NovelToon NovelToon
Ingfah & Nara Si Indigo

Ingfah & Nara Si Indigo

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Mata Batin
Popularitas:70
Nilai: 5
Nama Author: Princss Halu

SINOPSIS
​Nara dan Ingfah bukan sekadar putri pewaris takhta Cankimha Corp, salah satu konglomerat terbesar di Asia. Di balik kehidupan mewah dan rutinitas korporasi mereka yang sempurna, tersimpan masa lalu berdarah yang dimulai di puncak Gunung Meru.
​Tujuh belas tahun lalu, mereka adalah balita yang melarikan diri dari pembantaian seorang gubernur haus kuasa, Luang Wicint. Dengan perlindungan alam dan kekuatan mustika kuno keluarga Khon Khaw, mereka bertahan hidup di hutan belantara hingga diadopsi oleh Arun Cankimha, sang raja bisnis yang memiliki rahasianya sendiri.
​Kini, Nara telah tumbuh menjadi wanita tangguh dengan wibawa mematikan. Di siang hari, ia adalah eksekutif jenius yang membungkam dewan direksi korup dengan kecerdasannya. Di malam hari, ia adalah ksatria tak terkalahkan yang bersenjatakan Busur Sakti Prema-Vana dan teknologi gravitasi mutakhir.


Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Princss Halu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jejak Bisik-Bisik

Patan segera menggendong putrinya, berusaha menenangkan Ingfah yang masih menangis tersedu-sedu karena marah pada roh gadis kecil tadi. Patan buru-buru menyelesaikan transaksi terakhirnya, tangannya gemetar.

Ingfah terus menangis di pelukan ayahnya, yang membuat orang-orang semakin penasaran dan berbisik-bisik. Dengan cepat, Patan meraih beberapa koin dari dompetnya dan membeli sebatang gula-gula dari pedagang terdekat untuk balita tersebut.

Benar saja, Ingfah segera berhenti menangis dan merengek begitu gula-gula itu berada di tangannya. Ia kini sibuk menjilati manisan itu dengan fokus penuh, melupakan sejenak perkelahiannya dengan roh tak terlihat tadi.

Patan segera menaruh putrinya kembali di atas gerobak, memastikan Ingfah aman di antara tumpukan hasil panen. Tanpa memedulikan tatapan aneh dan bisikan tajam yang mulai menyebar di pasar, Patan menarik gerobaknya dan meninggalkan tempat itu secepat mungkin.

Ia tidak peduli dengan pandangan orang-orang. Yang terpenting baginya adalah membawa putrinya menjauh dari situasi yang membahayakan itu.

Saat Patan berjalan, telinganya masih menangkap serpihan-serpihan bisik-bisik, seperti:

“Anak itu aneh. Dia bicara dengan siapa?”

“Matanya… lihat matanya. Ada yang tidak beres.”

“Mungkin dia anak yang diikuti Roh jahat dari reruntuhan.”

Patan hanya menunduk, menarik gerobaknya lebih kencang. Ia tahu, ketakutan Bibi Prang telah menjadi kenyataan. Kerahasiaan yang mereka jaga selama ini telah jebol dalam kunjungan pertama Ingfah ke dunia luar.

Saat Patan menjauh dari keramaian, ia merenungkan kembali bahaya yang dibawa oleh keistimewaan Ingfah. Bibi Cia sudah memperingatkannya; kepekaan Ingfah akan

menarik perhatian, baik roh maupun manusia.

Patan memandang Ingfah, yang kini tertawa kecil sambil menikmati gula-gula. Ia sangat mencintai putrinya, tetapi ia juga merasa takut. Bagaimana ia bisa melindungi Ingfah jika kemampuan itu muncul kapan saja, di mana saja?

Patan sadar, ia tidak bisa mengurus masalah ini sendirian hanya dengan cinta dan kerja keras. Ia membutuhkan bimbingan spiritual yang lebih kuat.

“Aku harus kembali ke Kuil,” gumam Patan pada dirinya sendiri.

“Aku harus meminta nasihat Biksu Agung lagi. Aku tidak tahu bagaimana mengajarinya mengendalikan hal ini.”

Tekad Patan bulat. Tujuan berikutnya bukan lagi kebun, melainkan kuil, demi mencari cara terbaik untuk membimbing Ingfah, si anak indigo, menjalani takdirnya.

Patan tiba di rumah dengan hati yang berat. Ia segera menceritakan semuanya kepada Nenek Bua dan Bibi Prang: insiden di pasar, jeritan Ingfah, dan pandangan mencurigakan dari warga desa.

“Aku harus menemui Biksu Agung secepatnya,” kata Patan, suaranya dipenuhi urgensi. Ia masih menggendong Ingfah yang tenang, sibuk menjilati sisa gula-gula di tangannya.

“Kita tidak bisa menunggu Ingfah berusia lima tahun, Bu. Ia sudah bisa bicara dan itu sangat membahayakan dirinya jika berada di luar tanpa perlindungan dari dalam hatinya,” lanjut Patan, mengulang nasihat Bibi Cia dan Biksu Agung sebelumnya. Ia khawatir perlindungan dari kalung saja tidak cukup.

Mendengar Ingfah disebut-sebut, Bibi Prang mendekat. Ia mencoba bertanya langsung kepada keponakannya.

“Ingfah sayang,” tanya Bibi Prang lembut.

“Tadi di pasar, kamu bicara sama siapa? Kenapa kamu memarahi dia?”

Ingfah menoleh, matanya yang besar memancarkan sedikit kilatan indigo. Ia menjawab dengan polos, menunjuk ke udara kosong di hadapan mereka.

“Dia… mi-na (menangis). Kotor… pu-yi (pergi),” jawab Ingfah dengan bahasa yang masih cadel.

Ia menceritakan mengapa ia menangis. “Dia menangis karena sendirian. Tapi dia kotor dan mau ikut Ingfah. Ingfah suruh dia pergi!”

Penjelasan polos Ingfah membuat Patan dan keluarganya merinding. Ingfah tidak hanya melihat roh, tapi juga mampu menilai dan memerintahkannya, yang berarti ia menarik perhatian roh yang putus asa (menangis) sekaligus roh yang berpotensi jahat (kotor).

Tanpa menunggu lebih lama, Patan menitipkan Ingfah pada Nenek Bua dan segera bergegas kembali ke Kuil Wat Phra Si Sanphet.

Perjumpaan Kedua dengan Biksu Agung

Patan berhasil menemui Biksu Agung lagi. Ia berlutut di depan Biksu, menceritakan insiden pasar, dan permintaan Ingfah untuk 'mengusir' roh yang ia anggap kotor.

“Hamba mohon ampun, Yang Mulia. Hamba tidak bisa menunggu sampai Ingfah berusia lima tahun. Bisakah Yang Mulia mengajarkan doa perlindungan padanya sekarang? Atau setidaknya, cara untuk menenangkan indranya?” pinta Patan.

Biksu Agung menutup mata, merenung dalam keheningan.

“Patan,” ujar Biksu Agung setelah beberapa saat. “Usia adalah penting untuk pengajaran spiritual yang mendalam. Namun, kebutuhan anakmu saat ini mendesak.”

Biksu itu mengambil sebuah gulungan kecil dari altar.

“Aku tidak bisa mengajarkannya pengendalian penuh sekarang, tapi aku akan memberimu tiga hal yang harus kamu lakukan setiap hari mulai hari ini:**

* Doa Harian: Ajari dia mengucapkan mantra sederhana untuk mengucap syukur dan mengunci energinya setiap pagi.

* Latihan Fokus: Ajari dia berfokus pada benda nyata di sekitarnya saat indranya mulai terganggu.

* Kasih Sayang: Ingat, kekuatan terbesar Indigo adalah kemampuannya melihat. Jika dia menggunakan itu dengan kasih sayang, roh jahat akan menjauh. Jika dia takut, roh jahat akan mendekat.

“Bawalah gulungan ini. Setiap malam, kau bacakan doa perlindungan di atasnya, dan sentuhkan pada dahinya sebelum tidur. Ini akan menjadi penenang indranya sampai dia cukup besar untuk belajar pengendalian yang sebenarnya.”

Patan menerima gulungan itu dengan penuh rasa hormat. Ia meninggalkan kuil dengan rasa syukur. Ia kini memiliki alat dan petunjuk untuk membimbing putrinya, sang anak indigo, dalam menghadapi takdirnya yang tak biasa.

****

Patan pulang membawa harapan baru, sekaligus tanggung jawab yang lebih besar.

Hari itu juga, setelah dari kuil, Patan segera melaksanakan amanah Biksu Agung. Ia mengajarkan doa perlindungan sederhana itu kepada Ingfah perlahan-lahan.

Ingfah, yang jenius dan memiliki kepekaan luar biasa, dengan mudah menirukannya. Meskipun bahasa bayinya masih sedikit cadel, Ingfah dapat mengucapkan rangkaian kata suci itu dengan intonasi yang benar. Ia mengucapkannya seperti sebuah nyanyian kecil, bukan sebagai tugas hafalan.

Patan mengajarkan bahwa doa itu harus diucapkan saat ia merasa takut atau saat ia melihat teman-teman yang tidak ingin ia lihat.

Malam harinya, Patan membacakan doa perlindungan dari gulungan yang diberikan Biksu Agung. Dengan lembut, ia menyentuhkan gulungan itu pada dahi Ingfah yang sudah tertidur pulas, menenangkan gelombang energi spiritual yang mengelilingi Ingfah.

Nenek Bua dan Bibi Prang menyaksikan ritual baru Patan itu dengan haru dan penuh harap.

Beberapa hari kemudian, Ingfah kembali diuji. Di tengah malam yang sunyi, Ingfah terbangun. Ia tidak menangis, tetapi matanya terbuka lebar, menatap lurus ke sudut ruangan yang gelap. Di sana, ada sesosok bayangan yang lebih besar dan lebih asing dari biasanya. Roh itu tidak mendekat, tetapi kehadirannya terasa mengintimidasi.

Patan, yang tidur di sampingnya, segera terbangun karena merasakan perubahan energi Ingfah.

Ingfah yang biasanya langsung mengoceh atau merengek marah, kini terlihat memejamkan mata, teringat ajaran ayahnya. Ia mencoba mengucapkan mantra yang baru ia pelajari.

“Saa-dhu… Saa-dhu… Lindung-i… Ingfah…” bisiknya dengan suara yang sangat pelan dan terbata-bata.

Saat mantra itu terucap, Patan melihat kilatan indigo di mata Ingfah meredup, dan bahu kecilnya yang tegang menjadi rileks. Ia membuka mata dan tersenyum, lalu kembali memejamkan mata, seolah roh asing itu telah menghilang atau setidaknya tidak lagi mengganggunya.

Patan menarik napas lega. Doa itu berhasil. Itu adalah sinyal pertama bahwa Ingfah bisa belajar mengendalikan takdirnya. Patan tahu, jalan masih panjang, tetapi setidaknya ia kini memiliki senjata terkuat untuk putrinya: perlindungan dari dalam hati dan jiwa yang damai. Ingfah adalah anak indigo yang ditakdirkan untuk melihat, tetapi kini ia juga mulai belajar bagaimana memilih apa yang ia lihat.

( Pagi yang Riang)

Keesokan harinya, setelah berhasil menenangkan roh asing dengan doa pertamanya, Ingfah bangun dengan semangat yang luar biasa. Ia segera bangkit dan berlari keluar kamar.

“Mee Pang... Mee Pang!” serunya dengan suara cadel yang lucu, memanggil Bibi Prang.

Bibi Prang yang sedang menyapu teras langsung menoleh dan tertawa.

“Oh, sudah bangun, Putriku? Kenapa pagi-pagi sudah mencari Bibi?”

Ingfah tidak menjawab pertanyaan itu. Ia kini berlari menghampiri Nenek Bua yang sedang menyiapkan sarapan.

“Yay, mandi! Fah mau mandi!” ucapnya lagi kepada Nenek Bua, melompat-lompat kecil dengan antusias.

Suasana pagi di rumah itu selalu ramai dan hidup karena kehadiran Ingfah. Balita itu akan berteriak memanggil semua orang, menanyakan segala hal dengan rasa ingin tahu yang tak ada habisnya, dan berlarian ke sana kemari. Kehadiran Patan, Nenek Bua, dan Bibi Prang menjamin Ingfah tumbuh menjadi anak yang ceria dan penuh cinta.

Meskipun Ingfah membawa takdir Indigo dan bisa melihat dua alam, ia menjalani kehidupannya sehari-hari layaknya balita normal yang energik dan ceria, berkat ketenangan yang dibawa oleh latihan doa dan kasih sayang keluarganya.

Patan yang melihat putrinya berlarian riang merasa sangat bersyukur. Senyum Ingfah adalah imbalan terbaik atas kerja kerasnya dan keputusannya untuk mencari perlindungan spiritual lebih awal.

Setelah selesai mandi dan sarapan, Patan memanggil Ingfah.

“Ingfah, putri Ayah. Hari ini, Ayah akan kembali ke pasar. Ingfah mau ikut?” tanya Patan, menguji Ingfah.

Mata Ingfah langsung berbinar. Ia mengangguk kencang.

“Tapi ingat janji kita, Sayang?” Patan mengingatkan dengan lembut.

“Jika ada yang membuat Ingfah takut, jangan berteriak atau memukul. Ingfah harus pejamkan mata dan ulangi doa dari Biksu Agung, ya.”

Ingfah mengangguk dengan serius, menunjukkan ia mengerti tugasnya. Patan memakaikan topi lebar pada Ingfah, dan dengan hati-hati meletakkannya di atas gerobak hasil kebun. Hari ini, Ingfah akan kembali menghadapi dunia luar, dengan perlindungan mantra di hati dan kalung di lehernya.

Patan kembali ke pasar dengan gerobak penuh hasil panen, membawa Ingfah yang imut dan cantik. Pipi Ingfah tembam seperti bakpao, matanya biru seperti lautan (efek samar dari keindigoannya), kulitnya putih, dan rambutnya hitam. Patan memastikan Ingfah duduk nyaman di gerobak, mengingatkannya lagi tentang janji mereka.

Awalnya, Ingfah patuh. Ia duduk diam, menjilati manisan kecil yang dibawanya. Namun, matanya yang sensitif tetap bekerja. Ingfah mulai menoleh, menatap dan tersenyum pada sosok-sosok tak terlihat yang bergerak di antara kerumunan pasar.

Di sudut pasar, ada seorang bibi penjual rempah yang juga memiliki kepekaan spiritual—seorang yang juga dapat melihat. Bibi itu bernama Prik, wanita paruh baya seumuran Bibi Prang.

Bibi Prik memperhatikan Ingfah. Awalnya, ia hanya memperhatikan bagaimana balita itu menatap sesuatu yang orang lain tidak bisa lihat, seolah-olah Ingfah sedang bermain. Bibi Prik tahu Ingfah adalah seorang Indigo.

Tetapi, ia kemudian menyadari bahwa sosok yang mendekati Ingfah kali ini terlalu kuat dan memiliki aura yang gelap untuk anak sekecil itu. Roh itu bukan roh biasa di pasar, melainkan roh yang sengaja mendekat karena energi istimewa Ingfah.

Bibi Prik, dengan cepat, mendekat ke gerobak Patan. Saat ia berjalan, ia merapal doa perlindungan. Doa itu tidak didengar oleh telinga manusia, tetapi sangat jelas didengar oleh makhluk tak kasat mata itu. Roh gelap itu sontak menjauh dari Ingfah.

Bibi Prik kemudian memberikan sehelai bunga teratai yang ia ambil dari keranjang dagangannya, untuk menenangkan balita indigo itu.

“Anak manis, siapa namamu? Jangan takut, mereka tidak akan jahat padamu,” kata Bibi Prik dengan suara lembut, menenangkan Ingfah yang mulai terlihat sedikit tegang karena kehadiran roh gelap tadi.

Ingfah menerima bunga teratai itu, dan aura ketenangan dari Prik serta bunga itu membuat Ingfah langsung tersenyum dan rileks.

Patan yang melihat putrinya bicara dengan orang asing segera menghampiri. Patan ingat pesannya untuk tidak bicara pada orang asing.

“Maaf, Bibi ini siapa?” tanya Patan sopan, sedikit khawatir.

Bibi Prik tersenyum ramah.

“Nama saya Prik, Nak. Saya menjual rempah di sana. Putrimu sangat istimewa,” ucap Bibi Prik tanpa menyebut kata indigo, menyiratkan pemahaman yang mendalam.

Patan langsung mengerti. Wanita ini bukanlah orang asing biasa. Ia adalah seseorang yang berbagi rahasia yang sama. Wajah Patan yang tegang menjadi sedikit lega, menemukan seseorang yang mungkin mengerti beban Ingfah.

“Terima kasih sudah menjaga putri saya, Bibi Prik,” ujar Patan tulus. “Dia memang… sedikit berbeda.”

“Dia bukan berbeda, Nak Patan. Dia istimewa. Dan dia membutuhkan teman yang mengerti keistimewaannya,” jawab Bibi Prik, menatap Ingfah dengan mata penuh pengertian.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!