujar Lyra dengan senyum tipis yang meremehkan. "Jika kau merasa ada yang tidak beres dengan detak jantungku, mungkin itu karena kehadiranmu yang terlalu menyesakkan di kamarku. Sekarang, silakan bawa ramuanmu pergi. Aku sudah cukup 'pulih' untuk menghadapi pesta dansamu."
Alaric menggeram pelan, namun ia tidak memiliki bukti fisik. Ia membanting pintu kamar Lyra saat melangkah keluar, meninggalkan keheningan yang berat di dalam ruangan tersebut.
Kembali di barak Sektor 4, Bara masuk dengan langkah terburu-buru. Wajah raksasa itu tampak pucat pasi, bertolak belakang dengan tubuh besarnya yang biasanya penuh percaya diri.
"Kaelan! Kau sudah bangun?" Bara berseru sembari menghampiri Kaelan. "Syukurlah. Tapi kita punya masalah besar. Pengawas utama baru saja menerima perintah dari utusan Alaric. Mereka akan melakukan pembersihan total malam ini."
Kaelan mengernyit. "Pembersihan? Apa maksudmu?"
"Semua budak yang dianggap 'cacat' atau sakit akibat gas belerang akan dieksekusi massal. Mereka menganggap budak-budak itu hanya beban logistik karena kristal pengganti belum tiba," Bara mengepalkan tinjunya hingga terdengar suara gemertak tulang. "Mereka akan menggiring teman-teman kita ke tepi jurang Celah Void."
Mina menutup mulutnya dengan tangan, matanya berkaca-kaca. "Tapi mereka baru saja membaik! Inti kristal hijau yang kau curi sudah mulai bekerja!"
Kaelan meraih kapak tambangnya. Ia merasakan aliran energi Spark Tahap 3 mengalir lancar ke bilah besi tersebut, membuatnya berpendar perak halus. Rasa sakit dari bisikan Void tadi memang sudah hilang, namun gema dari godaan kekuatan itu masih menyisakan satu hal di benaknya: Keadilan.
"Mereka ingin membuang nyawa manusia seperti sampah?" Kaelan bertanya, suaranya rendah namun mengandung tekanan yang membuat Bara mundur selangkah.
"Kita tidak punya senjata, Kaelan. Kita hanya punya alat tambang yang tumpul," ucap Bara dengan nada putus asa.
"Kau salah, Bara," Kaelan melangkah menuju pintu barak, menatap deretan budak yang sedang beristirahat di bawah cahaya obor yang redup. "Kita memiliki sesuatu yang lebih tajam dari pedang mana para Elf. Kita memiliki nyawa yang sudah tidak punya apa-apa lagi untuk dikorbankan."
Kaelan keluar dari barak. Di sana, para pengawas dengan cambuk energi mulai menggiring sekelompok budak tua dan anak-anak yang tampak lemah. Suara isak tangis tertahan pecah di antara derap langkah sepatu bot baja para penjaga.
"Berdiri di belakangku, Bara. Mina, siapkan obat-obatan yang tersisa," perintah Kaelan.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Mina cemas.
Kaelan menoleh sedikit, menatap ke arah langit yang gelap di mana Benua Langit bersembunyi di balik awan. "Aku akan menunjukkan pada mereka bahwa Terra bukan tempat pembuangan, melainkan tempat di mana baja ditempa."
Saat seorang pengawas hendak mengayunkan cambuknya ke arah budak tua yang terjatuh, Kaelan melesat dengan kecepatan yang tidak masuk akal bagi seorang manusia biasa. Kapak tambangnya menghantam gagang cambuk itu hingga hancur berkeping-keping.
"Siapa kau?!" teriak pengawas itu, terkejut melihat seorang budak berani melawan.
Kaelan berdiri tegak di depan budak tua itu. Matanya yang abu-abu kini bersinar perak murni, mencerminkan kekuatan Spark Tahap 3 yang telah menyatu dengan martabatnya.
"Aku adalah orang yang akan memastikan kau tidak akan pernah menyentuh mereka lagi," ucap Kaelan tenang.
Bara dan budak-budak lainnya yang melihat aksi Kaelan mulai berdiri satu per satu. Rasa takut di mata mereka perlahan berubah menjadi api harapan yang kecil namun membara. Di malam yang sunyi itu, untuk pertama kalinya, para penghuni Sektor 4 tidak melihat seorang budak fana, melainkan seorang pemimpin yang lahir dari abu penderitaan.
Di Benua Langit, Lyra memegang dadanya. Ia merasakan getaran keberanian Kaelan melalui resonansi batin. Ia tersenyum sembari menggenggam erat potongan gaun Azure yang telah ia jahit kembali.
"Hiduplah, Kaelan," bisik Lyra dalam kegelapan kamarnya. "Hiduplah dan tunjukkan pada mereka siapa pemilik sebenarnya dari dunia ini."