NovelToon NovelToon
GLOW UP : SAYONARA GADIS CUPU! (MISI MEMBUATMU MENYESAL)

GLOW UP : SAYONARA GADIS CUPU! (MISI MEMBUATMU MENYESAL)

Status: sedang berlangsung
Genre:Sistem / Crazy Rich/Konglomerat / Mengubah Takdir / Aplikasi Ajaib
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Kde_Noirsz

Hancurnya Dunia Aluna Aluna Seraphine, atau yang akrab dipanggil Luna, hanyalah seorang siswi SMA yang ingin hidup tenang. Namun, fisiknya yang dianggap "di bawah standar", rambut kusut, kacamata tebal, dan tubuh berisi, menjadikannya target empuk perundungan. Puncaknya adalah saat Luna memberanikan diri menyatakan cinta pada Reihan Dirgantara, sang kapten basket idola sekolah. Di depan ratusan siswa, Reihan membuang kado Luna ke tempat sampah dan tertawa sinis. "Sadar diri, Luna. Pacaran sama kamu itu aib buat reputasiku," ucapnya telak. Hari itu, Luna dipermalukan dengan siraman tepung dan air, sementara videonya viral dengan judul "Si Cupu yang Gak Tahu Diri." Luna hancur, dan ia bersumpah tidak akan pernah kembali menjadi orang yang sama.

Akankah Luna bisa membalaskan semua dendam itu? Nantikan keseruan Luna...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 16 : BAHASA KEHENINGAN

Musim dingin di Zurich mencapai puncaknya. Di luar jendela mansion, salju turun dengan tenangnya, membungkus dahan-dahan pohon cemara dengan selimut putih yang dingin. Namun, di dalam ruang perpustakaan pribadi yang luas, suasananya justru memanas. Bukan oleh api di perapian, melainkan oleh intensitas pelajaran yang sedang dijalani Aluna.

Di depan Luna, tiga layar monitor holografik melayang di udara, menampilkan data yang rumit seperti grafik saham, profil individu, dan rekaman audio yang terenkripsi.

"Ulangi," perintah Xavier. Ia berdiri di belakang Luna dengan tangan bersedekap, wajahnya sedingin salju di luar sana.

Luna menarik napas panjang, matanya yang kini tajam menatap deretan data tersebut. "Keluarga Maya Sanjaya. Bisnis butik ibunya, Selin Luxury, sebenarnya hanyalah kedok untuk pencucian uang dari proyek infrastruktur bodong yang dikelola oleh ayah Reihan. Jika aku menarik dukungan dari bank koresponden di Singapura, seluruh aliran dana mereka akan membeku dalam waktu empat puluh delapan jam."

"Bagus," komentar Xavier datar. "Tapi itu hanya cara menghancurkan bisnis. Bagaimana cara menghancurkan jiwanya?"

Luna terdiam sejenak. Ia menggeser layar, menampilkan profil pribadi Maya. "Maya sangat terobsesi dengan pengakuan sosial. Dia baru saja mendaftar untuk audisi model di agensi elit Vogue Zurich melalui jalur undangan palsu. Jika aku membiarkannya pergi ke sana, lalu mengungkap di depan juri bahwa dia adalah putri dari seorang tersangka pencucian uang... dia tidak akan pernah bisa mengangkat kepalanya lagi di dunia mode selamanya."

Xavier mengangguk pelan. "Pengetahuan adalah senjata, Luna. Tapi kesabaran adalah picunya. Jangan pernah menembak sebelum sasaranmu berada di titik paling tinggi. Kejatuhan akan terasa lebih menyakitkan dari ketinggian."

Latihan hari itu berakhir, namun Luna tidak segera beristirahat. Ia memiliki satu akses khusus yang diberikan Xavier: sebuah saluran satelit pribadi yang terhubung dengan sistem pengawasan di SMA Pelita Bangsa.

Luna duduk di kursi kulitnya, jemarinya yang kini lentur dan terawat menari di atas keyboard. Layar besar di hadapannya menampilkan rekaman langsung dari kantin sekolah.

Ia melihat mereka.

Maya sedang duduk di meja favorit mereka, namun tidak ada lagi tawa keras yang biasanya menggema. Wajahnya tampak kusam, tanpa riasan mahal yang biasanya ia pamerkan. Di sampingnya, Kevin sedang sibuk dengan laptopnya, terlihat panik setiap kali ada notifikasi masuk.

Lalu, Reihan muncul.

Luna merasakan dadanya berdenyut kencang saat melihat wajah itu. Reihan tidak lagi memakai jaket basket yang angkuh. Ia tampak kurus, matanya cekung, dan ada bekas luka di rahangnya kenangan dari pukulan Xavier. Ia sedang dikerumuni oleh beberapa orang penagih utang yang menyamar sebagai wali murid di parkiran sekolah.

"Lihatlah mereka," sebuah suara lembut namun berat mengagetkan Luna.

Madam sudah berdiri di ambang pintu, mengenakan jubah beludru hitam. Ia berjalan mendekat dan berdiri di samping kursi Luna.

"Apakah mereka terlihat seperti monster bagimu sekarang, Aluna?" tanya Madam sambil menatap layar.

"Mereka terlihat... kecil," jawab Luna jujur. "Dulu mereka seperti raksasa yang bisa meremukkanku kapan saja. Sekarang mereka hanya terlihat seperti serangga yang sedang berebut remah-remah di atas meja yang mau roboh."

Madam Celine tersenyum tipis. "Itulah yang terjadi ketika kamu memiliki perspektif. Kamu bukan lagi mangsa, Aluna. Kamu adalah pemilik hutan ini. Tapi ingat, serangga yang terpojok pun bisa menyengat. Jangan meremehkan keputusasaan mereka."

Madam kemudian meletakkan sebuah map perak di depan Luna. "Xavier melaporkan kemajuanmu sangat pesat dalam bahasa Mandarin dan Prancis. Tapi ada satu bahasa yang belum kamu kuasai: bahasa keheningan."

"Maksud Madam?"

"Kemampuan untuk hadir di tengah musuhmu tanpa membuat mereka menyadari bahwa kamu adalah ancaman. Nanti, kamu tidak akan masuk ke sekolah itu dengan berteriak bahwa kamu adalah Seraphine. Kamu akan masuk sebagai misteri. Biarkan mereka mencarimu, biarkan mereka penasaran, dan biarkan mereka perlahan-lahan menyadari bahwa gadis yang mereka injak dulu adalah dewi yang memegang tali leher mereka sekarang."

Malam itu, Xavier membawa Luna ke sebuah ruangan di bawah tanah mansion. Ruangan itu dipenuhi dengan berbagai macam senjata mulai dari pisau lempar hingga senjata api canggih.

"Aku tidak ingin kamu menjadi pembunuh," kata Xavier sambil mengambil sebuah belati kecil yang indah dengan gagang bertahta permata. "Tapi aku ingin kamu tahu bagaimana rasanya memegang nyawa seseorang di tanganmu. Agar kamu tidak ragu saat harus mengambil keputusan sulit."

Xavier berdiri di belakang Luna, membimbing tangannya untuk memegang belati tersebut. Kedekatan mereka membuat Luna bisa merasakan aroma parfum sandalwood dan panas tubuh Xavier. Selama latihan di Zurich, Xavier telah menjaga jarak yang sangat formal, namun di saat-saat seperti ini, Luna merasa Xavier masihlah pria yang sama yang dulu menyampirkan jaket di bahunya saat hujan.

"Targetmu adalah papan di sana," bisik Xavier di telinga Luna. "Jangan gunakan matamu saja. Gunakan instingmu. Rasakan setiap tarikan napas lawanmu."

Syuuuut! Jlep!

Belati itu tertancap tepat di tengah sasaran.

Luna menatap belati itu, lalu menatap tangannya. Tangan yang dulu hanya digunakan untuk memegang buku pelajaran yang robek, kini memegang senjata mematikan.

"Xavier," panggil Luna pelan.

"Ya, Nona?"

"Kenapa kamu tetap bersamaku? Madam mempekerjakanmu, aku tahu. Tapi... apakah tidak ada bagian dari dirimu yang ingin bebas dari semua kekacauan keluarga ini?"

Xavier terdiam sejenak. Ia menarik kembali belati dari papan sasaran dengan gerakan efisien. "Duniaku adalah bayangan, Luna. Dan bayangan tidak punya tempat lain selain di samping cahaya. Tugas ini... melindungimu... adalah satu-satunya hal yang membuatku merasa memiliki tujuan."

Luna ingin bertanya lebih jauh, namun suara alarm di tablet Xavier berbunyi.

"Ada aktivitas mencurigakan di sekitar bibimu," ucap Xavier cepat. Wajahnya kembali ke mode siaga.

Luna tersentak. "Apa?! Madam bilang bibiku aman!"

"Dia aman di mansion pinggiran kota, tapi sepertinya ada penyusup yang mencoba melacak lokasinya. Seseorang dari Indonesia telah mengirimkan tim detektif swasta."

"Reihan?" tanya Luna penuh kebencian.

"Bukan. Reihan tidak punya cukup uang untuk ini," Xavier menggeser data di pergelangan tangannya. "Ini adalah detektif tingkat tinggi. Yang mengirim mereka adalah... Valerie."

Nama itu disebut lagi. Luna mengepalkan tangannya. Valerie, sepupu angkatnya yang merasa terancam dengan kepulangannya.

"Dia mulai takut," gumam Luna. "Dia tahu aku masih hidup."

"Dia belum tahu identitasmu yang sekarang," koreksi Xavier. "Dia hanya tahu bahwa Madam sedang menyembunyikan seseorang di Zurich. Dan dia ingin tahu siapa 'gangguan' itu sebelum pengumuman resmi ahli waris."

Xavier menatap Luna dengan serius. "Latihan kita akan dipercepat. Kita tidak punya waktu enam bulan lagi. Kita hanya punya tiga bulan. Kamu harus kembali ke Indonesia lebih cepat dari rencana semula."

Luna menatap pantulan dirinya di logam belati. Wajahnya yang lembut kini memiliki garis-garis ketegasan. Rasa takut yang dulu selalu membayanginya kini telah digantikan oleh api yang tenang namun membara.

"Aku siap," ucap Luna. "Katakan pada Madam, aku tidak butuh tiga bulan lagi. Aku akan menguasai semua bahasa dan strategi itu dalam satu bulan. Aku ingin kembali ke SMA Pelita Bangsa sebelum Reihan dan gengnya sempat melupakan bau ketakutanku."

Di belahan bumi lain, di sebuah kelab malam elit di Jakarta, Valerie Seraphine sedang duduk di sofa VVIP. Di depannya, Kevin si jenius komputer dari geng Reihan yang kini tampak lusuh sedang berlutut memohon sesuatu.

"Tolong, Kak Valerie... Reihan butuh bantuan dana untuk pengacaranya," rintih Kevin.

Valerie menyesap minumannya, lalu menatap Kevin dengan jijik. "Aku tidak membantu pecundang. Tapi... aku dengar kamu tahu banyak tentang Aluna si Cupu itu? Katakan padaku, ke mana dia pergi setelah hari ujian terakhir itu?"

"Dia... dia pergi sama cowok bernama Xavier. Mereka hilang seperti ditelan bumi."

Valerie tersenyum misterius. "Xavier, ya? Menarik. Sepertinya nenekku sedang bermain-main dengan bidak lama. Kevin, kamu akan bekerja untukku sekarang. Tugasmu hanya satu: cari tahu apakah gadis cupu itu masih bernapas. Jika iya... aku sendiri yang akan memastikan dia berhenti bernapas sebelum dia sempat menginjakkan kaki di kantor Seraphine."

1
Ayu Nur Indah Kusumastuti
😍😍 xavier
Ayu Nur Indah Kusumastuti
semangat author
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!