NovelToon NovelToon
Mantan Calon Istri Yang Kamu Buang Kini Jadi Jutawan

Mantan Calon Istri Yang Kamu Buang Kini Jadi Jutawan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Bepergian untuk menjadi kaya / Bullying dan Balas Dendam / Balas dendam pengganti / Balas Dendam
Popularitas:836
Nilai: 5
Nama Author: Savana Liora

​Satu surat pemecatan. Satu undangan pernikahan mantan. Dan satu warung makan yang hampir mati.

​Hidup Maya di Jakarta hancur dalam semalam. Jabatan manajer yang ia kejar mati-matian hilang begitu saja, tepat saat ia memergoki tunangannya berselingkuh dengan teman lama sekaligus rekan sekantornya. Tidak ada pilihan lain selain pulang ke kampung halaman—sebuah langkah yang dianggap "kekalahan total" oleh orang-orang di kampungnya.

​Di kampung, ia tidak disambut pelukan hangat, melainkan tumpukan utang dan warung makan ibunya yang sepi pelanggan. Maya diremehkan, dianggap sebagai "produk gagal" yang hanya bisa menghabiskan nasi.

​Namun, Maya tidak pulang untuk menyerah.

​Berbekal pisau dapur dan insting bisnisnya, Maya memutuskan untuk mengubah warung kumuh itu menjadi katering kelas atas.

​​Hingga suatu hari, sebuah pesanan besar datang. Pesanan katering untuk acara pernikahan paling megah di kota itu. Pernikahan mantan tunangannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

​Bab 11: Sabotase di Pasar Pagi

​"Daging sapinya mana, Kang? Kok kosong melompong begini lapaknya?"

​Maya berdiri di depan kios Kang Maman, tukang daging langganan ibunya sejak sepuluh tahun lalu. Padahal ini masih sangat subuh, tapi etalase kaca yang biasanya penuh dengan gantungan daging paha dan has dalam itu sudah bersih, hanya menyisakan beberapa potong lemak yang menempel di pengait besi.

​Kang Maman tidak berani menatap mata Maya. Dia sibuk mengelap talenan kayunya yang sudah bersih dengan gerakan yang kaku. "Waduh, Neng Maya. Telat sedikit saja tadi. Borongan, Neng. Ada orang datang pakai mobil boks, diborong semua sampai tulang-tulangnya."

​"Semuanya? Sebanyak itu?" Maya mengernyit, perasaannya mulai tidak enak. "Siapa yang borong?"

​"Katanya buat acara katering besar perusahaan makanan... apa itu namanya, Pratama Food kalau nggak salah. Mereka bayar tunai, Neng. Harganya juga di atas pasar. Saya ya mana bisa nolak kalau rezeki datangnya segepok begitu," gumam Kang Maman sambil tetap menunduk, menghindari tatapan kecewa Maya.

​Maya mengepalkan tangan di samping paha. Siska benar-benar tidak main-main dengan ancamannya di telepon kemarin. Dia melangkah cepat ke kios seberang, tempat Mbak Siti jualan ayam potong.

​"Mbak Siti, ayamnya ada?"

​Mbak Siti malah buang muka sambil memasukkan pisau-pisaunya ke dalam kotak peralatan. "Habis, May. Sama kayak Kang Maman, sudah ada yang bayar lunas dari semalam. Jangan tanya-tanya lagi ya, saya lagi pusing mau tutup lapak lebih pagi."

​Maya berjalan menyusuri lorong Pasar Dharma Raya yang becek. Dia mencoba ke tukang bumbu, tukang cabai, bahkan ke pengepul sayur mayur. Jawabannya seragam: stok sudah habis diborong perusahaan Pratama Food. 

Jelas sekali Siska ingin memutus jalur logistiknya supaya Maya tidak punya bahan untuk latihan kompetisi, apalagi untuk menang di Festival Bumi Lestari.

​"Oalah, May! Masih pagi sudah keliling pasar kayak setrikaan, tapi kok keranjangnya kosong?"

​Suara melengking Tante Rosa terdengar dari arah belakang. Dia sedang menenteng tas belanjaan penuh berisi daging dan sayuran segar. Di lehernya melingkar syal bulu palsu yang terlihat sangat gerah dipakai di pasar yang lembab ini.

​"Lagi cari apa? Daging? Ayam? Duh, kasihan ya. Tante denger ada perusahaan gede lagi borong semua bahan di pasar ini buat proyek nasional. Kamu yang cuma punya modal pas-pasan mana bisa saingan sama mereka," Tante Rosa tertawa sambil memamerkan gelang emasnya yang beradu.

​"Tante tahu siapa yang borong?" tanya Maya dingin.

​"Ya tahu dong! Keluarganya Siska, pemilik Pratama Food. Orang kaya mah bebas, May. Mau borong pasar sampai ke pedagang-pedagangnya juga bisa. Makanya, kalau mau saingan itu lihat-lihat lawan. Sudah dibilangin mending kerja cuci piring saja di nikahan Siska, dapet duit pasti. Daripada sok sibuk mau ikut lomba tapi bahan masakannya saja nggak punya."

​Maya tidak menanggapi. Entah darimana wanita ini tahu informasi secepat itu, tapi Maya tak peduli. 

Dia menatap Tante Rosa dengan pandangan datar. "Tante sudah selesai belanjanya? Kalau sudah, minggir sedikit. Tante menghalangi jalan orang yang mau kerja."

​"Dih, disaranin malah nyolot! Awas ya kamu nanti nangis-nangis di dapur karena cuma punya garam sama air doang buat dimasak!" Tante Rosa menghentakkan kakinya dan pergi dengan gaya angkuh yang dibuat-buat.

​Maya menarik napas panjang. Dia duduk sejenak di bangku kayu panjang milik penjual jamu yang belum buka. Otaknya berputar cepat. 

Siska pikir dengan menguasai pasar ini, Maya akan mati kutu. Tapi Siska lupa satu hal: Maya tumbuh besar di dapur warung ini. Dia tahu rahasia yang tidak diketahui anak manja seperti Siska.

​Maya bangkit, dia tidak menuju gerbang depan pasar. Dia justru masuk lebih dalam, melewati los ikan asin sampai ke area belakang yang kumuh, tempat para ibu-ibu buruh panggul sering berkumpul untuk sarapan.

​"Mak Minah! Masih ingat Maya?" Maya menyapa seorang wanita tua yang sedang mengunyah sirih di pojokan.

​Wanita itu mendongak, matanya yang sudah rabun menyipit menembus remang subuh. "Eh, anak Bu Sum ya? Yang kerja di kota itu?"

​"Iya Mak. Maya butuh bantuan. Maya butuh pasokan daging dan sayur yang nggak lewat pengepul pasar. Mak masih punya kontak orang-orang di Desa Cigombong yang pelihara sapi mandiri?"

​Mak Minah terkekeh, memperlihatkan giginya yang kemerahan. "Oalah, cari jalur belakang toh? Ada, May. Ada Kang Jaja. Dia punya sapi sendiri, nggak mau jual ke tengkulak Pratama itu karena harganya sering ditekan. Kalau sayuran, kamu ke kebun Pak Haji di kaki bukit saja. Mereka lagi panen sawi sama cabai, tapi nggak dibawa ke sini karena dipalak preman pasar."

​"Bisa antar Maya kesana sekarang, Mak?"

​"Bisa. Tapi kamu kuat jalan kaki lewat pematang sawah? Mobil nggak bisa masuk sana, ojek juga mikir dua kali kalau musim hujan begini."

​"Kuat, Mak. Jangankan jalan kaki, merangkak pun Maya jabanin asal bisa dapet bahan," jawab Maya mantap.

​Selama beberapa jam, Maya mengikuti Mak Minah. Mereka tidak lewat jalan raya, tapi lewat jalur tikus di belakang pasar yang menembus ke perkebunan warga di pinggiran kabupaten. 

Di sana, Maya menemukan harta karun. Daging sapi yang jauh lebih segar karena baru dipotong secara mandiri, dan sayuran yang warnanya hijau pekat, tidak layu karena terkena panas boks mobil.

​Maya bernegosiasi langsung dengan para petani. Tanpa perantara, harganya malah lebih murah. Dia mengambil cabai merah keriting yang warnanya sangat cerah, daging has dalam yang masih hangat, dan rempah-rempah yang aromanya sangat kuat.

​"Ini baru bahan juara," bisik Maya. Dia menata belanjaannya ke dalam tiga keranjang bambu besar yang dipinjamkan oleh Pak Haji. "Siska boleh kuasai pasar, tapi dia nggak akan bisa kuasai tanah Cigombong."

​Namun, masalah baru muncul. Keranjang belanjaannya sekarang ada tiga buah, semuanya berat karena berisi daging dan sayur mayur yang melimpah. Mak Minah sudah pamit pulang lebih dulu karena harus mulai bekerja mengangkut barang di sisi lain desa. Maya kini berdiri sendirian di pinggir jalan desa yang sepi, menatap tiga keranjang besarnya dengan bingung.

​Dia mencoba menepi, keringatnya bercucuran membasahi kaos oblongnya yang kini kusam terkena debu jalanan. Bahunya terasa mau copot setiap kali mencoba mengangkat keranjang itu secara bergantian. Saat dia sedang mengatur posisi untuk menggendong salah satu keranjang, suara deru mesin motor terdengar mendekat.

​Sebuah motor matic hitam yang terlihat masih baru berhenti tepat di depannya. Pengendaranya memakai kaos polo biru gelap, celana jeans, dan helm hitam. Gayanya sangat santai, sangat jauh dari kesan pria kantoran yang kaku.

​Begitu pengendara itu membuka kaca helmnya, Maya nyaris menjatuhkan bungkusan cabainya.

​"Arlan?"

​Arlan mematikan mesin motornya. Dia menatap Maya yang tampak sangat berantakan dengan noda tanah di celana dan peluh di seluruh wajah. 

​"Kamu belanja ke kebun warga?" tanya Arlan. Suaranya terdengar heran namun tetap tenang.

​"Iya. Di pasar semua diborong orang suruhan Pratama Food katanya. Kok kamu bisa ada di sini? Pakai motor matic lagi?" Maya memperhatikan motor sewaan itu dengan saksama.

​”Tadi pagi asisten saya lapor, dia bilang ada pihak kompetitor yang memborong pasar. Saya curiga ini gangguan buat proyek katering kita. Atau apalah. Saya cari kamu ke pasar, orang-orang bilang kamu pergi ke arah Cigombong sama buruh panggul. Karena mobil saya nggak bisa masuk jalur tikus, saya sewa motor ini di dekat sini," Arlan menjelaskan dengan lugas. 

​Maya terdiam. Pria ini mencarinya sampai ke pelosok desa hanya karena khawatir soal bahan masakan?

​"Kamu nggak usah repot-repot begini, Arlan. Ini urusan saya."

​"Ini urusan bisnis saya juga. Kalau kamu nggak dapet bahan, kamu nggak bisa latihan, kamu nggak menang lomba, dan saya nggak dapet kontrak katering terbaik," Arlan turun dari motor. Tanpa banyak bicara, dia langsung mengangkat keranjang belanjaan Maya yang paling berat.

​"Eh, berat itu! Nanti baju mahalmu kotor!" seru Maya.

​Arlan mengangkatnya dengan mudah seolah keranjang itu isinya cuma kapas. Dia menaruhnya di sela kaki motor matic, lalu mengambil dua keranjang sisa dan mengikatnya di jok belakang dengan cekatan menggunakan tali karet.

​"Ayo naik," Arlan menoleh ke arah Maya.

​"Naik? Motornya sempit, Arlan."

​"Masih ada sisa sedikit di belakang untuk kamu duduk. Pegangan saja ke bahu saya kalau takut jatuh. Saya bantu angkut belanjanya sampai warung. Lagipula, nggak ada angkutan desa lewat sini jam begini."

​Maya akhirnya naik, duduk menyamping di ujung jok yang tersisa. Tangannya ragu-ragu memegang pundak Arlan yang kokoh. Aroma parfum cendana itu masih ada, kini bercampur dengan aroma angin pagi desa yang segar.

​"Sudah?" tanya Arlan.

​"Sudah."

​Motor matic itu melaju perlahan menyusuri jalanan desa yang bergelombang. Maya terpaksa berpegangan lebih erat saat motor melewati lubang-lubang kecil. Di tengah rasa lelahnya, dia merasa sedikit tenang. Ada seseorang yang berdiri di pihaknya saat dunia terasa sedang memusuhinya.

​Namun, saat motor mulai memasuki area jalan raya menuju kampungnya, Maya melihat mobil sedan putih Adit terparkir lagi di depan warung ibunya. Pria itu tampak sedang mondar-mandir di depan pagar dengan wajah gelisah.

1
Ma Em
Semangat Maya semoga masalah yg Maya alami cepat selesai dan usaha kateringnya tambah sukses .
Savana Liora: terimakasih udah mampir ya kk
total 1 replies
macha
kak semangat💪💪
Savana Liora: hi kak. makasih ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!