Cewek naif itu sudah mati!
Pernah mencintai orang yang salah? Nainara tahu betul rasanya.
Kematian membuka matanya, cinta bisa berwajah iblis.
Namun takdir memberinya kesempatan kedua, kembali ke sepuluh tahun lalu.
Kali ini, ia tak akan menjadi gadis polos lagi. Ia akan menjadi Naina yang kuat, cerdas, dan mampu menulis ulang akhir hidupnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaluBerkarya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33.
Tiga jam sebelumnya.
Julian merasakan firasat buruk ketika Nainara belum juga kembali dari toilet. Sudah hampir dua puluh menit ia menunggu di lobi, tapi tak ada tanda-tanda gadis itu akan keluar. Begitu ia hendak berdiri untuk menyusul, suara langkah kaki menggema di lorong, menampilkan Mami Audrey yang datang dengan wajah panik.
“Julian, Naina di mana?” tanya wanita itu cemas, matanya mencari ke sekeliling lobi.
Julian menoleh cepat, pandangannya mengarah ke koridor seolah berharap Naina muncul dari sana. “Tadi dia bilang mau ke toilet, Tante. Tapi ini sudah hampir dua puluh menitan, belum balik-balik,” jawabnya dengan nada panik. Ia segera berdiri, dan Mami Audrey ikut di belakangnya.
Langkah mereka terhenti di depan toilet wanita. Kosong. Tak ada siapa pun di sana.
“Nara… di mana kamu, Nak?” suara Mami Audrey bergetar, nyaris pecah. Ia menangis sambil menatap sekitar, sementara Julian memeriksa tiap sudut lorong. Tidak ada hasil. Keduanya akhirnya kembali ke ballroom. Pandangan mereka berkeliling, menembus keramaian para tamu yang masih tertawa, begitu menikmati alunan lagu yang mengiringi tubuh mereka untuk meliuk seirama, seolah dunia tak sedang kehilangan seseorang.
“Pi! Nainara hilang!” jerit Mami Audrey begitu menemukan suaminya.
Papi Jordan langsung berdiri, meninggalkan rekan bisnisnya, lalu berlari keluar. Ia menuju ruang petugas hotel untuk memeriksa CCTV.
Ballroom seketika ricuh. Musik berhenti. Orang-orang panik. Acara dibubarkan saat itu juga.
🍂
🍃
Kini, Zora, Julian, Nathan, dan Mami Audrey berdiri di ruang CCTV bersama Papi Jordan. Mereka menunggu hasil pemeriksaan dari petugas.
Sudah hampir lima menit, tak ada tanda-tanda rekaman tampil. Suara jemari gugup memencet papan sentuh jadi satu-satunya yang terdengar. Udara menegang.
“Kenapa lama?” suara Papi Jordan menggelegar, auranya mematikan. Tatapannya menusuk tajam ke arah petugas yang sibuk di depan layar.
“CCTV di area toilet rusak, Tuan,” jawab seseorang, tak berani menoleh.
“Apa maksudmu rusak?” Suara Papi Jordan meledak lagi. Ia menarik kursi petugas itu hingga terlempar ke belakang, mencengkeram kerah bajunya dan hampir menghantam, kalau saja Mami Audrey tak cepat menahan.
“Pi, ini bukan waktunya marah! Kita harus temukan Nara malam ini juga!” seru Mami Audrey sambil menarik tangan suaminya menjauh.
Julian berdiri tak jauh, matanya menatap layar gelap itu tajam. “Pak, boleh saya coba pulihkan?” suaranya pelan tapi tegas.
Petugas itu ragu sejenak sebelum mengangguk. Julian maju, jari-jarinya bergerak cepat di atas papan ketik, memasukkan pola sistem yang tak banyak orang tahu. Layar berkedip. Gambar yang tadinya gelap perlahan muncul—buram di awal, tapi makin lama makin jelas.
Zora dan Nathan menatap takjub. Sementara Mami Audrey menahan napas melihat rekaman itu. Terlihat Nainara masuk ke toilet. Di luar, ada sosok misterius mengenakan hoodie hitam, wajahnya tertutup masker senada. Posturnya... sangat familiar.
“Kayak kenal,” gumam Zora nyaris berbisik pada dirinya sendiri.
Semua mata tertuju pada layar saat sosok itu mengikuti Nainara keluar.Mereka terlihat serius memperhatikan rekaman, hingga saat Nainara keluar dan masih di ikuti, sampai saat Nainara di bawa oleh orang lain dari arah kiri berlawanan, gerakannya tak biasa, begitu cepat.
"Loh... loh, orang lain?" tanya Zora menatap tak percaya. sementara di layar kini menampilkan sosok orang pertama masih berdiri karena memang layar sedang di pause.
“Coba zoom orang ini, Pak!” seru Zora menunjuk layar.
“Ini Aaron, nggak sih? Tapi tadi dia datang ke pesta Nainara, bajunya putih,” ujar Zora dengan dahi berkerut, matanya belum lepas dari sosok misterius itu.
“Buka semua rekaman CCTV dari sekitar ballroom sampai area toilet,” perintah Papi Jordan dengan suara menahan emosi.
Julian menurut, tangannya cekatan. Tak lama, rekaman lain muncul—terlihat percakapan Julian dan Nainara di lobi sebelum gadis itu ke toilet, dan beberapa menit setelahnya Aaron terlihat keluar ballroom sendirian.
“Gerak-geriknya mencurigakan,” ucap Zora serius. “Aku yakin itu Aaron.”
“Berarti dia yang menculik Nara?” tanya Mami Audrey dengan suara gemetar, menggigit bibir bawahnya menahan cemas.
“Mungkin, Tante. Tapi bisa juga ada orang lain yang sekongkol,” ujar Zora. “Kita harus cari Naina sekarang juga!”
“Lacak nomor Aaron. Julian, bisa?”
Julian mengangguk. Begitu Zora mengeluarkan ponselnya, ia langsung bekerja cepat. Tak lama, titik lokasi Aaron muncul di layar.
...----------------...
Namun wajah Julian tak juga tenang. Dalam hati, ia merasa ada yang janggal. Gerakan penculik di rekaman terlalu cepat, terlalu tidak manusiawi. Ia menahan diri untuk tidak serta-merta menuduh Aaron.
Ketika yang lain bergegas menuju lokasi Aaron, Julian justru berbalik arah. Instingnya kuat, perasaannya mengatakan bahwa Nainara ada di tempat lain, dan seketika Julian seolah di tarik ke tempat sistem.
Ia berlari menembus lorong sepi hotel, langkahnya sangat cepat, tak sampai beberapa lama dia berhenti di depan rumah tua di sudut kota. pria itu melangkah tergesa, berjalan menuju ruang sistem. Tanpa pikir panjang, ia mendobrak pintu nya keras.
Di dalam, Jaevan duduk membelakangi pintu, dua asistennya berdiri kaku di sisi kanan-kiri.
“Kamu menculik Nainara!?” geram Julian.
Jaevan menoleh perlahan, senyum tipis menyeringai di wajahnya. “Seberapa jauh pun kamu kabur, pada akhirnya kamu akan kembali, Julian, hahahaha.” Suaranya dingin. Tawanya menggema panjang, seperti gema dari ruang besi. Ada kepuasan yang tersirat setelah sebelumnya dia kesal karena Julian yang sudah dia kurung hampir satu minggu, entah kenapa dia bisa kabur hari ini, seolah peringatan serta rasa sakit dari siksaan yang membabi buta dari Jaevan selama ini tidak mempan di pria itu.
Julian menatapnya dengan amarah. “Sialan! Jadi kamu culik Nainara cuma buat mancing aku balik!?”
Ia melangkah maju, meraih kerah Jaevan, tapi dua pria besar segera menariknya mundur. “Lepas!” teriak Julian, berusaha melepaskan diri, namun Jaevan hanya tertawa semakin keras.
Tangan Jaevan terangkat. Cahaya sihir menyambar, menghantam tubuh Julian dan membuatnya terpental ke tembok dengan keras.
“Uhuk!” Julian terbatuk hebat, darah menetes dari sudut bibirnya. Ia berusaha berdiri kembali, tapi serangan kedua datang lebih cepat. Tubuhnya kembali menghantam dinding, kali ini lebih keras.
Jaevan berdiri perlahan. Senyum dingin di wajahnya berubah getir. Ia menggerakkan jari, menciptakan simbol magis di udara, dan seketika tubuh Julian bergetar hebat. Kulitnya menegang, matanya berubah merah, rambutnya memanjang—setengah tubuhnya bertransformasi menjadi makhluk setengah manusia, setengah rubah.
“Kamu pembangkang!” suara Jaevan bergema. “Sekarang kamu ingin melihat gadis itu, kan? Silakan. Aku antarkan kamu... ke tempatnya.”
Julian menatap dengan sisa kekuatan terakhirnya. Jaevan tersenyum puas, menatap wajah Julian yang kini tampak sangat menyedihkan, lalu mengangkat tangannya lagi—dan cahaya terakhir menyelimuti ruangan itu.
...----------------...
"Kerja segitu saja kamu tidak becus!" Amarah memuncak dari seseorang pria paruh baya yang menatap tajam ke arah cowok di depannya.
"Siapa? siapa yang berhasil membawa dia lebih dulu?" ujarnya lagi dengan nada yang masih menunggu. Buku-buku tangannya terlihat kuat mencengkram berkas yang menumpuk di mejanya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...