Di pinggiran hutan Jawa yang pekat, terdapat sebuah desa yang tidak pernah muncul dalam peta digital mana pun. Desa Sukomati adalah tempat di mana kematian menjadi industri, tempat di mana setiap helai kain putih dijahit dengan rambut manusia dan tetesan darah sebagai pengikat sukma.
Aris, seorang pemuda kota yang skeptis, pulang hanya untuk mengubur ibunya dengan layak. Namun, ia justru menemukan kenyataan bahwa sang ibu meninggal dalam keadaan bibir terjahit rapat oleh benang hitam yang masih berdenyut.
Kini, Aris terjebak dalam sebuah kompetisi berdarah untuk menjadi Penjahit Agung berikutnya atau kulitnya sendiri akan dijadikan bahan kain kafan. Setiap tusukan jarum di desa ini adalah nyawa, dan setiap motif yang terbentuk adalah kutukan yang tidak bisa dibatalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: Jeritan dari Dalam Gulungan Kain
Saat wajah wanita itu terlihat jelas, Aris tersentak karena wajah itu sangat mirip dengan wajah Sekar Wangi yang sedang berdiri di sampingnya. Aris Mardian mencoba mundur, namun penglihatan masa lalu itu seolah mengunci kakinya tepat di atas tanah yang mulai melunak. Wanita di dalam gulungan kain itu menatap Aris dengan mata yang penuh dengan air mata darah, sementara jemarinya yang terjahit terus mencakar permukaan kain mori.
"Sekar, menjauhlah dari gulungan itu sekarang juga!" teriak Aris sambil menarik paksa pundak temannya.
"Ada apa Aris? Mengapa kamu menatapku seolah aku adalah hantu yang sangat menakutkan?" tanya Sekar Wangi dengan wajah yang dipenuhi kebingungan.
Sekar tidak bisa melihat apa yang dilihat oleh Aris karena penglihatan itu hanya ditujukan bagi mereka yang memiliki darah keluarga Mardian. Di mata Sekar, gulungan kain itu hanyalah tumpukan kain tua yang kotor dan berbau tanah makam yang sangat menyengat. Namun bagi Aris, setiap gerakan wanita di dalam kain itu adalah pertanda bahwa maut sedang mengincar nyawa Sekar secara langsung.
"Wanita itu... dia memiliki wajahmu, Sekar! Dia sedang berusaha keluar dari dalam sana!" ucap Aris dengan napas yang memburu dan tidak beraturan.
"Itu tidak mungkin, Aris! Aku berdiri di sini bersamamu, tidak mungkin aku ada di dalam kain itu!" balas Sekar sambil mencoba memegang dahi Aris yang terasa sangat dingin.
Tiba-tiba, jeritan yang sangat melengking pecah dari pusat gulungan kain tersebut, menggetarkan seluruh udara di lapangan ritual yang sudah hancur. Gulungan mori itu mulai berputar dengan sangat cepat, menciptakan pusaran angin yang dipenuhi oleh ribuan jarum jahit yang sudah berkarat. Aris melihat tangan-tangan yang terjahit mulai bermunculan dari sela-sela lipatan kain, mencoba meraih kaki Sekar untuk ditarik masuk ke dalam kegelapan.
"Sekar, gunakan ramuan pengusir arwahmu sekarang! Cepat!" perintah Aris sambil melindungi wajahnya dari badai jarum.
"Tas obatku tertimbun reruntuhan panggung, Aris! Aku tidak punya apa-apa lagi kecuali pisau bedah ini!" jawab Sekar dengan nada yang mulai putus asa.
Aris segera mengambil alih kendali sebagai seorang perancang bangunan yang terbiasa menghitung keseimbangan beban dan ruang. Ia menyadari bahwa gulungan kain itu berputar mengikuti arah jarum jam yang terbalik, sebuah pola yang digunakan untuk memutar waktu atau memanggil kembali kejadian masa lalu. Untuk menghentikan putaran maut tersebut, ia harus memberikan beban yang sangat berat tepat di titik sumbu putarannya agar mekanisme gaib itu menjadi macet.
"Pegang tanganku, Sekar! Kita harus melompat ke tengah pusaran itu untuk memutus simpul utamanya!" seru Aris dengan keberanian yang dipaksakan.
"Kamu gila, Aris! Jika kita melompat ke sana, tubuh kita akan tercacah oleh ribuan jarum yang berputar itu!" teriak Sekar sambil berusaha menahan tubuhnya agar tidak terseret angin.
Aris tidak memiliki waktu lagi untuk berdebat karena ia melihat benang-benang hitam mulai keluar dari mata wanita di dalam penglihatan tersebut. Benang itu melesat seperti anak panah, mengincar jantung Sekar yang sedang berdiri dalam posisi yang sangat terbuka dan lemah. Tanpa pikir panjang, Aris melemparkan tubuhnya ke arah Sekar, memeluknya erat sambil berguling masuk ke dalam pusat gulungan kain yang sedang berdenyut.
Rasa sakit yang luar biasa menghujam seluruh tubuh Aris saat ribuan jarum mulai merobek pakaian dan kulit punggungnya secara bersamaan. Di dalam gulungan kain tersebut, ia tidak menemukan kegelapan, melainkan sebuah ruang luas yang dipenuhi oleh ribuan cermin yang memantulkan wajah-wajah orang mati. Aris melihat wanita yang mirip Sekar itu kini berdiri tepat di hadapannya, memegang sebuah jarum perak besar yang diarahkan ke tenggorokan Sekar yang asli.
"Berikan aku kehidupanmu, wahai cucu dari bidan yang telah menjahit bibirku!" suara wanita itu terdengar seperti gesekan kain yang sangat tajam.
"Lepaskan dia! Ambil nyawaku jika itu memang bisa memuaskan dendammu!" tantang Aris sambil mencoba berdiri di atas lantai yang terbuat dari tumpukan rambut.
Wanita itu tertawa, sebuah suara yang sangat mengerikan karena berasal dari kerongkongan yang dipenuhi oleh potongan benang merah. Ia mengayunkan jarum peraknya, namun Aris berhasil menangkisnya menggunakan potongan linggis yang masih ia genggam dengan sangat erat. Benturan itu menciptakan gelombang kejut yang memecahkan ribuan cermin di sekeliling mereka, menyingkap kebenaran tentang siapa sebenarnya wanita di dalam kain tersebut.
"Dia bukan manusia, Aris! Dia adalah bayangan dari dosa besar yang dilakukan oleh keluarga kita di masa lalu!" teriak Sekar yang kini tersadar akan situasi yang terjadi.
"Dosa itu harus berakhir di sini, Sekar! Jangan biarkan dia menyentuh darahmu sedikit pun!" balas Aris sambil terus menyerang sosok tersebut.
Aris menyadari bahwa setiap kali ia menyerang sosok wanita itu, Sekar juga merasakan sakit yang sama di bagian tubuh yang ia lukai. Ini adalah jebakan jahat yang mengikat nyawa korban dengan bayangan kutukannya, sehingga membunuh bayangan itu sama saja dengan membunuh orang yang dicintai. Aris harus menemukan cara untuk memisahkan benang pengikat antara Sekar dan sosok wanita yang memiliki wajah serupa tersebut.
"Sekar, ingatkah kamu pada ajaran kakekmu tentang cara memutus ikatan batin melalui air suci?" tanya Aris sambil terus menghindari serangan jarum perak.
"Aku ingat, tapi kita tidak memiliki air suci di tempat terkutuk seperti ini, Aris!" jawab Sekar sambil memegangi perutnya yang mulai terasa sakit.
Aris melihat ke arah pergelangan tangannya sendiri yang masih mengeluarkan darah dari bekas luka jarum emas yang patah tadi. Ia teringat bahwa darah seorang pengkhianat sumpah memiliki sifat yang murni sekaligus menghancurkan bagi segala jenis ikatan gaib. Dengan sisa tenaga yang ada, Aris mengoleskan darahnya sendiri ke mata Sekar dan ke dahi sosok wanita yang sedang menyerang mereka.
Cahaya putih yang sangat terang meledak di dalam ruangan cermin tersebut, membakar segala jenis benang yang mengikat nyawa mereka berdua. Sosok wanita itu menjerit kesakitan saat wajahnya mulai meleleh seperti lilin yang terbakar, menyingkap wajah aslinya yang sangat mengerikan dan penuh luka jahitan. Gulungan kain mori itu mulai robek dari dalam, melemparkan Aris dan Sekar kembali ke permukaan tanah yang keras dan dingin.
Aris terbangun dengan napas yang terengah-engah, melihat Sekar pingsan di sampingnya dengan wajah yang sangat pucat. Ia mencoba bangkit, namun ia menyadari bahwa tangan kirinya kini sudah tidak bisa digerakkan sama sekali karena tertutup oleh lapisan kain putih yang tumbuh dari dalam dagingnya. Di depan mereka, gundukan kain yang tadi hancur kini telah menghilang, digantikan oleh sesosok pria tua yang sedang duduk tenang sambil menjahit sebuah boneka kain kecil.
"Selamat datang di babak baru, Aris Mardian, sekarang saatnya kamu bertemu dengan Sekar Wangi yang sebenarnya," ucap pria tua itu dengan senyum yang sangat misterius.
"Selamat datang di babak baru, Aris Mardian, sekarang saatnya kamu bertemu dengan Sekar Wangi yang sebenarnya," ucap pria tua itu dengan senyum yang sangat misterius.