Naifa, gadis berusia 18 tahun terjebak di sebuah pernikahan yang seharusnya diatur untuk sang kakak. Namun, ternyata sang suami adalah orang yang pernah menolongnya. Apakah Naifa bisa melewati kehidupan pernikahan di usia mudanya dan menjadi istri yang baik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Widia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mulai cemburu
Sampai di rumah, wajah Bian tetap tak berubah. Dia hanya diam, bahkan sepanjang menonton pun dia tak berekspresi walau hantu di film horor itu sangat menakutkan. Tak peduli dengan jeritan para penonton bahkan istri yang ada di sampingnya.
Naifa merasa tak enak hati, ingin bertanya namun takut sang suami tak menjawab. Gadis itu terus mencoba menerka apa yang membuat marah suaminya. Bahkan saat malam hari pun, Bian lebih memilih tidur di kamar lain.
"Sebenarnya enak juga sih kalau bobo sendiri, tapi kok aku didiemin gini. Padahal aku ga salah apa-apa," ucap Naifa dalam hati. Dia masih penasaran apa yang membuat suaminya diam seribu bahasa.
Minggu pagi, Bian masih saja tak bicara. Dia hanya memasak sarapan untuk sang istri lalu kembali ke kamar. Naifa begitu khawatir melihat tingkah Bian yang diam seribu bahasa. Kesalahan apa yang dilakukannya sampai sang suami mendiamkannya.
"Kak Bian, sarapan bareng yuk," ajak Naifa sambil mengetuk pintu kamar. Bian yang mencoba untuk mengacuhkannya, akhirnya luluh. Dia pun membuka pintunya dan duduk bersama sang istri di meja makan.
"Besok, kamu sekolah seperti biasa kan?" Tanya Bian pada istrinya.
"Iya kak, besok aku sekolah seperti biasa. Dan juga belajar untuk persiapan UAS dan ujian praktek," jawab Naifa semangat karena Bian mau berbicara padanya lagi.
"Pria kemarin, yang mengobrol denganmu apa dia sangat dekat denganmu sebelumnya?"
"Oh kak Ryan, dia pernah ngajak pacaran sih cuma aku tolak."
Deg! Dada Bian seakan dihantam sebuah batu besar, apalagi ketika tahu pria itu pernah naksir pada istrinya.
"Kenapa kamu tolak dia, dia tampan dan juga pintar," Bian terus memanas manasi istrinya. Dia ingin tahu bagaimana respon Naifa saat dirinya memuji kakak kelas itu.
"Dia memang tampan dan pintar sih, cuma aku gak mau pacaran aja. Aku udah bertekad untuk langsung menikah, dan dia juga nyuruh aku buat nungguin sekitar 3 tahun lagi."
Otaknya seolah mendidih mendengar pengakuan dari Naifa, dan istrinya kemarin mengenalkan dirinya sebagai kakak sepupu pada pemuda itu. Sebuah konspirasi muncul di pikirannya, apakah Naifa akan meninggalkannya jika pemuda itu melamarnya.
"Jika dia benar-benar melamarmu, apa kau akan menerimanya?" Tanya Bian memastikan, menunggu jawaban kejutan dari sang istri.
"Memangnya aku boleh bersuami dua?" Naifa balik bertanya dengan polosnya. Dia sebenarnya tak mengerti kenapa Bian bertanya seperti itu.
"Jelas tidaklah, kau harus bisa memilih salah satu. Antara aku atau pemuda itu."
"Aku gak bisa jawab," ucap Naifa yang membuat Bian semakin kepikiran. Alasan apa yang membuat gadis itu tak bisa menjawab disaat suaminya ada di hadapannya.
Bian tak bisa berkata apapun, namun dia juga memaklumi Naifa yang masih kekanakan. Apalagi pernikahan mereka yang terpaksa di jalani karena Sofia yang kabur.
"Kenapa kamu kemarin ngenalin aku sebagai kakak sepupu pada pemuda itu?" Tanya Bian penasaran, dia ingin tahu apa alasan sang istri tak bisa jujur pada pemuda itu.
"Karena aku mau pernikahan kita dirahasiakan sampai aku lulus sekolah, Kak Ryan kan alumni sekolah aku. Kalau dia tahu, bisa aja dia melapor ke guru atau kepala sekolah."
Memalukan, rasa cemburunya mengalahkan logikanya. Bian tak pernah berpikir ke arah sana karena cemburu melihat pemuda yang tampan dan lebih muda menyukai istrinya.
"Kalau begitu, kau harus banyak belajar. Biar cepat lulus," ucap Bian menahan malu sambil mengusap rambut sang istri. Naifa pun merasa Bian sudah tak marah lagi, walaupun dia tak tahu alasan mengapa suaminya tak berbicara padanya kemarin.
***
"Kamu mau pulang ke rumah umi abi?" Tawar Bian pada istri bocilnya. Namun, Naifa menggelengkan kepalanya. Bian merasa aneh, tumben istrinya tak merindukan orang tuanya.
"Sebenarnya aku kangen sama umi abi, tapi kalau pulang terus tetangga lihat. Bisa jadi gosip yang enggak-enggak kan."
"Benar juga, kalau begitu kita pergi ke rumah orang tua saya. Bagaimana?"
Naifa segera teringat kejadian beberapa tahun lalu. Pertama kali keluarganya main ke rumah Pak Sidiq, orang terkaya di kampung sekaligus sahabat abinya. Dia begitu takjub melihat rumah yang luas bak istana. Dengan semangat Naifa menganggukan kepalanya.
"Ya sudah, istri pake baju yang rapi. Saya juga mau ganti baju."
Naifa segera ke kamarnya, memilih pakaian yang dirasa pantas untuk berkunjung ke rumah mertuanya. Dia memilih kemeja stripe berwarna baby blue dan juga rok a line berwarna Ivory. Tak lupa dengan jilbab segi empat berwarna biscuit dan di pasukan dengan sepatu pentofel berwarna krim.
Bian menatap istrinya, gayanya terlihat lebih dewasa. Namun wajah imutnya tetap tak bisa di sembunyikan.
"Cantik," pujinya pada sang istri. Wajah Naifa memerah mendengar pujian itu, entah kenapa hatinya selalu berdebar setelah kepindahan mereka ke rumah Bian.
Bian pun membawa mobilnya menuju rumah orang tuanya di kampung sebelah. Tak lama perjalanan mereka karena jaraknya cukup dekat. Naifa begitu takjub melihat gerbang dan pagar rumah yang tinggi, dia merasa jika rumah teman abinya ini semakin mewah dan bagus.
Bian menekan bel rumahnya, dan seseorang membuka pintu. Terlihat wanita berumur 30an memanggil suaminya dengan sebutan Tuan Muda.
"Wah Nyonya Muda juga ikut. Kebetulan Tuan Besar lagi ada di halaman belakang. Langsung ke sana saja Tuan."
Bian pun berjalan menuju halaman belakang, di ikuti oleh Naifa di belakangnya. Sambil memperhatikan interior rumah yang berbeda dengan yang dilihatnya 8 tahun lalu.
"Pa, lagi ngapain rame-rame disini." Ucap Bian sambil menghampiri dan merangkul Pak Sidiq, tak lupa Naifa yang mencium tangan papa mertuanya.
"Menantu, ayo kemari nak. Disini kita sedang menikmati weekend dengan renang, dan juga makan siang di pinggir kolam. Bian, kamu telat datang kemari. Kenapa tidak datang ke rumah saat pagi?"
Bian nampak bingung menjawab, karena pagi tadi dirinya sedikit bersitegang dengan sang istri. Dari kejauhan nampak seorang pria yang terlihat lebih muda. Kulitnya begitu putih dan hidungnya mancung, memandang aneh Bian dan Naifa yang mengobrol dengan Pak Sidiq. Pria itu pun mendekati mereka dan menyapa kakak iparnya dengan wajah yang kurang ramah.
"Kak, ikut bentar deh." Pria yang ternyata adik dari Bian, membawa kakaknya ke dalam rumah. Mencari tempat yang tak mungkin obrolannya bisa di dengar orang lain.
"Kejutan banget, kakak membawa istri yang bahkan lebih cocok buat adik kita. Kakak sadar gak sih, ini tuh bisa di tuntut ke ranah hukum," ucap Zayyan.
"Kamu sendiri gak hadir saat pernikahan kakak, jadi kamu gak tahu ceritanya serumit apa. Memangnya papa gak cerita sama kamu?"
"Papa cuma cerita kalau kakak sudah menikah dengan gadis cantik dan baik, ya aku fikir dia seumuran kakak atau aku. Dilihat darimana pun, dia seperti anak sekolah."
"Dia memang masih sekolah, kelas XII. Dan ini juga sudah kesepakatan dua belah pihak." Penjelasan Bian membuat adiknya semakin terkejut, dia yang tahu sifat kakaknya merasa jika Bian sudah kehilangan akal.
"Astagfirullah, terus kakak sudah melakukan itu dengan dia yang masih di bawah umur?" Tanya Zayyan yang penasaran.
"Kita sudah membuat perjanjian, aku gak akan menyentuhnya sampai dia bersedia. Sudah, kamu minum dulu. Pasti energi kamu habis karena dengar kenyataan ini kan."
Bian memberikan segelas air pada adiknya, tanpa jeda Zayyan pun meneguknya sampai habis. Dia masih tak habis pikir dengan kakaknya yang mengambil keputusan seperti ini.
Bina gelisa karna 2 buaya ganguin Naifa
sedangkan Naifa gelisah karna sofia belum tau kalo Naif sudah memikah sama Bian...
piye iki... makin seru
kira2 apa yang akn di lakukan sofia ya kalo tau Naifa yang menggnatikan posisi dia jadi istrinya Bian....
masa pelakornya kaka kandung sediri
gimana jadinya yah...
maklum sih masih bocil....