NovelToon NovelToon
Ingfah & Nara Si Indigo

Ingfah & Nara Si Indigo

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Mata Batin
Popularitas:70
Nilai: 5
Nama Author: Princss Halu

SINOPSIS
​Nara dan Ingfah bukan sekadar putri pewaris takhta Cankimha Corp, salah satu konglomerat terbesar di Asia. Di balik kehidupan mewah dan rutinitas korporasi mereka yang sempurna, tersimpan masa lalu berdarah yang dimulai di puncak Gunung Meru.
​Tujuh belas tahun lalu, mereka adalah balita yang melarikan diri dari pembantaian seorang gubernur haus kuasa, Luang Wicint. Dengan perlindungan alam dan kekuatan mustika kuno keluarga Khon Khaw, mereka bertahan hidup di hutan belantara hingga diadopsi oleh Arun Cankimha, sang raja bisnis yang memiliki rahasianya sendiri.
​Kini, Nara telah tumbuh menjadi wanita tangguh dengan wibawa mematikan. Di siang hari, ia adalah eksekutif jenius yang membungkam dewan direksi korup dengan kecerdasannya. Di malam hari, ia adalah ksatria tak terkalahkan yang bersenjatakan Busur Sakti Prema-Vana dan teknologi gravitasi mutakhir.


Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Princss Halu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Serangan Roh Kegelapan

Tiba-tiba, langit Ban Khun Phum yang cerah berubah menjadi merah darah. Ingfah memegang kepalanya, matanya bersinar biru tajam.

"Pii Nara! Ayah! Ada sesuatu yang sangat kotor sedang terbang menuju sini!"

Mork, sang dukun hitam, telah melepaskan ratusan Krasue dan roh kelaparan untuk menyerang dari langit, melewati kabut yang hanya bisa menghalau manusia, namun sulit menghalau roh jahat.

"Prawat! Siapkan obor minyak suci!" teriak Patan sambil menghunus parangnya yang sudah diberi rajah oleh Bibi Cia.

Nara berdiri di depan Ingfah, kakinya kokoh memijak bumi. Ia menarik busur Gandiva. Kali ini, ia tidak membidik satu titik.

"Niatku adalah melindungi... seribu cahaya untuk menjaga!" teriak Nara.

Tring!

Tring!

Nara melepaskan satu anak panah cahaya ke arah langit. Di udara, anak panah itu pecah menjadi ribuan jarum cahaya yang menghujani roh-roh jahat tersebut. Suara jeritan melengking memenuhi angkasa saat roh-roh itu terbakar oleh cahaya murni Nara.

Namun, dari balik kegelapan hutan, Mork sendiri muncul. Ia berhasil menembus tabir dengan bantuan jimat darah. Ia menatap Ingfah dengan lapar.

"Cahaya yang indah... akan sangat sempurna jika aku jadikan tumbal."

Patan melompat menghadang.

"Jangan harap kau bisa menyentuh putriku, Dukun Terkutuk!"

Pertempuran besar pecah di halaman rumah. Patan dan Prawat melawan Mork secara fisik, sementara Nara harus terus menjaga langit agar desa tidak dikepung roh. Ingfah, yang masih dalam pengaruh Buah Ingatan, tiba-tiba berdiri. Suaranya berubah menjadi berwibawa, mirip suara ibunya.

"Kau tidak punya tempat di tanah ini, kegelapan!" Ingfah mengangkat tangannya, dan akar-akar pohon perak tiba-tiba menjalar keluar dari tanah, melilit kaki Mork dengan sangat kuat.

Suara jeritan Mork memecah keheningan hutan Ban Khun Phum. Dukun hitam itu meronta-ronta, kuku-kukunya mencakar tanah, mencoba melepaskan diri dari lilitan akar pohon perak yang semakin kuat dan bercahaya. Namun, semakin ia meronta dengan ilmu hitamnya, semakin kuat pula akar-akar itu menyeretnya masuk ke dalam tanah.

"Tidak! Lepaskan aku! Aku tidak bisa mati di tangan pohon terkutuk ini!" teriak Mork dengan mata membelalak ketakutan.

Bibi Cia berdiri di samping Ingfah, menatap dingin ke arah dukun itu.

"Bukan pohon ini yang membunuhmu, Mork. Niat jahatmu sendirilah yang memanggil hukuman ini. Hutan ini adalah cermin; apa yang kau bawa, itulah yang kau dapatkan."

Akar-akar pohon perak itu seolah memiliki nyawa sendiri. Mereka tidak hanya mengikat fisik Mork, tetapi juga menyedot seluruh energi gelap dari tubuhnya. Pohon itu membersihkan racun ilmu hitam yang dibawa Mork dengan cara menelannya dalam-dalam ke dasar bumi. Dalam sekejap, tubuh Mork hilang ditelan bumi, meninggalkan permukaan tanah yang kembali rata dan ditumbuhi bunga-bunga liar seolah-olah tidak pernah terjadi pertempuran di sana.

Keheningan Setelah Badai

Suasana mendadak sunyi. Langit yang tadinya merah darah perlahan kembali menjadi biru cerah. Roh-roh jahat yang tadi mengepung langit lenyap tanpa sisa begitu tuannya tewas.

Nara menurunkan busur Gandiva-nya. Tangannya gemetar, bukan karena takut, melainkan karena energi besar yang baru saja ia lepaskan. Ia segera berlari dan memeluk Ingfah yang masih berdiri tegak dengan mata biru yang perlahan meredup.

"Nong Fah... kamu tidak apa-apa?" tanya Nara cemas.

Ingfah mengedipkan matanya, lalu jatuh pingsan ke pelukan Nara. Tubuh kecilnya terlalu lelah menanggung beban kekuatan pohon perak dan ingatan ibunya. Patan dan Prawat segera menghampiri mereka. Patan menggendong Ingfah dengan penuh kasih sayang.

"Kita menang, Tuan Patan," bisik Prawat sambil menyeka keringat dan darah di keningnya.

"Tapi dukun itu hanya pembuka jalan. Luang Wichit akan tahu jika Mork gagal."

***

Pesan dari Pohon Perak

Malam itu, setelah Ingfah tersadar dari pingsannya, ia duduk di depan api unggun bersama keluarga besarnya. Wajahnya tampak lebih dewasa dari usia empat tahunnya.

"Ayah... Pii Nara... Fah melihat sesuatu saat akar itu menarik dukun tadi," ucap Ingfah pelan.

"Ibu berpesan, pohon perak ini hanya bisa melindungi kita untuk sementara. Luang Wichit akan datang dengan api dan besi (pasukan perang). Kita harus mencari 'Kuil Langit' di puncak Gunung Meru."

Bibi Cia terperanjat. "Kuil Langit? Itu adalah tempat suci yang hanya bisa ditemukan oleh mereka yang memiliki kunci batin. Di sana tersimpan rahasia kekuatan ibumu yang sebenarnya."

Patan memandang kedua putrinya. Ia tahu hidup tenang mereka di desa ini telah berakhir.

"Jika itu satu-satunya cara untuk mengakhiri pengejaran ini, kita akan pergi. Kita tidak bisa membiarkan desa Ban Khun Phum hancur karena kita."

Prawat berdiri dan memegang gagang tombaknya.

"Hamba dan keluarga hamba akan tetap ikut, Tuan Patan. Ke mana pun cahaya itu pergi, tamengnya harus selalu ada."

Nara menggenggam busur hitamnya yang kini telah memiliki tali batin yang permanen.

"Aku akan membuka jalan di depan, Ayah. Biarkan mereka datang dengan pasukan, aku akan menunjukkan bahwa cahaya tidak bisa dipadamkan oleh besi."

Suasana di beranda rumah panggung itu menjadi sangat emosional. Cahaya obor yang bergoyang tertiup angin malam memantulkan keteguhan di wajah Patan. Ia tahu bahwa perjalanan menuju puncak Gunung Meru bukanlah tempat bagi seorang ibu dengan anak balita dan para orang tua yang sudah renta.

Patan memegang bahu Prawat dengan sangat erat.

"Prawat, kau adalah saudaraku. Tapi kali ini, aku meminta bantuanmu bukan sebagai petarung, melainkan sebagai pelindung nyawa orang-orang tercinta kita."

Wiren, istri Prawat, mendekap erat Ning yang sedang tertidur lelap dalam gendongannya. Matanya berkaca-kaca melihat Nara dan Ingfah yang masih sangat kecil namun harus menghadapi takdir yang begitu besar.

"Bantulah aku menjaga ibu dan bibi-bibiku," lanjut Patan dengan nada rendah namun penuh penekanan.

"Bawa mereka jauh ke dalam gua-gua tersembunyi di lereng selatan yang pernah kau temukan saat berburu. Jika Luang Wichit membakar hutan ini, mereka akan aman di sana. Kami janji akan kembali dengan selamat."

Prawat terdiam cukup lama, matanya menatap Nara dan Ingfah bergantian. Ia merasa berat hati membiarkan Patan pergi hanya bersama dua anak kecil, meskipun ia tahu kekuatan mereka luar biasa.

"Tuan Patan..." Prawat menarik napas panjang, lalu ia berlutut dan meletakkan telapak tangannya di atas tanah sebagai tanda sumpah.

"Baiklah. Jika itu perintah Tuan. Saya bersumpah dengan nyawa saya, tidak akan ada satu helai rambut pun dari Nenek Bua, Bibi Prik, Bibi Prang, istri saya, maupun Ning yang akan disentuh oleh orang-orang kota itu. Saya akan menjaga mereka sampai Tuan kembali."

Nenek Bua mendekat, ia memegang pipi Patan dan kedua cucunya.

"Pergilah, Nak. Jangan cemaskan kami. Gunung Meru memiliki telinga, ia akan mendengar doa-doa kami dari sini."

Bibi Cia memberikan satu kantong kecil berisi serbuk suci kepada Nara.

"Nara, ini serbuk Maneeya. Jika kalian terkepung dan tidak ada jalan keluar, taburkan ini ke udara. Ia akan menciptakan dinding ilusi."

Malam itu juga, perpisahan terjadi. Prawat memimpin rombongan para wanita dan si kecil Ning menuju kegelapan lereng selatan yang lebih aman. Sementara itu, Patan, Nara, dan Ingfah berdiri di gerbang hutan keramat, menatap ke arah puncak gunung yang tertutup awan perak.

"Siap, Pii Nara? Nong Fah?" tanya Patan sambil menyandang tas perbekalannya.

Nara menggenggam busur hitamnya, dan Ingfah menggenggam tangan ayahnya.

"Siap, Ayah. Ibu sedang menunggu kita di atas sana," jawab Ingfah dengan sorot mata biru yang kini tenang namun penuh tekad.

Ketiganya mulai melangkah menembus kabut, memulai pendakian yang akan mengubah sejarah Ayutthaya selamanya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!