Kelahiran Senja Putri Baskara bukanlah awal, melainkan akhir.
Awalnya, ia adalah janin yang dikandung ibunya, janin yang membawa badai-badai kehadirannya merenggut nyawa kakak laki-lakinya, Fajar Putra Baskara, menghancurkan bisnis keluarga, dan melenyapkan kebahagiaan sang ibu. Sejak hari pertama dirinya hadir, Senja adalah bayangan yang dicap sebagai pembawa sial.
Satu-satunya cahaya di hidupnya adalah sang ayah. Pria yang memanggilnya 'Putri' dan melindunginya dari tatapan tajam dunia. Namun, saat Senja beranjak dewasa, cahaya itu pun padam.
Ditinggalkan sendirian dengan beban masa lalu dan kebencian seorang ibu, Senja harus berjuang meyakinkan dunia (dan dirinya sendiri) bahwa ia pantas mendapatkan kebahagiaan.
Apakah hati yang terluka sedalam ini bisa menemukan pelabuhan terakhir, ataukah ia ditakdirkan untuk selamanya menjadi Anak pembawa sial? ataukah ia akan menemukan Pelabuhan Terakhir untuk menyembuhkan luka dan membawanya pada kebahagiaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kegelapan malam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8
Seminggu setelah mendaftar, senja memulai kursus fotografi digitalnya. Awalnya ia canggung, tetapi lensa kamera dan keindahan yang ia tangkap di sekitarnya perlahan mengusir bayangan masa lalu. Ia pulang dengan wajah yang tidak lagi kusam, melainkan diwarnai oleh semangat baru.
Namun, semangat itu kembali terancam saat ia dan Damar membahas janji berikutnya: sesi konseling.
"Damar, aku sudah mencari tahu biayanya," kata Senja saat mereka duduk di ruang tamu. "Satu sesi... biayanya sangat besar. Aku tidak enak, aku baru saja menghabiskan uangmu untuk kursus fotografi yang... menyenangkan."
Damar meletakkan dokumennya, menoleh penuh. "Senja, kita sudah bahas ini, kesehatan mu bukan biaya tapi ini adalah sebuah investasi. Investasi agar kau bisa hidup penuh tanpa bayangan masa lalu. Anggap saja ini down payment untuk kebahagiaan kita di masa depan."
"Tapi aku takut. Aku takut kalau aku mulai bicara, aku tidak akan bisa berhenti."
"Kalau begitu, bicaralah. Aku akan menunggumu. Setelah ini, kita benar-benar akan menutup pintu masa lalu, Senja. Percayalah padaku."
Keesokan harinya, Damar mengantar Senja ke klinik konseling. Sepanjang perjalanan, Senja diam, tangannya menggenggam tas erat-erat. Ia mengenakan pakaian yang paling membuatnya nyaman, namun hatinya terasa telanjang.
Di ruang tunggu yang tenang, Damar memegang kedua tangan Senja, menatapnya lurus-lurus.
"Tidak ada yang perlu kau takutkan di dalam sana. Kau yang pegang kendali. Aku akan menunggumu di sini. Begitu kau keluar, apa pun yang terjadi, aku ada untukmu."
Senja mengangguk, napasnya berat. "Aku mencintaimu, Damar." Pengakuan itu keluar secara spontan, tulus, bukan lagi janji karena pelarian, melainkan karena rasa hormat yang mendalam.
Damar tersenyum. "Aku juga mencintaimu, Istriku. Pergilah."
Senja melangkah masuk. Ia disambut oleh Dr. Alya, seorang psikolog yang tampak tenang dan memiliki tatapan mata hangat.
Senja duduk di kursi yang nyaman, tetapi terasa seperti kursi listrik. Dr. Alya tidak mendesaknya, hanya memintanya berbicara tentang perasaannya.
"Aku takut," bisik Senja. "Aku takut pada... piring pecah. Pada suara keras. Aku takut pada kebahagiaan."
Dr. Alya mencatat dengan tenang. "Kapan terakhir kali Anda membiarkan diri Anda menangis, Senja?"
Pertanyaan itu memicu gelombang yang tak tertahankan. Air mata mulai menggenang. Senja mulai bercerita, dan kata-katanya berubah menjadi sebuah kilas balik yang menyakitkan.
...~flashback senja kecil berusia 5 tahun~...
Senja kecil baru saja memecahkan vas bunga kesayangan Paramita. Ia menangis hebat, isakannya memenuhi ruangan.
"Maaf, Mama! Maaf!"
Paramita masuk, wajahnya merah padam. "Berhenti menangis! Suaramu seperti bencana!"
Semakin Senja menangis karena ketakutan, semakin kuat Paramita menyiksa. Tamparan di pipi, cubitan di lengan.
"Suara sialanmu membawa sial! Kau ingin semua orang tahu betapa buruknya nasibku memilikimu?!"
Paramita menyeret Senja ke gudang kecil yang gelap, berbau apek, dan menguncinya di sana. "Kau hanya boleh keluar setelah air matamu kering, dan kau harus janji tidak akan menangis lagi!"
...~senja kecil umur 8 tahun~...
Senja mendengar pertengkaran hebat antara Baskara dan Paramita di luar kamarnya. Ia takut ayahnya disakiti Paramita, dan ia mulai menangis tanpa suara, air mata membanjiri wajahnya.
Paramita tiba-tiba membuka pintu. Ia melihat air mata Senja. "Kau menangis lagi?! Kau pikir air matamu akan menyelesaikan masalah?! Kau pikir Fajar kembali jika kau menangis? Dasar Anak pembawa sial"
Paramita menyeret Senja keluar, memukuli punggungnya dengan sapu lidi. "Kenapa kau tidak mati saja bersamanya?!"
...~Flashback off~...
Senja kembali ke masa kini, terengah-engah, wajahnya basah oleh air mata dan ingus. Ia sudah menumpahkan semua yang ia tahan selama bertahun-tahun.
Dr. Alya meletakkan pulpennya. "Anda tidak gila, Senja. Anda hanya memiliki mekanisme pertahanan diri yang sangat keras. Sejak kecil, Anda diajarkan bahwa menangis dan merasa sedih sama dengan dihukum. Itulah mengapa Anda menekan semua emosi, bahkan kebahagiaan, karena Anda takut kalau emosi itu akan membawa hukuman dari ibumu."
"Lalu aku harus bagaimana?" tanya Senja parau.
"Anda harus mengizinkan diri Anda merasa. Mengizinkan diri Anda sedih, mengizinkan diri Anda bahagia. Suami Anda tidak akan menghukum Anda. Suami Anda menunggu di luar, dengan sabar. Anda aman, Senja. Anda bebas menangis. Dan Anda bebas tertawa."
Senja keluar dari ruangan konseling dengan tubuh lelah tetapi hati yang ringan. Ia melihat Damar duduk persis di tempat ia meninggalkannya.
Damar segera berdiri. Ia tidak menanyakan apa pun. Ia hanya memeluk Senja erat-erat.
"Aku menangis seperti orang gila," bisik Senja di dada Damar.
"Itu bagus. Biarkan keluar semuanya," balas Damar, mengusap punggung Senja.
Malam itu, mereka kembali ke rumah. Senja merasa tak sanggup lagi membiarkan Damar tidur di sofa. Setelah mandi, ia berdiri di depan Damar yang sedang menonton berita.
"Damar," katanya, suaranya kini tenang, penuh tekad. "Aku ingin kau tidur di kamar. Denganku."
Damar menatap Senja, ada kebahutan di matanya. "Hanya jika kau benar-benar siap, Senja."
"Aku sudah siap. Aku tidak lagi takut. Aku sudah membuang sisa-sisa amarah Ibu. Aku ingin kau ada di sisiku. Bukan hanya sebagai Pelita, tapi sebagai suamiku. "
Damar mengangguk, memeluk Senja. Pelukan ini terasa berbeda, penuh janji cinta dan perlindungan sejati. Mereka naik ke kamar, dan untuk pertama kalinya, Senja tidak hanya tidur nyenyak karena rasa aman, tetapi karena cinta dan penerimaan yang baru ia rasakan. Ia telah menerima Damar seutuhnya.