perjuangan seorang pemuda untuk menjadi lebih kuat demi meneruskan wasiat seorang pendekar terdahulu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kelana syair( BE), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 Keluar dari tempat persembunyian
"Anak muda, aku ingin tahu siapa namamu dan dari perguruan mana kau berasal. Aku cukup terkesan dengan keberanianmu datang ke tempat ini," kata Matsapati. Ia berkata seperti itu karena menganggap pemuda di hadapannya benar-benar seorang pendekar tingkat langit tahap menengah.
"Namaku Barata, Tuan. Aku adalah seorang pengelana yang tidak mempunyai ikatan dengan perguruan mana pun," jawab Barata asal saja.
"Barata... nama yang cukup angker dan berbobot," dengus Ki Pasung.
"Apakah kau bermaksud ikut masuk ke dalam reruntuhan itu, Barata?" tanya Matsapati.
"Tentu saja. Kedatangan saya ke mari bukan untuk jadi penonton, Tuan. Aku juga ingin mencari harta yang ada di sana. Bukankah semua tahu kalau reruntuhan ini sekarang tidak bertuan?" jawab Barata dengan penuh ketenangan.
"Hahahaha....! Aku cukup terkesan dengan keberanianmu, anak muda. Jarang sekali seorang pendekar tingkat langit tahap menengah berani berbaur dengan para pendekar tingkat dewa seperti kami," Rawasana tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Barata yang dianggapnya terlalu berani.
"Ingat, Barata. Aku tidak mempermasalahkanmu untuk ikut masuk ke dalam, tapi ingat, di dalam sana bahaya bisa datang kapan saja," Matsapati mengingatkan dengan nada serius, seakan dia telah merasakan bahaya itu.
"Mau sampai kapan kita terus berbincang-bincang, Matsapati? Bukankah matahari sudah naik semakin tinggi?" Nyi Sangguh berkata dengan nada tinggi, mengingatkan semua orang.
"Baiklah, sekarang ayo kita mulai untuk menghancurkan dinding itu," kata Matsapati.
Ketujuh orang itu kemudian berbaris berjajar dan mengerahkan kekuatannya masing-masing. Tempat mereka berdiri seketika itu juga dipenuhi oleh hawa panas akibat kekuatan yang mereka kerahkan.
"Ingat, pukulan kita harus tepat pada satu titik!" teriak Matsapati mengingatkan.
Sinar kuning perpaduan dari tujuh orang itu pun meluncur deras, menghantam dinding pelindung sampai menembus ke dalam. Duuuaaar....! Duuuaaar...! Ledakan besar mengguncang area sekitar bangunan. Debu campur asap beterbangan begitu pekat, membuat ketujuh orang itu harus menunggu sampai keadaan reda.
"Sepertinya kita berhasil, Guru," Arimba berucap dengan penuh keyakinan.
"Hmmm..." dengus Gandama.
Tidak lama kemudian, asap dan debu yang menutupi tempat itu pun mulai menghilang. Dari luar terlihat jelas ada bagian dinding yang hancur akibat pukulan tadi, menandakan bahwa mereka berhasil menembus dinding penghalangnya.
"Kita berhasil, Paman Guru!" seru Cakra Bayu kegirangan.
"Kalau begitu, ayo kita masuk!" kata Rawasana.
Mendengar aba-aba dari Rawasana itu, mereka pun segera masuk ke dalam dengan segudang harapan di kepalanya.
Begitu sampai di dalam, mereka semua disambut oleh dua patung berbentuk burung elang yang mengenakan sayap, berada di depan pintu masuk. Posisi kedua patung itu saling berhadapan dengan kondisi sudah hitam kehijauan karena lumut.
"Semua menyebar dan carilah peruntungan masing-masing!" Matsapati lalu mengajak Arimba dan Gandama untuk ikut bersamanya.
Ki Pasung dan Nyi Sangguh langsung melesat masuk ke dalam, begitu pula dengan Cakra Bayu dan Rawasana, paman gurunya. Hanya Barata yang masih berada di ruang depan.
Di ruang depan, Barata sedang mengamati dengan teliti bangunan itu. Sulit baginya untuk percaya sebuah perguruan besar bisa tumbang tanpa menyisakan satu orang murid pun.
"Apa kira-kira yang menyebabkan perguruan ini hancur?" gumam Barata sambil terus melangkah masuk ke dalam.
"Barata, dulu Perguruan Elang Hitam ini sangat terkenal dan diperhitungkan. Ketua perguruan ini yang bernama Maharaka sangat sakti dan disegani. Tapi seiring berjalannya waktu, pelan-pelan pamor perguruan ini memudar ketika Maharaka tergila-gila pada seorang wanita cantik jelita yang bernama Sundari. Sayangnya, wanita itu menolak cintanya, membuat Maharaka menjadi gila dan hilang tak terdengar lagi kabarnya sampai sekarang." Naga Welang yang dari tadi diam akhirnya bersuara.
"Jadi kau tahu cerita tentang perguruan ini, Naga Welang?" tanya Barata.
"Tentu saja aku tahu semuanya, Barata," jawab Naga Welang.
"Sungguh tragis nasib perguruan ini, hancur karena cinta," Barata menggelengkan kepalanya setelah memahami cerita di balik runtuhnya Perguruan Elang Hitam.
Semakin Barata dan Andini masuk ke dalam, mereka merasakan hawa yang berbeda. Udara terasa pengap dan berbau tidak sedap. Dinding-dinding bangunan ditumbuhi lumut dan rumput liar. Sebagian besar bangunan itu sudah banyak yang terkelupas karena tidak terawat.
"Apa Tuan juga tertarik dengan baju badak hitam yang dibicarakan oleh orang-orang tadi?" kata Andini sambil menoleh ke kiri dan ke kanan mencari harta berharga di ruangan yang dilaluinya. Gadis kecil itu lalu berlari ke lemari kayu tua yang sudah rapuh untuk memeriksa apa yang ada di sana.
"Sedikit tertarik, tapi kedatanganku ke sini bukan untuk itu, Andini. Tujuanku ke sini tidak lain adalah untuk menemukan pusaka yang kesepuluh." Barata tiba-tiba menghentikan langkahnya saat melihat kerangka manusia yang masih mengenakan pakaian berwarna merah tergeletak di lantai.
"Ada apa, Tuan? Kenapa berhenti?" Andini berhenti mengacak-acak lemari tua begitu melihat Barata berdiri terpaku.
"Andini, ayo ikut aku!" Barata segera menghampiri tengkorak itu karena penasaran.
"Apakah orang ini adalah murid di perguruan ini, Tuan?" Andini memperhatikan tengkorak tersebut dengan seksama.
Barata tidak langsung menjawab pertanyaan gadis kecil itu karena dirinya sedang fokus mengamati tengkorak itu. Ia pun merasakan ada yang janggal dengan tengkorak itu.
"Tuan, kenapa diam?" tanya Andini.
"Mmm, sepertinya bukan. Jika melihat dari warna pakaian dan kalung yang dikenakannya," Barata menyimpulkan seperti itu sebab tengkorak itu tidak memakai kalung berlambang elang.
Andini yang melihat kalung pada kerangka itu masih terlihat bagus, tanpa pikir panjang langsung mengambilnya.
"Untuk apa kau mengambil kalung itu, Andini?" Barata menegur dengan rasa heran.
"Daripada muter-muter belum dapat apa-apa, Tuan, kan lumayan," jawab Andini sambil membersihkan kalung itu dari debu lalu menyimpannya.
"Dasar perempuan, tidak anak-anak tidak dewasa, selalu begitu jika melihat benda bagus,"batin Barata sambil menggelengkan kepalanya.
Sementara itu, Matsapati, Gandama, dan Arimba sudah jauh masuk ke dalam. Mereka bertiga sudah memasuki banyak ruangan dan menjelajahi reruntuhan itu. Namun, dari sekian banyak tempat yang mereka periksa, tak satu pun ada benda pusaka atau harta karun yang mereka temukan. Hal itu membuat ketiganya merasa kesal, terutama Matsapati. Dia sangat marah karena belum menemukan baju badak hitam yang dicarinya.
Ketiganya lalu menghentikan pencarian dan beristirahat sejenak di sebuah ruangan yang cukup luas. Melihat ruangan tersebut begitu besar, pastilah itu adalah aula pertemuan.
"Aku rasa baju badak itu tidak berada di sini, Kakang. Buktinya, sudah banyak tempat kita jelajahi, namun tetap saja tidak ketemu," kata Gandama sambil menyeka keringat di keningnya, lalu menatap Matsapati.
"Belum tentu. Aku yakin baju itu pasti ada di suatu tempat. Kita tidak boleh menyerah begitu saja, Gandama," Matsapati bersikeras untuk bisa menemukannya.