Asa terkejut saat membuka matanya semua orang justru memanggilnya dengan nama Zia Anggelina, sosok tokoh jahat dalam sebuah novel best seller yang menjadi trending topik paling di benci seluruh pembaca novel.
Zia kehilangan kasih sayang orang tua serta kekasihnya, semua terjadi setelah adiknya lahir. Zia bukanlah anak kandung, melainkan anak angkat keluarga Leander.
Asa yang menempati raga Zia tidak ingin hal menyedihkan itu terjadi padanya. Dia bertekad untuk melawan alur cerita aslinya, agar bisa mendapat akhir yang bahagia.
Akankah Asa mampu memerankan karakter Zia dan menghindari kematian tragisnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 8
Suasana kantin yang awalnya tegang semakin memanas akibat ucapan Zia yang menusuk, gadis itu sama sekali tidak peduli dengan tatapan para siswa yang ada di sana.
Terutama tatapan Arza yang seperti sedang menilainya, namun semua itu di abaikan oleh Zia.
Aven dengan keadaan basah kuyup dan bau semakin menatap Zia marah, urat-urat di lehernya menonjol menandakan bahwa ia benar-benar murka.
Zia menyunggingkan senyum tipis. "Lo jangan terlalu sombong karena udah berhasil nyakitin teman gue. Wajah lo cuma pas-pasan, Maddy masih bisa dapatin cowok yang lebih baik dari lo."
"Kalo lo ujung-ujungnya ngomong kayak gitu, kenapa lo pake nyiram gue segala?"
"Ya... Gue nggak terima lo nyakitin Maddy, lo juga harus ngerasain gimana rasanya di permalukan di depan umum biar imbang." Jawab Zia enteng.
"Brengsek!" Umpat Aven, ia hendak menampar Zia namun tendangan dari gadis itu di tulang keringnya membuatnya mengurungkan niatnya.
Zia menyeringai. "Makanya jangan kebesaran mulut, lo pikir ini novel cinderella? Dan lo yang jadi pangerannya? Asal lo tahu, gue dan Maddy bisa punya cowok yang punya attitude nggak kayak lo atau teman-teman lo."
Kemudian Zia mengedarkan pandangannya ke seluruh murid, terutama pada sekelompok pemuda yang sudah menjadi idola kebanggaan sekolah mereka.
"Haris!" Panggil Zia seraya melambaikan tangan ke arah pemuda berseragam basket itu.
Haris yang sedang duduk dengan anggota klub basketnya sontak terkejut, ia memandang ke arah Zia dengan ekspresi kebingungan.
"Y-ya? Lo manggil gue, Zi?" Tunjuk Haris pada dirinya sendiri.
Zia menganggukkan kepala lalu tersenyum manis ke arah pemuda itu. "Hari minggu mau nonton bareng sama gue gak?"
Jarak mereka tidak terlalu jauh namun suara lantang Zia sudah membuat para siswa yang mendengarnya mulai bisik-bisik, dan bertanya-tanya mengapa Zia bertingkah seperti itu?
"Hah?" Haris menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Ia semakin di buat bingung melihat Zia yang masih tersenyum padanya. Ia tak percaya jika saat ini Zia mengajaknya nonton, padahal situasi sedang sangat tegang.
"Kenapa? Lo nggak mau pergi sama gue?" Tebak Zia melihat pemuda itu yang tak kunjung menjawab pertanyaannya.
Haris buru-buru menggeleng, wajahnya memerah seperti kepiting rebus. "Eh, bukan, Zi. Bukan gitu maksudnya."
Terlepas dari kelakuannya dan julukan yang melekat pada diri Zia, gadis itu memang pantas menjadi idaman kaum adam. Selain cantik, Zia juga pintar.
Tahun ini saja gadis itu masuk tiga besar dalam kejuaraan umum antar sekolah. Sejujurnya banyak siswa laki-laki yang memiliki perasaan pada Zia di sekolah ini, hanya saja mereka lebih memilih diam.
Tidak ada yang berani terang-terangan menyatakan perasaan, apalagi setelah melihat bagaimana Zia mengejar Arza. Mereka harus terpaksa mundur sebelum sempat memulai.
Zia terlalu sulit untuk di raih. Gadis itu seperti menempelkan tembok pembatas yang melarang orang lain masuk. Seperti berkata selain Arza, tidak ada yang boleh mendekat.
"Jadi, lo bisa?" tanya Zia lagi.
"Lo serius?" Haris balik bertanya karena masih sedikit tidak percaya.
Zia malah terkekeh kecil. "Emang muka gue kelihatan bercanda, hm?"
"Ehh, gak!" jawab Haris cepat. "Oke, nanti hari Minggu gue jemput," lanjutnya.
"Gue tunggu," Zia tersenyum lagi.
Zia kembali menoleh pada Aven yang masih berdiri diam dengan rahang mengeras dan tangan mengepal. Senyum di wajah Zia seketika lenyap.
"See?" Zia berkata pelan terkesan berbisik. "Hanya dalam sekejap, cewek murahan ini bisa dapetin cowok yang memiliki predikat baik di sekolah ini, apa lo masih mau meremehkan gue?!" Nada meremehkan dari Zia terdengar jelas.
Haris adalah ketua basket yang lumayan populer walaupun mungkin tidak sepopuler Arza. Jika biasanya cowok populer berkelakuan badboy, tidak dengan Haris. Ia cowok yang tidak banyak tingkah, tapi tetap mampu menarik perhatian banyak orang. Dan satu lagi yang menjadi rahasia bahwa diam-diam pemuda itu sudah menyukai Zia sejak lama.
"Lo–"
"Mulai detik ini gue peringatin sama lo, jauh-jauh dari sahabat gue. Kalau sampai gue ngeliat lo ada di sekeliling dia atau berani nyakitin dia lagi, lo tahu semuanya gak akan sesederhana ini lagi," ucap Zia memotong ucapan Aven tegas dan terselip ancaman.
Setelah mengatakan itu, Zia berbalik pergi tanpa mempedulikan raut wajah Aven yang semakin terlihat marah.
Ketika ia hendak keluar dari kantin, ia sempat berhenti di meja sekumpulan anak basket tepatnya di samping kursi Haris.
Zia membungkuk menyejajarkan tingginya dengan telinga pemuda itu yang sedang duduk.
"Sorry, kayaknya hari Minggu ini kita gak jadi pergi. Gue lupa ternyata ada acara," bisik Zia pelan.
Sejujurnya Zia tidak enak hati mengatakan ini. Tetapi ia juga tidak ingin memberi harapan lebih, apalagi kalau sampai Haris ternyata masih menyimpan perasaan kepada Zia. Itu akan rumit, cukup sekali tadi saja Zia memanfaatkan pemuda ini.
Haris menatap Zia dengan napas tertahan, jarak mereka dekat sekali bahkan Haris bisa merasakan harum dan napas gadis itu.
"Em, gak apa-apa, Zia," jawabnya dengan berat hati.
Meski kecewa wajah pemuda itu berusaha keras untuk tetap tersenyum ketika Zia berbicara padanya. Tadi ia sempat kaget ketika Zia menyapa, selama inj Zia tidak pernah mengobrol dengannya. Tapi siapa sangka, ternyata Zia mengubah suasana hati Haris dengan cepat.
Zia menepuk-nepuk kepala Haris pelan lalu berkata, "Lo lucu," katanya sambil terkekeh.
Haris mengerjap mendengar itu. Bahkan kini telinganya semakin panas dan wajahnya merah.
"Buat lo. Maaf, ya," Zia mengedipkan sebelah matanya setelah memberikan satu bungkus permen susu pada pemuda itu sebelum melangkah pergi.
Jangan ditanya bagaimana keadaan jantung Haris setelah diberikan kedipan seperti itu oleh Zia. Ambyar.
Sementara Aven menatap tajam punggung Zia yang mulai menghilang dengan mata merahnya.
"Cewek sialan!" umpat Aven sambil menendang kursi di sampingnya lalu pergi keluar kantin.
"Anjir, anjir, itu tadi beneran Zia?"
Brian berteriak heboh, menatap teman-temannya tidak percaya. Suasana kantin kembali ramai membicarakan kejadian tadi.
"Badas banget, gila." Bayu masih terlihat tercengang.
Reno mengangguk menyetujui. "She looks sexy and cute at the same time."
"Zia makin hari makin meresahkan, anjir!" ucap Brian tak habis pikir dengan perubahan Zia akhir-akhir ini. Ia menolehkan kepalanya pada Gaby yang duduk diam di samping Arza.
"Itu tadi beneran kakak lo?" tanya Brian masih tidak percaya.
Gaby tidak menjawab. Ia terlihat sama bingungnya. Sebrutalnya Zia, gadis itu tidak akan pernah mau berurusan dengan teman-teman Arza, karena Zia tidak ingin Arza semakin tidak menyukainya. Tapi kali ini, bahkan Zia melabrak Aven di depan Arza sendiri.
"Gue kira dia cuma bisa ganas sama sesama jenis. Eh, ternyata lawan jenis pun dihantam juga, gila!" ucap Bayu sambil mereka ulang kejadian saat Zia menyerang Aven.
"Tapi dia beneran jadi jalan sama si Haris?" Reno kembali bersuara. "Kenapa Zia gak ngajak gue aja sih? Gue juga mau kali di ajak jalan sama cewek cantik kayak dia."
Brian yang duduk di samping Reno langsung menegaplak kepala sahabatnya. "Ini lagi, kenapa lo makin gak waras aja, Ren. Jangan sampai gue mikir lo beneran naksir Zia, ya?"
Reno hanya mendengus mendengar itu. "Suka-suka gue lah, repot banget lo jadi orang."
"Tiap beberapa hari ini Zia kayak ngejauh dari lo, Za," celetuk Bayu tiba-tiba. "Apa karena dia udah nemuin pengganti lo, si Haris kah?"
Arza menyandarkan tubuhnya pada kursi. "Dia gak sepenting itu buat gue urusin." Ia menoleh pada Gaby yang diam menunduk tanpa menyentuh makanannya. "Makan, keburu nggak enak nanti."
Gaby mendongak kemudian mengangguk pelan. "I-iya, ini baru mau gue makan," gadis itu mengangkat sendoknya.
Setelah menyaksikan Gaby makan dengan benar, Arza kembali diam tidak bersuara.
Brian memutar mata malas, kemudian kembali berkata. "Masa sih, Zia bisa move on secepat itu? Kayak aneh nggak sih?"
Reno menatap teman-temannya sambil menggeleng. "Cewek kalo udah pakai logika, selesai sudah masalah perasaan."