Ongoing
Feng Niu dan Ji Chen menikah dalam pernikahan tanpa cinta. Di balik kemewahan dan senyum palsu, mereka menghadapi konflik, pengkhianatan, dan luka yang tak terucapkan. Kehadiran anak mereka, Xiao Fan, semakin memperumit hubungan yang penuh ketegangan.
Saat Feng Niu tergoda oleh pria lain dan Ji Chen diam-diam menanggung sakit hatinya, dunia mereka mulai runtuh oleh perselingkuhan, kebohongan, dan skandal yang mengancam reputasi keluarga. Namun waktu memberi kesempatan kedua: sebuah kesadaran, perubahan, dan perlahan muncul cinta yang hangat di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11
Pagi datang tanpa benar-benar membawa terang. Cahaya matahari menembus tirai tipis kamar rumah sakit, jatuh di lantai dengan warna pucat. Ji Chen belum tidur. Ia duduk di kursi sempit di samping ranjang Feng Niu, punggungnya sedikit membungkuk, satu tangan menopang kepala, tangan lainnya masih memegang botol susu kosong.
Xiao Fan baru saja tertidur setelah menangis hampir satu jam. Tangisan bayi itu tidak keras. Tidak menuntut. Justru pelan, terputus-putus, seperti suara kecil yang kebingungan seolah ia belum tahu apa yang salah, hanya tahu bahwa ia tidak nyaman, lapar, atau sekadar butuh dipeluk.
Ji Chen sudah mencoba segalanya. Menggendong. Mengayun perlahan. Berjalan mondar-mandir di kamar sempit. Menyanyikan lagu anak-anak yang bahkan ia sendiri tidak yakin dari mana ia mengingatnya.
Akhirnya bayi itu tenang, tertidur dengan wajah sedikit mengernyit. Ji Chen menghembuskan napas panjang. Bahunya terasa berat, lengannya pegal, kepalanya berdenyut. Tapi ia tidak berani bergerak terlalu cepat. Takut membangunkan Xiao Fan. Ia menoleh ke arah ranjang.
Feng Niu masih tidur, membelakangi mereka. Sejak semalam, tidak ada satu pun pertanyaan darinya. Tidak, “Dia kenapa?” atau “Dia sudah minum?” Tidak ada. Bahkan ketika Xiao Fan menangis tepat di samping ranjangnya, Feng Niu hanya bergeser sedikit, menarik selimut lebih rapat, lalu kembali tidur.
Seolah suara itu bukan tanggung jawabnya. Ji Chen menatap punggung istrinya cukup lama. Dada Ji Chen terasa sesak, bukan karena marah melainkan karena lelah. Lelah menunggu sesuatu yang tidak pernah datang.
“Pak Fu?” Suara perawat membuatnya menoleh cepat. “Iya?” jawab Ji Chen pelan. “Kami akan cek kondisi bayi sebentar.” Ji Chen mengangguk, lalu berdiri perlahan. Saat perawat mengambil Xiao Fan, bayi itu menggeliat kecil, bibirnya mengerut, hampir menangis lagi.
“Shh… sebentar,” bisik Ji Chen refleks, suaranya penuh kebiasaan yang baru terbentuk dalam satu malam. Perawat itu melirik Feng Niu sekilas, lalu kembali fokus pada bayi. “Bu Feng masih pemulihan,” katanya hati-hati, seperti memilih kata. “Biasanya ibu ingin dekat dengan bayinya, tapi… mungkin butuh waktu.”
Ji Chen hanya tersenyum tipis. Senyum yang tidak sampai ke mata. “Dia memang… butuh waktu,” jawabnya. Perawat itu mengangguk, tidak bertanya lebih jauh. Setelah pemeriksaan selesai, Xiao Fan dikembalikan ke pelukan Ji Chen.
“Bapaknya telaten sekali,” kata perawat itu tulus. “Tidak semua ayah mau begadang seperti ini.” Ji Chen menunduk, menatap wajah kecil di lengannya. “Aku harus,” jawabnya lirih. “Kalau bukan aku… tidak ada siapa-siapa lagi.” Kalimat itu meluncur begitu saja, tanpa ia rencanakan. Perawat itu terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil dan pergi.
Siang hari, Madam Fu datang. Langkahnya tenang, rapi seperti biasa. Mantelnya disampirkan di lengan, rambutnya disanggul sempurna. Wajahnya tetap dingin, sulit ditebak. Tapi saat ia melihat Ji Chen berdiri sambil menggendong bayi, sorot matanya berubah sedikit. “Chen,” panggilnya pelan. Ji Chen menoleh. “Ibu.”
Madam Fu mendekat. Menatap cucunya. Xiao Fan tertidur, kepalan tangannya kecil, jemarinya kemerahan. “Berat?” tanya Madam Fu singkat. “Tidak,” jawab Ji Chen otomatis. Lalu ragu. “Sedikit.”
Madam Fu mengulurkan tangan. “Biar ibu pegang.” Ji Chen menyerahkan bayi itu dengan hati-hati. Madam Fu menggendong cucunya dengan gerakan terlatih tenang, mantap. Xiao Fan menggeliat sebentar, lalu kembali tenang.
Madam Fu menatap Feng Niu yang masih tidur. Tidak ada komentar. Tidak ada celaan. Tidak ada pembelaan. Hanya keheningan yang berat. “Kau sudah makan?” tanya Madam Fu akhirnya. Ji Chen menggeleng. “Belum sempat.”
Madam Fu mendesah pelan. “Kau tidak boleh jatuh sakit.” Ji Chen tersenyum kecil. “Aku baik-baik saja, Bu.” Madam Fu menatap putranya lama. Terlalu lama.
“Kau tidak sendirian,” katanya akhirnya, datar tapi tegas. “Keluarga Fu ada.” Ji Chen mengangguk, meski ia tahu… kalimat itu tidak sepenuhnya mengisi kekosongan yang ia rasakan.
Feng Niu terbangun sore hari. Ia mengerjap beberapa kali, lalu mengerang pelan saat rasa nyeri menjalar di tubuhnya. Pandangannya menyapu kamar. Ia melihat Ji Chen duduk di sofa kecil, menidurkan Xiao Fan di lengannya sambil membaca pesan di ponsel dengan satu tangan.
Bayi itu tertidur lelap. Untuk beberapa detik, Feng Niu hanya menatap. Adegan itu… mengganggunya. Ji Chen terlihat lelah. Mata sedikit merah. Bahunya turun. Tapi gerakannya saat menggendong bayi hati-hati, pelan membuatnya terlihat… asing.
Seperti seseorang yang ia kenal, tapi tidak benar-benar. “Dia terus menangis?” tanya Feng Niu akhirnya. Ji Chen menoleh, sedikit terkejut. “Tadi pagi iya. Sekarang sudah minum.”
“Hmm.” Tidak ada kalimat lanjutan. Ji Chen menunggu. Menunggu pertanyaan berikutnya. Atau mungkin tawaran untuk membantu. Tapi tidak ada. “Aku mau tidur lagi,” kata Feng Niu, lalu memejamkan mata. Ji Chen menunduk. “Baik.” Satu kata. Sesuai permintaan.
Malam datang lagi. Ji Chen berdiri di depan wastafel kamar mandi rumah sakit, mencuci botol susu dengan gerakan lambat. Tangannya sedikit gemetar. Punggungnya pegal. Kepalanya berat. Ia menatap bayangannya di cermin. Wajah yang tampak lebih tua dari usianya. “Aku bisa,” gumamnya pelan pada bayangan itu. “Aku bisa.”
Entah untuk meyakinkan siapa.
m aat ia kembali ke kamar, Xiao Fan terbangun lagi. Tangisnya pelan, tapi terus-menerus. Ji Chen menggendongnya, mengayun perlahan. “Papa di sini,” bisiknya. “Papa selalu di sini.” Bayi itu tidak mengerti kata-kata, tapi seolah merasakan getaran suara itu. Tangisnya mereda sedikit.
Feng Niu membuka mata. Ia melihat Ji Chen berdiri di bawah lampu redup, bayinya di pelukan, wajahnya lelah tapi fokus. Ada sesuatu yang bergerak di dadanya lagi. Tidak nyaman. Tidak enak. Ia tidak menyukainya. Ia memalingkan wajah ke dinding. Lebih mudah membiarkan Ji Chen mengambil semuanya.
Malam itu, Ji Chen duduk di kursi dengan Xiao Fan tertidur di dadanya. Tangannya melingkar protektif. Napas bayi itu teratur, hangat. Ji Chen menatap ke luar jendela. Lampu kota berkelip di kejauhan. “Mulai sekarang,” bisiknya pelan, “kita berdua saja juga tidak apa-apa.” Kalimat itu bukan janji yang indah. Itu keputusan yang pahit.
Dan di kamar rumah sakit yang sunyi itu, Ji Chen menggendong anaknya sendirian bukan hanya secara fisik, tapi juga secara emosional. Sebagai ayah. Dan sebagai satu-satunya orang tua yang hadir.