NovelToon NovelToon
TERPAKSA MENIKAHI CEO BEJAD

TERPAKSA MENIKAHI CEO BEJAD

Status: sedang berlangsung
Genre:Perjodohan / Cerai / CEO / Percintaan Konglomerat / Konflik etika / Balas Dendam
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Alviona Mahira berusia 15 tahun baru lulus SMP ketika dipaksa menikah dengan Daryon Arvando Prasetya (27 tahun), CEO Mandira Global yang terkenal tampan, kaya, dan memiliki reputasi sebagai playboy. Pernikahan ini hanya transaksi bisnis untuk menyelamatkan keluarga Alviona dari kebangkrutan.

Kehidupan rumah tangga Alviona adalah neraka. Siang hari, Daryon mengabaikannya dan berselingkuh terang-terangan dengan Kireina Larasati—kekasih yang seharusnya ia nikahi. Tapi malam hari, Daryon berubah menjadi monster yang menjadikan Alviona pelampiasan nafsu tanpa cinta. Tubuh Alviona diinginkan, tapi hatinya diinjak-injak.
Daryon adalah pria hyper-seksual yang tidak pernah puas. Bahkan setelah bercinta kasar dengan Alviona di malam hari, pagi harinya dia bisa langsung berselingkuh dengan Kireina. Alviona hanya boneka hidup—dibutuhkan saat Daryon terangsang, dibuang saat dia sudah selesai.

Kehamilan, keguguran karena kekerasan Kireina, pengkhianatan bertubi-tubi

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 8: JERIT HATI YANG TAK TERDENGAR

Tiga hari berlalu sejak malam itu.

Tiga hari Alviona gak keluar kamar sama sekali.

Pelayan sesekali ngetuk pintu, ninggalin nampan makanan di depan kamar. Tapi Alviona jarang makan. Paling cuma beberapa suap, terus makanannya dingin lagi, gak kesentuh.

Tubuhnya masih sakit. Lebam-lebam baru belum hilang. Yang lama aja belum pudar, udah nambah yang baru. Sekarang tubuhnya kayak kanvas penuh lukisan kekerasan—ungu, biru, merah—di lengan, di pergelangan tangan, di paha, di leher.

Dia gak berani liat cermin.

Karena setiap kali liat, yang dia liat bukan dirinya lagi. Cuma cangkang kosong. Boneka rusak yang udah dipake berkali-kali.

Daryon gak datang lagi sejak malam itu. Entah dia sibuk. Entah dia bosan. Atau mungkin dia lagi di tempat Kireina.

Alviona gak peduli lagi.

Atau lebih tepatnya... dia coba gak peduli. Tapi setiap malam, dia tetep ngerasain sesak di dada. Kayak ada yang nyekik dari dalam.

Sore itu, Alviona duduk di pojok kamar, memeluk lutut, natap jendela yang ngeliatin taman luas mansion. Hujan turun pelan, air netes-netes di kaca jendela. Suara rintiknya harusnya menenangkan.

Tapi Alviona cuma ngerasa... kosong.

Tangannya meraih ponsel yang udah berhari-hari gak dia sentuh. Layarnya nyala—beberapa chat dari Nayla yang nanya kabar, tapi Alviona gak bales. Ada juga chat dari temen-temen SMP yang sesekali ngirimin meme atau cerita seru mereka.

Mereka keliatan... bahagia. Normal.

Sementara Alviona...

Jarinya scroll ke kontak "Ibu."

Dia natap nama itu lama.

Lama banget.

Apa ibunya bakal ngerti? Apa ibunya bakal percaya?

Atau... apa ibunya bakal nyuruh Alviona bertahan lagi?

Tapi Alviona gak kuat lagi. Dia butuh suara ibunya. Butuh seseorang—siapapun—yang bisa dengerin dia. Yang bisa bilang, "Kamu gak sendirian."

Tangannya gemetar waktu dia pencet tombol panggil.

Nada sambung terdengar. Satu. Dua. Tiga—

"Halo? Viona?"

Suara ibunya terdengar di seberang. Suara yang udah lama gak dia denger. Suara yang bikin sesuatu di dada Alviona... pecah.

"Ibu..."

Suaranya keluar pelan, serak, penuh air mata yang ditahan.

"Viona, sayang! Kamu baik-baik saja? Sudah lama sekali tidak menelepon. Ibu khawatir—"

"Ibu... tolong..." Suara Alviona tiba-tiba pecah, tangisannya meledak. "Tolong jemput aku... kumohon..."

Keheningan di seberang.

"Viona... sayang, kenapa? Kenapa kamu menangis?"

"Aku... aku gak kuat, Bu..." Alviona nangis keras sekarang, gak peduli lagi siapa yang denger. "Aku gak kuat hidup di sini... kumohon jemput aku pulang... aku pengen pulang..."

"Viona, tenanglah dulu, sayang. Cerita sama ibu pelan-pelan—"

"Dia... dia jahat, Bu..." Alviona mengusap air matanya kasar, tapi air mata terus keluar. "Daryon... dia gak pernah sayang sama aku... dia punya selingkuhan... dia... dia nyakitin aku, Bu..."

Suaranya bergetar hebat, napasnya pendek-pendek.

"Setiap malam dia... dia cuma... cuma pake aku buat... buat pelampiasan... aku sakit, Bu... aku sakit banget..."

"Viona..." Suara ibunya mulai bergetar juga.

"Kumohon, Bu... jemput aku... aku pengen pulang... aku janji aku gak bakal minta apa-apa lagi... aku cuma pengen pulang ke rumah... kumohon..."

Keheningan lagi. Tapi kali ini lebih lama. Terlalu lama.

Dan Alviona bisa denger—samar-samar—suara ibunya yang mulai terisak.

"Viona... sayang..." Suara ibunya pecah. "Ibu... ibu gak bisa."

Dunia Alviona berhenti.

"A-apa?"

"Ibu gak bisa jemput kamu pulang..." Elviana menangis sekarang, suaranya penuh rasa bersalah. "Kalau kamu pulang... kalau kamu ninggalin pernikahan ini... keluarga Prasetya akan tarik semua bantuan mereka..."

"Tapi Bu—"

"Ayahmu akan masuk penjara, Viona..." Ibunya terisak. "Adikmu gak bisa sekolah lagi... rumah kita akan disita... kita akan kehilangan semuanya..."

Alviona ngerasa seluruh tubuhnya mati rasa.

"Jadi... jadi aku harus tetep di sini?" bisiknya lirih, suaranya hampa.

"Bertahanlah, Viona..." Ibunya berbisik di seberang, suaranya parau. "Kumohon... bertahanlah... keluarga kita bergantung padamu..."

"Tapi aku... aku gak kuat, Bu..."

"Kamu kuat, sayang. Kamu kuat. Ibu tau kamu kuat..." Elviana menangis keras sekarang. "Maafkan ibu... maafkan ibu... tapi kumohon... bertahanlah..."

Dan telepon terputus.

Alviona natap layar ponselnya yang gelap.

Kosong.

Hampa.

Telepon itu harusnya jadi penyelamatan. Tapi yang dia dapet cuma... perintah buat bertahan.

Bertahan.

Di neraka ini.

Sendirian.

Malam itu, Alviona turun ke dapur.

Mansion sunyi. Semua pelayan udah tidur. Lampu redup cuma nyala di beberapa sudut. Langkahnya pelan, kayak hantu yang nyasar di rumah sendiri.

Dia buka laci dapur.

Dan ngeliat deretan pisau di sana.

Pisau kecil buat buah. Pisau sedang buat sayur. Pisau besar buat daging.

Alviona berdiri di sana, natap pisau-pisau itu lama.

Tangannya terangkat pelan, jarinya menyentuh gagang pisau kecil. Dingin. Tajam.

Sesuatu berbisik di kepalanya.

"Kalau kamu mati... semuanya selesai. Gak ada sakit lagi. Gak ada penghinaan lagi. Gak ada malam-malam mengerikan lagi."

Alviona mengangkat pisau itu.

Natapnya.

Mata kosongnya ngeliatin pantulan dirinya di bilah pisau yang mengkilat.

"Apa mati..." bisiknya pelan, suaranya serak, "...lebih baik daripada hidup seperti ini?"

Air matanya jatuh lagi. Tapi tangannya gak gemetar.

Dia capek gemetar. Capek takut. Capek sakit.

Mungkin... mungkin ini jalan keluarnya.

Tangannya mengangkat pisau lebih tinggi, mengarahkan ujungnya ke pergelangan tangannya sendiri. Kulitnya putih pucat, urat-urat kecil keliatan jelas.

Satu sayatan. Itu aja.

Satu sayatan dan semuanya selesai.

"Viona..."

Suara pelan dari belakang bikin Alviona membeku.

Dia noleh cepat—dan ngeliat salah satu pelayan tua, Bi Sari, berdiri di ambang pintu dapur. Wajahnya khawatir, matanya berkaca-kaca.

"Nona... jangan..." bisik Bi Sari lirih, melangkah pelan ke arah Alviona. "Kumohon... jangan..."

Alviona natap Bi Sari, terus natap pisau di tangannya lagi.

"Aku... aku gak kuat lagi, Bi..."

"Aku tau, Nona... aku tau..." Bi Sari melangkah lebih deket, tangannya terulur pelan. "Tapi ini bukan jalan keluarnya..."

"Lalu apa jalan keluarnya?!" Suara Alviona tiba-tiba meledak, air matanya deras. "Aku dipaksa nikah! Aku disakiti! Aku gak dianggap manusia! Aku... aku cuma boneka buat dipake terus dibuang!"

Bi Sari menangis diam-diam.

"Keluargaku butuh aku bertahan... tapi aku... aku gak bisa, Bi... aku gak bisa lagi..."

"Nona..." Bi Sari akhirnya sampai di depan Alviona, tangannya pelan meraih tangan Alviona yang memegang pisau. "Kumohon... lepaskan pisaunya... kumohon..."

Alviona natap Bi Sari lama.

Dan akhirnya... tangannya melemas.

Pisau jatuh ke lantai dengan bunyi keras.

KLANG!

Alviona roboh—kaki lemas—dan Bi Sari langsung meluk dia, menopang tubuhnya yang gemetar.

"Menangislah, Nona... menangislah..." bisik Bi Sari sambil ngelus punggung Alviona. "Kau boleh menangis... kau boleh lemah..."

Dan Alviona menangis.

Menangis keras di pelukan Bi Sari—pelayan yang bahkan baru dia kenal beberapa minggu. Tapi pelukan itu... hangat. Sesuatu yang udah lama gak dia rasain.

"Aku capek, Bi..." isak Alviona. "Aku capek banget..."

"Aku tau, Nona... aku tau..."

Mereka duduk di lantai dapur yang dingin, diterangi lampu redup, sementara Alviona menangis sampai gak ada air mata lagi.

Dan malam itu, Alviona ngerti satu hal:

Dia gak bisa mati.

Bukan karena dia kuat.

Tapi karena keluarganya butuh dia tetep hidup.

Jadi dia harus bertahan.

Walau itu artinya... hidup di neraka.

[ END OF BAB 8 ]

1
Eflin
.uuuuiu]uui
Eflin
pkpp
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!