Intan Puspita Dewi (17) tidak pernah membayangkan masa mudanya akan berakhir di meja akad nikah. Lebih parah lagi, laki-laki yang menjabat tangan ayahnya adalah Argantara Ramadhan—dosen paling dingin, killer, dan ditakuti di kampus tempatnya baru saja diterima.
Sebuah perjodohan konyol memaksa mereka hidup dalam dua dunia. Di rumah, mereka adalah suami istri yang terikat janji suci namun saling membenci. Di kampus, mereka adalah dosen dan mahasiswi yang berpura-pura tak saling kenal.
"Jangan pernah berharap aku menganggap ini pernikahan sungguhan," ucap Arga dingin.
Namun, sekuat apa pun mereka menjaga rahasia, tembok pertahanan itu perlahan retak. Ketika benci mulai terkikis oleh rasa cemburu, dan dinginnya sikap perlahan mencair oleh perhatian, sanggupkah mereka menyangkal bahwa cinta telah hadir di antara skenario sandiwara ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon muliyana setia reza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Drama di Ruang Kesehatan
Matahari Jakarta siang itu seakan tidak menaruh belas kasihan. Panasnya memanggang aspal lapangan utama Universitas Pelita Bangsa hingga udara terasa bergetar. Di tengah luasnya lapangan, Intan Puspita Dewi berdiri sendirian, menjadi tontonan ratusan mahasiswa baru yang sedang beristirahat di tempat teduh.
Tangannya masih terangkat hormat pada bendera merah putih. Sudah satu jam ia dihukum jemur oleh suaminya sendiri. Keringat dingin membasahi punggung kemeja putihnya, membuat kain itu lengket menjijikkan di kulit.
Kepala Intan berdenyut hebat. Pandangannya mulai kabur, menangkap bayangan Argantara di tenda panitia. Pria itu duduk santai, terlihat segar dengan kemeja biru mudanya, sedang berbincang dengan seorang mahasiswi senior. Pemandangan itu membakar hati Intan lebih panas dari matahari di atas kepalanya.
Sialan kamu, Mas Arga, rutuk Intan dalam hati. Kamu benar-benar menikmati ini, kan?
Ia mencoba bertahan, namun tubuhnya menolak. Perutnya kosong melompong. Sejak kejadian kemarin—saat Arga menghina nasi goreng buatannya dan menyuruh membuangnya karena bau terasi—Intan melakukan aksi mogok makan. Rasa sakit hati membuatnya enggan menyentuh dapur apartemen itu lagi.
Tiba-tiba, dunia berputar. Tiang bendera di depannya berubah menjadi bayangan hitam. Kakinya lemas seperti jeli.
Tubuh Intan limbung.
"Eh! Awas!"
Intan tidak merasakan kerasnya aspal. Sebelum tubuhnya menghantam tanah, sepasang lengan kokoh menangkapnya dengan sigap. Kesadarannya pun hilang total.
"Medis! Medis! Ada yang pingsan!"
Argantara yang sedang memegang berkas absensi langsung menoleh. Di dekat tiang bendera, ia melihat pemandangan yang membuat darahnya mendidih seketika.
Seorang laki-laki berjaket almamater kuning—tanda senior panitia—sedang membopong Intan ala bridal style. Laki-laki itu berlari cepat membelah kerumunan menuju poliklinik, wajahnya tampak sangat cemas mendekap tubuh istri sah Arga.
"Siapa itu?" tanya Arga tajam, suaranya memberat.
"Itu Rangga, Pak. Ketua BEM Fakultas sebelah," jawab mahasiswa di sebelahnya.
Rahang Arga mengeras. Ia melihat kepala Intan terkulai lemah di dada bidang Rangga. Pemandangan itu menampar egonya sebagai suami. Meskipun ia yang menghukum Intan, melihat laki-laki lain menjadi pahlawan bagi istrinya menciptakan rasa tidak suka yang amat sangat.
"Senior, ambil alih lapangan!" perintah Arga tegas.
Tanpa sadar, langkah kakinya membawanya menjauh dari tenda. Ia berjalan cepat mengikuti arah Rangga pergi, tangannya mengepal di dalam saku celana hingga buku-buku jarinya memutih.
Aroma antiseptik menyengat hidung saat Intan membuka mata. Kepalanya masih pening, tenggorokannya kering kerontang.
"Udah sadar?"
Suara itu terdengar lembut dan ramah. Berbeda jauh dengan suara Arga yang selalu dingin. Intan menoleh lemah. Seorang laki-laki tampan dengan kulit sawo matang dan alis tebal sedang menyodorkan segelas teh hangat.
"Minum dulu. Lo tadi pingsan," ucapnya sambil membantu Intan duduk.
Intan menerima gelas itu dengan tangan gemetar. "Makasih, Kak. Maaf ngerepotin."
"Santai. Gue Rangga," laki-laki itu tersenyum lebar hingga matanya menyipit. "Lo Intan, kan? Tadi gue lihat papan nama lo jatuh pas gue gendong ke sini."
Pipi Intan memanas. Jadi Kakak tingkat ini yang menggendongnya? "Iya, Kak. Intan."
"Lain kali kalau sakit bilang. Dosen pembimbing tahun ini, si Pak Arga itu, emang gila hormat. Kerasnya minta ampun," bisik Rangga sambil terkekeh, seolah mengajak Intan bersekongkol.
Intan hampir tertawa. Ternyata bukan cuma dia yang menganggap Arga gila. Ada rasa hangat menjalar di hatinya. Di tengah hari buruk ini, ada seseorang yang memperlakukannya dengan manusiawi.
"Gue ambilin roti ya, muka lo pucet banget—"
Ceklek!
Pintu terbuka kasar. Argantara berdiri menjulang di ambang pintu. Napasnya sedikit memburu, wajahnya datar namun matanya menatap tajam ke arah tangan Rangga yang masih berada di dekat selimut Intan.
"Pak Arga," sapa Rangga sopan, langsung berdiri tegak. "Mahasiswi ini sudah sadar, Pak."
Arga melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya dengan aura mengintimidasi. Ia menatap Rangga lurus-lurus.
"Terima kasih, Saudara Rangga. Kamu bisa kembali ke pos kamu."
"Tapi Pak, kondisinya masih lemas. Saya mau ambilkan makanan," bantah Rangga halus.
"Saya bilang kembali," potong Arga, suaranya naik satu oktaf. "Saya dosen penanggung jawabnya. Saya yang urus. Atau kamu mau saya laporkan karena meninggalkan pos tugas?"
Rangga terdiam. Ia menatap Intan sekilas dengan pandangan kasihan, lalu mengangguk kaku. "Baik, Pak. Permisi."
Rangga menepuk pelan punggung tangan Intan sebelum keluar—gestur manis yang sukses membuat mata Arga menyipit penuh permusuhan.
Begitu pintu tertutup, keheningan mencekik ruangan.
Arga menarik kursi, memutarnya kasar, lalu duduk menghadap Intan. Ia melipat tangan di dada dengan tatapan menyelidik.
"Sudah puas dramanya?" tanya Arga menusuk.
Intan mendongak kaget. "Maksud Bapak apa?"
Arga tersenyum miring. "Pingsan saat saya memantau. Digendong senior populer. Lalu bermesraan di ruang kesehatan. Skenario yang bagus buat cari perhatian."
"Sengaja?" Suara Intan bergetar hebat. "Mas pikir aku sengaja pingsan? Mas pikir enak hampir mati kepanasan?"
"Kalau tidak sengaja, kenapa selemah ini? Baru dijemur satu jam sudah tumbang," cibir Arga. "Padahal makan kamu terjamin."
"Terjamin apanya?!" Intan meledak. Ia meletakkan gelas dengan kasar hingga airnya tumpah. "Aku belum makan dari pagi, Mas! Perutku kosong!"
"Itu salah kamu tidak sarapan. Manja," balas Arga enteng.
"Aku nggak sarapan karena trauma!" Intan menatap Arga nyalang. Air matanya mulai menggenang. "Mas lupa kejadian kemarin? Mas hina nasi goreng buatanku! Mas bilang baunya bikin pusing dan nyuruh buang semuanya! Gara-gara omongan jahat Mas itu, aku males ke dapur! Aku males makan!"
Napas Intan tersengal. "Dan sekarang Mas tuduh aku cari perhatian? Demi Tuhan, aku lebih milih pingsan sendirian di aspal daripada ditolong orang lain tapi ujungnya dihina suami sendiri!"
Arga terdiam. Kata-kata Intan menohoknya telak. Ia ingat betul kejadian kemarin pagi dan kalimat pedasnya soal bau terasi. Ia tidak menyangka efeknya sampai sejauh ini.
Ada rasa bersalah menyelinap, tapi egonya terlalu tinggi. Apalagi bayangan tangan Rangga di bahu Intan tadi masih membakar benaknya.
"Mas Arga cemburu kan?" tembak Intan tiba-tiba.
Wajah Arga menegang kaku.
"Jangan mimpi," elak Arga cepat, telinganya memerah. "Saya hanya tidak suka melihat istri saya pelukan dengan laki-laki asing. Itu memalukan. Murahan."
Satu kata terakhir itu menghantam Intan lebih keras dari tamparan fisik. Air matanya tumpah deras.
"Keluar," ucap Intan lirih.
"Apa?"
"KELUAR!" teriak Intan histeris, melempar bantal ke wajah Arga.
Arga menangkis bantal itu, lalu berdiri merapikan jasnya, berusaha mempertahankan wibawa.
"Bagus. Tenaga kamu sudah balik," ucapnya dingin, menyembunyikan kekalutan. "Lima menit lagi supir kantor jemput kamu lewat pintu belakang. Saya tidak mau kamu pulang bareng Rangga-Rangga itu."
Arga berjalan ke pintu, lalu berhenti sejenak tanpa menoleh. "Besok saya pesankan katering. Jadi kamu tidak punya alasan pingsan lagi."
Pria itu keluar, meninggalkan Intan yang menangis sesenggukan memeluk lutut.
Di balik pintu, Argantara bersandar di dinding koridor. Ia memejamkan mata, menghela napas berat. Hatinya berkecamuk antara rasa bersalah dan emosi asing yang tak mau ia akui sebagai cemburu.
"Sial," umpatnya pelan. "Kenapa gue harus sekesal ini?"
Hari itu, kehadiran Rangga Pangestu resmi menyiramkan bensin ke dalam api permusuhan—dan perasaan terpendam—di antara mereka berdua.
makan tuh gengsi Segede gaban😄