Dibuang ke neraka Red Line dengan martabat yang hancur, Kaelan—seorang budak manusia—berjuang melawan radiasi maut demi sebuah janji. Di atas awan, Putri Lyra menangis darah saat tulang-tulangnya retak akibat resonansi penderitaan sang kekasih. Dengan sumsum tulang yang bermutasi menjadi baja dan sapu tangan Azure yang mengeras jadi senjata, Kaelan menantang takdir. Akankah ia kembali sebagai pahlawan, atau sebagai monster yang akan meruntuhkan langit demi menagih mahar nyawanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21: Ekspedisi Abyss
Bau besi berkarat dan hawa kematian dari Celah Void merayap naik, mencabik sisa kehangatan yang tertinggal di Garis Merah. Kaelan melangkah dengan tungkai yang bergetar, namun dekapan tangannya pada tubuh Lyra tidak melonggar sedikit pun. Di belakangnya, sisa-sisa Legiun Karang bergerak dalam kesunyian yang mencekam, membawa luka-luka mereka melewati salju abu yang kini menghitam terkena polusi energi Abyss.
"Komandan, kavaleri Alaric sudah mencapai perbatasan sektor utara. Jika kita tidak segera turun ke celah, mereka akan mengunci kita di bibir jurang ini," lapor Bara dengan suara rendah, matanya yang lelah terus memantau cakrawala yang mulai dipenuhi bintik cahaya obor pengejar.
Kaelan tidak menoleh. Ia menatap lurus ke arah lubang raksasa di depan mereka yang seolah-olah merupakan luka terbuka pada permukaan dunia. "Kita tidak punya pilihan. Kembali ke pilar berarti hukuman mati bagi kalian semua, dan aku tidak akan membiarkan Lyra jatuh lagi ke tangan bajingan itu."
"Tapi Kaelan, Celah Void ini... belum ada manusia yang kembali dalam keadaan waras setelah masuk sedalam itu tanpa pemurnian tingkat Sovereign," Mina menyela sembari membenahi tas medisnya yang kusam.
"Aku bukan lagi manusia biasa, Mina," sahut Kaelan dingin. Ia menatap tangan kanannya yang kini dibalut kulit baru yang tipis namun berkilau perak. "Dan dia... dia bukan lagi Putri yang bisa mereka lindungi."
Lyra merintih dalam tidurnya. Kelopak matanya bergetar hebat, dan sebaris keringat dingin membasahi keningnya. Melalui jalur penderitaan yang menghubungkan jiwa mereka, Kaelan merasakan sesuatu yang lebih mengerikan daripada rasa sakit fisik. Ada suara-suara ribuan entitas yang berbisik di dalam batin Lyra, sebuah frekuensi gelap yang membuat jantung Kaelan berdenyut perih.
"Kaelan... dingin..." igau Lyra pelan, jemarinya mencengkeram jubah kotor Kaelan dengan sisa tenaga yang ada.
"Aku di sini, Lyra. Aku tidak akan melepaskanmu," bisik Kaelan, mendekatkan wajahnya ke telinga Lyra agar suaranya bisa menembus kabut halusinasi wanita itu.
"Jangan dengarkan mereka... Kaelan, suara itu... mereka memanggilku Putri Terkutuk..." Lyra terisak tanpa membuka mata, air mata merembes keluar dan segera menguap menjadi asap ungu tipis saat menyentuh udara Celah Void.
"Siapa yang memanggilmu? Katakan padaku!" Kaelan mendesak, batinnya mulai terseret ke dalam pusaran energi yang sama.
"Ibu... Ibu bilang gerbangnya harus ditutup... atau mahar nyawamu akan diambil oleh mereka..."
Kaelan tertegun. Mahar nyawa? Istilah itu terasa asing sekaligus akrab, seperti sebuah memori yang belum sempat lahir. Ia teringat pada secarik kertas kusam yang diberikan Martha—pelayan setia Lyra—saat kekacauan di tiang cambuk tadi. Dengan tangan kirinya, ia meraba saku dadanya dan mengeluarkan lipatan kertas yang sudah rapuh itu.
"Apa itu, Komandan?" tanya Jiro yang sejak tadi berjalan di sisi kiri mereka.
"Surat dari masa lalu Lyra yang sengaja disembunyikan keluarganya," jawab Kaelan sembari membuka lipatan kertas itu dengan sangat hati-hati, seolah kertas itu bisa hancur hanya karena hembusan napas.
Di bawah cahaya remang kristal mana yang dibawa Bara, tulisan tangan yang halus namun tegas terlihat di sana. Itu adalah surat dari mendiang Ibu Lyra, seorang wanita yang konon menghilang di Celah Void bertahun-tahun silam.
Untuk putriku yang membawa beban langit di matanya. Jika kau membaca ini, berarti kau telah bertemu dengan pria yang mampu merasakan rasa sakitmu. Jangan takut pada kegelapan di matamu, Lyra. Cursed Eye bukanlah kutukan, melainkan kunci. Namun ingatlah, setiap kunci menuntut mahar. Mahar nyawa bagi mereka yang berani mencintai sang pembawa kutukan.
"Mahar nyawa..." Kaelan menggumamkan kata itu dengan rahang yang mengeras. "Jadi ini alasan Valerius begitu takut padamu? Bukan karena kau lemah, tapi karena kau adalah ancaman bagi tatanan yang mereka bangun?"
"Komandan! Gempa mana!" teriak Bara tiba-tiba.
Tanah di bawah kaki mereka berguncang hebat. Retakan-retakan kecil mulai muncul, mengeluarkan uap hitam yang berbau belerang dan keputusasaan. Oksigen di sekitar mereka mendadak terasa menipis, membuat para prajurit manusia mulai terbatuk-batuk dan berlutut karena sesak.
"Mina! Bagikan masker filter debu yang kita ambil dari gudang pilar!" perintah Kaelan sembari memperkuat kuda-kuda kakinya agar tidak terjatuh bersama Lyra.
"Sudah habis, Kaelan! Filter itu hanya bertahan untuk pilar, bukan untuk kedalaman Abyss seperti ini!" Mina berteriak di tengah gemuruh suara bumi yang terbelah.
Kaelan memejamkan mata, ia memaksakan energi Spark 9 miliknya untuk keluar bukan sebagai senjata, melainkan sebagai kubah pelindung. Aura perak mulai menyelimuti Legiun Karang, mencoba menetralkan tekanan atmosfer yang menghancurkan paru-paru. Namun, setiap detiknya, energi Kaelan terkuras dengan kecepatan yang mengerikan.
"Gunakan energiku, Kaelan... ambil saja..." bisik Lyra, tiba-tiba matanya terbuka.
Mata kiri Lyra tidak lagi berwarna bening. Pupilnya telah menghilang, digantikan oleh pusaran ungu gelap yang seolah-olah merupakan miniatur dari Celah Void itu sendiri. Cahaya dari mata itu menembus kabut, menunjukkan sebuah jalan setapak kuno yang tersembunyi di balik dinding tebing jurang.
"Mata itu... Lyra, kau sadar?" Kaelan menatapnya dengan campuran rasa ngeri dan lega.
"Suara itu bukan memanggilku untuk membunuhmu, Kaelan," Lyra menatap ke arah kedalaman Abyss dengan pandangan kosong. "Mereka memanggilku pulang. Mereka tahu aku adalah bagian dari mereka."
"Kau bukan bagian dari monster-monster itu!" bentak Kaelan, suaranya menggelegar mengalahkan suara gempa. "Kau adalah Lyra Elviana. Kau adalah wanita yang memilih dicambuk daripada melihatku hancur! Jangan biarkan bisikan itu mengambil jati dirimu!"
"Tapi rasanya sangat akrab, Kaelan... seperti pelukan yang sudah lama hilang," Lyra mengulurkan tangannya ke arah jurang, jari-jarinya bergetar seolah ingin menyentuh kegelapan.
Kaelan menangkap tangan Lyra, menggenggamnya begitu erat hingga buku jari mereka memutih. "Jika kau harus masuk ke sana, maka aku akan menjadi rantai yang menarikmu kembali. Kita masuk bersama, atau kita mati bersama di sini."
"Komandan, kavaleri Elf sudah terlihat di puncak bukit! Mereka melepaskan panah sihir!" teriak Jiro panik.
Ratusan anak panah dengan cahaya keemasan meluncur dari langit, menerangi kegelapan malam seperti hujan meteor yang mematikan. Panah-panah itu tidak ditujukan untuk membunuh, melainkan untuk melumpuhkan gerakan mereka agar bisa ditangkap hidup-hidup.
"Semuanya, turun ke jalan setapak yang ditunjukkan Lyra! Sekarang!" Kaelan memberikan komando mutlak.
Bara memimpin di depan, menggunakan perisai besarnya untuk menepis panah-panah yang jatuh, sementara Kaelan melompat ke arah jalan setapak yang sempit di dinding jurang sembari tetap mendekap Lyra. Saat kaki mereka menapak di batu yang dingin dan berlendir, sebuah getaran frekuensi rendah menghantam batin mereka semua.
"Putri Terkutuk... selamat datang di rahim kehancuran..."
Suara itu bergema begitu kuat hingga beberapa prajurit manusia jatuh pingsan dengan telinga yang mengeluarkan darah. Kaelan merasakan sumsum tulangnya mendingin, seolah-olah energi peraknya sedang ditarik paksa oleh gravitasi Abyss yang lapar.
"Jangan dengarkan! Fokus pada langkah kaki kalian!" Kaelan berteriak, keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.
Di dalam dekapan Kaelan, Lyra mulai mengejang. Kulit punggungnya yang terluka akibat cambuk api Alaric mulai mengeluarkan cahaya ungu. Luka-luka itu tidak sembuh, melainkan bermutasi, menyerap energi Void di sekitar mereka untuk memperkuat daya tahan tubuh Lyra secara tidak alami.
"Sakit... Kaelan... di dalam punggungku... ada sesuatu yang merayap..." Lyra merintih, wajahnya memucat hingga hampir transparan.
"Itu hanya efek mana, Lyra. Tahanlah. Mina akan mengobatimu begitu kita menemukan tempat yang aman," dusta Kaelan, karena ia tahu betul bahwa apa yang terjadi pada Lyra jauh melampaui alkimia medis mana pun.
"Jangan berbohong padaku, Kaelan. Aku bisa merasakan detak jantungmu yang ketakutan," Lyra menyandarkan kepalanya di bahu Kaelan, air matanya kini berwarna ungu pekat. "Surat Ibu benar... aku adalah kuncinya. Dan kau adalah orang bodoh yang memilih untuk memegang kunci yang terbakar ini."
"Aku lebih baik terbakar bersamamu daripada membeku dalam kemuliaan palsu Aethelgard," sahut Kaelan sembari mempercepat langkahnya menuruni labirin dinding jurang yang semakin gelap.
Mereka terus turun, menjauhi cahaya obor kavaleri Elf yang kini hanya terlihat seperti bintang kecil di atas sana. Dunia di sekitar mereka kini hanya terdiri dari kegelapan, suara tetesan air yang berbau karat, dan bisikan-bisikan yang semakin jelas menyebut nama mereka berdua.
"Kita sudah terlalu jauh," bisik Mina, suaranya menggigil. "Udara di sini... bukan lagi oksigen. Ini adalah esensi murni dari kehampaan."
"Tetap bergerak," perintah Kaelan singkat.
Tiba-tiba, jalan setapak itu berakhir pada sebuah gua besar yang dindingnya tertutup oleh kristal-kristal hitam yang berdenyut. Di tengah gua tersebut, berdiri sebuah gerbang batu kuno yang telah retak, memancarkan aura yang membuat jiwa siapapun yang melihatnya merasa kerdil.
"Tempat apa ini?" tanya Bara, menurunkan perisainya dengan tangan yang gemetar.
"Ini adalah Labirin Bayangan," suara Lyra terdengar jernih namun dingin, ia melepaskan diri dari dekapan Kaelan dan berdiri dengan kaki yang masih goyah. "Tempat di mana kebenaran disembunyikan di balik rasa sakit."
Lyra melangkah menuju gerbang itu, tangannya terangkat seolah ditarik oleh benang yang tak terlihat. Kaelan mencoba mengejarnya, namun sebuah tembok transparan dari energi ungu mendadak muncul, memisahkan Lyra dari sisa Legiun Karang.
"Lyra! Kembali!" teriak Kaelan, menghantamkan tangan kanannya ke tembok energi itu hingga menimbulkan percikan cahaya perak.
"Maafkan aku, Kaelan. Tapi untuk melindungimu dari mahar nyawa itu... aku harus menghadapi suara ini sendirian," Lyra menoleh, memberikan senyuman paling sedih yang pernah dilihat Kaelan. "Tunggu aku di sisi lain. Jika aku tidak kembali, hancurkan gerbang ini dan larilah kembali ke Terra."
"Tidak! Aku tidak akan membiarkanmu melakukan pengorbanan konyol lagi!" Kaelan meraung, ia mulai memusatkan seluruh Spark 9 miliknya ke ujung tinjunya, membuat seluruh gua bergetar akibat tekanan mana yang luar biasa.
"Jangan, Kaelan! Jika kau memaksakan energi itu sekarang, sumsum tulangmu akan hancur!" Mina mencoba menarik bahu Kaelan, namun ia terpental oleh aura perak yang meluap.
Lyra menyentuh gerbang batu itu. Kristal-kristal hitam di sekelilingnya mendadak menyala terang, dan suara bisikan itu berubah menjadi raungan kegembiraan yang memekakkan telinga. Tubuh Lyra perlahan tersedot ke dalam kegelapan gerbang tersebut, meninggalkan Kaelan yang masih terus menghantam tembok pembatas dengan keputusasaan yang murni.
"LYRA!"
Suara Kaelan bergema di dalam gua, namun sosok wanita itu telah hilang tertelan bayangan. Keheningan yang mematikan segera menyusul, menyisakan Kaelan yang berlutut di depan tembok energi yang kini perlahan memudar, meninggalkan rasa hampa yang lebih menyakitkan daripada cambuk api mana pun.
Kaelan menghantamkan tinjunya ke lantai batu hingga retakan menjalar ke segala arah. Rasa panas dari regenerasi perak di tangannya kini terasa seperti ejekan; apa gunanya kekuatan ini jika ia tetap terlambat satu detik untuk menggenggam tangan wanita yang ia cintai? Ia menatap gerbang batu yang kini membisu, sebuah monumen bisu yang baru saja menelan Lyra ke dalam ketidakpastian.
"Komandan, tembok energinya sudah hilang, tapi hawa di balik gerbang ini... ini bukan lagi wilayah yang bisa kita petakan," Bara mendekat, suaranya sarat dengan kecemasan yang mendalam.
"Aku tidak butuh peta untuk menjemputnya, Bara," desis Kaelan sembari berdiri. Ia menyeka darah yang mengalir dari hidungnya akibat tekanan overload energi tadi.
"Kaelan, lihat ini," Mina memanggil dari sudut gerbang, menunjuk ke arah sisa-sisa sapu tangan Azure yang terjatuh di lantai. Kain itu kini tidak lagi berlumuran darah merah, melainkan tampak berpendar dengan urat-urat cahaya ungu yang halus. "Energi Abyss di sini tidak hanya merusak, tapi juga mengubah esensi benda yang memiliki ikatan emosional kuat."
Kaelan memungut kain itu. Saat jemarinya menyentuh tekstur sapu tangan yang kini terasa dingin namun bergetar, sebuah kilasan memori milik Lyra menghantam benaknya. Ia melihat Lyra kecil yang sedang menangis di bawah pohon melati di Solaria, dikelilingi oleh para pelayan yang menatapnya dengan ketakutan karena mata kirinya mulai berubah warna.
"Dia selalu sendirian," gumam Kaelan, suaranya bergetar karena emosi. "Bahkan di tengah kemewahan istana, dia diperlakukan seperti monster yang sedang menunggu waktu untuk meledak."
"Dan sekarang monster itu benar-benar memanggilnya pulang," Jiro menambahkan, matanya menatap nanar ke arah kegelapan di balik gerbang. "Apa kita benar-benar akan masuk ke sana? Prajurit manusia tidak akan bertahan lebih dari satu jam di dalam atmosfer separah itu."
Kaelan berbalik menghadap sisa pasukannya. Matanya yang berwarna perak tajam kini memancarkan otoritas yang mutlak, sebuah karisma yang lahir dari penderitaan yang telah mencapai titik didih. "Kalian tetap di sini. Jaga gerbang ini dari sisi luar. Jika dalam dua jam aku tidak keluar bersama Lyra, kembalilah ke permukaan dan hancurkan jalan setapak tadi agar Alaric tidak bisa mengejar kalian."
"Kau gila jika berpikir kami akan membiarkanmu masuk sendirian!" Bara memprotes, menghantamkan perisainya ke tanah. "Kami adalah Legiun Karang. Jika komandan kami masuk ke neraka, kami akan membawakan obornya!"
"Ini bukan soal keberanian, Bara. Ini soal kapasitas energi," Kaelan meletakkan tangannya di bahu raksasa itu. "Sumsum tulangku adalah satu-satunya yang bisa memproses radiasi Void di dalam sana tanpa menjadi gila. Jika kalian masuk, kalian hanya akan menjadi beban yang harus kulindungi, dan itu akan memperlambatku menyelamatkan Lyra."
Bara terdiam, rahangnya mengeras namun ia tahu Kaelan benar. Di dunia ini, niat baik seringkali kalah oleh hukum kekuatan yang kejam.
"Bawa ini, Kaelan," Mina menyerahkan sebuah botol kecil berisi cairan perak bening. "Ini adalah esensi murni dari Akar Azure yang kucampur dengan darahmu yang tersisa di perban tadi. Jika kau merasa kesadaranmu mulai memudar, minum ini. Ini akan memaksa tulangmu untuk tetap terjaga meski jiwamu ingin menyerah."
"Terima kasih, Mina," Kaelan mengangguk kecil. Ia menyelipkan botol itu dan sapu tangan Azure ke balik baju zirahnya, tepat di atas jantungnya.
Tanpa kata-kata lagi, Kaelan melangkah melewati ambang gerbang batu. Seketika, gravitasi seolah-olah menghilang. Ia merasa tubuhnya ditarik ke segala arah, sementara indra penglihatannya dipenuhi oleh ribuan fragmen memori yang bukan miliknya. Bau melati yang harum mendadak berubah menjadi bau amis darah yang pekat, lalu berubah lagi menjadi aroma tanah basah dari masa kecilnya di Ash-Valley.
"Kaelan... tolong aku..."
Suara Lyra terdengar dari segala arah, namun setiap kali ia mencoba mengejarnya, suara itu berpindah ke belakangnya. Kaelan menyadari bahwa Labirin Bayangan ini sedang mempermainkan traumanya. Ia melihat bayangan dirinya sendiri yang masih menjadi budak, sedang dicambuk oleh Valerius sementara Lyra hanya menonton dengan tawa dingin.
"Itu tidak nyata," desis Kaelan, ia menggigit bibirnya hingga berdarah untuk memfokuskan pikirannya. "Lyra tidak akan pernah tertawa melihat penderitaanku."
Tiba-tiba, kegelapan di depannya menyusut, membentuk sebuah koridor panjang yang dindingnya terbuat dari cermin-cermin retak. Di ujung koridor itu, ia melihat sosok Lyra yang sedang berlutut, dikelilingi oleh bayangan-bayangan hitam yang bentuknya menyerupai Alaric.
"Kenapa kau membelanya, Lyra?" bayangan Alaric itu berbisik, suaranya bergema seperti gesekan logam. "Lihat dia. Dia hanya budak yang menggunakan rasa kasihanmu untuk naik ke langit. Dia adalah mahar nyawamu."
"Tidak... dia bukan budak... dia adalah harapanku..." Lyra merintih, tangannya menutupi mata kirinya yang kini memancarkan cahaya ungu yang menyilaukan.
"Harapan yang akan membunuhmu," bayangan itu mengangkat pedang cahaya gelap. "Setiap langkah yang dia ambil mendekatimu adalah satu paku lagi untuk peti matimu."
"HENTIKAN!" Kaelan melesat maju.
Energi perak Spark 9 miliknya meledak, menghancurkan cermin-cermin di sekelilingnya. Ia menerjang ke arah bayangan Alaric dan menghantamnya dengan tinju yang dilapisi aura Origin Level. Bayangan itu hancur menjadi debu hitam, namun segera terbentuk kembali di tempat lain.
"Kau tidak bisa membunuh bayangan dengan otot, Manusia," bayangan itu mencibir. "Di sini, hanya kebenaran yang bisa melukai."
Kaelan mengabaikan mahluk itu dan langsung memeluk Lyra. Tubuh Lyra terasa sangat dingin, seperti es yang tidak pernah tersentuh matahari. Saat kulit mereka bersentuhan, The Shared Scar di punggung mereka berdua berpendar terang. Kaelan merasakan seluruh sisa rasa sakit dari cambuk api Lyra berpindah ke tubuhnya sendiri secara instan.
"Aaaargh!" Kaelan mengerang, lututnya menghantam lantai. Rasa sakit itu begitu nyata hingga ia merasa tulang belakangnya sedang dipatahkan perlahan.
"Kaelan? Kenapa kau di sini? Pergilah!" Lyra mencoba mendorongnya, matanya yang ungu tampak ketakutan. "Tempat ini... tempat ini mengenali mataku. Jika kau tetap di sini, Abyss akan menelanmu untuk menyeimbangkan keberadaanku!"
"Biarkan dia menelan kita berdua kalau begitu," Kaelan menarik wajah Lyra agar menatap tepat ke matanya yang perak. "Aku sudah bilang, aku adalah rantaimu. Kau tidak akan pergi ke mana pun tanpa menyeretku bersamamu."
"Tapi mahar nyawa itu... Ibuku mati karena Ayah tidak bisa menanggung beban kutukan ini. Aku tidak ingin kau berakhir sama seperti dia," isak Lyra, air mata ungu jatuh ke tangan Kaelan.
"Aku bukan ayahmu, dan aku bukan pecundang seperti Alaric," Kaelan berdiri, meskipun punggungnya terasa seperti sedang dibakar hidup-hidup. Ia menarik Lyra ke dalam pelukannya lagi, kali ini lebih erat. "Dengarkan aku, Lyra. Suara di dalam gerbang ini hanyalah ketakutanmu yang diberi bentuk. Matamu bukan kutukan, itu adalah bagian dari dirimu yang membuatmu bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat orang lain."
Di langit-langit labirin, sebuah retakan besar muncul. Sesosok naga yang terbuat dari energi Void murni mulai merayap turun, matanya yang merah menatap mereka dengan lapar. Inilah manifestasi dari penjaga Labirin Bayangan yang dipicu oleh kehadiran energi asing Kaelan.
"Naga Void..." Lyra berbisik horor. "Dia tidak akan membiarkan kita keluar."
Kaelan melepaskan pelukannya dan berdiri di depan Lyra, menutupi wanita itu dengan punggungnya yang kini memancarkan aura perak yang stabil. Ia mengeluarkan botol ramuan dari Mina dan meminumnya dalam sekali teguk. Seketika, sumsum tulangnya mengeluarkan bunyi berderak yang keras, dan aura di sekitarnya berubah dari perak menjadi putih menyilaukan.
"Lyra, pinjamkan aku sedikit energimu melalui resonansi," perintah Kaelan sembari menyiapkan kuda-kuda bertarung. "Jangan takut pada kegelapan itu. Gunakan untuk memperkuat pukulanku."
Lyra ragu sejenak, namun ia melihat keyakinan yang tak tergoyahkan di mata Kaelan. Ia meletakkan tangannya di punggung Kaelan, tepat di atas bekas luka yang menghubungkan mereka. "Ambillah semuanya, Kaelan. Jika kita harus hancur, biarlah kita hancur sebagai satu kesatuan."
Energi ungu dari mata Lyra mengalir masuk ke dalam jalur energi perak Kaelan, menciptakan perpaduan warna yang mengerikan sekaligus indah. Kapak perang Kaelan yang tadinya retak kini terbungkus oleh api perak-ungu yang menderu.
Naga Void itu meraung, sebuah suara yang meruntuhkan dimensi di sekitar mereka, dan meluncur turun dengan taring-taring kegelapan yang siap mencabik. Kaelan tidak menghindar. Ia justru melompat menyambut serangan itu, membawa seluruh beban martabat dan cinta yang ia miliki dalam satu tebasan fatal.
"Untuk setiap cambukan yang ia terima demi aku!" teriak Kaelan.
Benturan itu menciptakan ledakan cahaya yang menelan seluruh isi labirin. Di tengah kebutaan sesaat itu, Kaelan merasakan jiwa Lyra yang bergetar hebat, sebuah ketakutan yang mendalam akan kehilangan. Namun di balik ketakutan itu, ia juga merasakan sebuah harapan yang mulai tumbuh—sebuah janji bahwa di tempat tergelap sekalipun, mereka tidak akan pernah benar-benar sendirian.
Dunia di sekitar mereka perlahan memudar menjadi putih, membawa mereka menjauh dari raungan naga dan bisikan Abyss, menuju sebuah kesadaran yang baru tentang apa arti sebenarnya dari sebuah pengorbanan.