"DAVINNNN!" Suara lantang Leora memenuhi seisi kamar.
Ia terbangun dengan kepala berat dan tubuh yang terasa aneh.
Selimut tebal melilit rapat di tubuhnya, dan ketika ia sadar… sesuatu sudah berubah. Bajunya tak lagi terpasang. Davin menoleh dari kursi dekat jendela,
"Kenapa. Kaget?"
"Semalem, lo apain gue. Hah?!!"
"Nggak, ngapa-ngapain sih. Cuma, 'masuk sedikit'. Gak papa, 'kan?"
"Dasaaar Cowok Gila!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raey Luma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jersey
"Kalian semua tunggu di lapangan. Gue nyusul," ucap Davin kepada tiga temannya.
"Bro, lu serius?" Raga kembali bertanya.
"Apa gue keliatan lagi bercanda?"
"Enggak. Tapi, maksud gue—"
"Gue baik-baik aja. Lo gak usah khawatir."
Raga akhirnya berbalik pergi bersama dua temannya menuju lapangan indoor untuk pemanasan. Namun langkah mereka tidak sepenuhnya ringan.
Mereka tahu Davin tipe orang yang gak akan bilang “gue sakit” atau “gue capek.”
Biasanya, kalau dia ngomong “gue baik-baik aja”, itu artinya sebaliknya.
Begitu ketiga temannya hilang di balik pintu, Davin menegakkan tubuhnya sambil menahan sesak di dada. Bekas pukulan di perut tadi masih terasa.
Ia menunduk, mengambil tas yang sempat disepak anak buah Rey. Tali tasnya sedikit robek, tapi masih bisa dipakai.
Lorong sekolah sepi.
Davin berjalan perlahan menuju ruang ganti, berniat mengganti jersey latihan. Namun baru beberapa langkah masuk ke lorong kecil yang menuju lapangan…
empat cowok tadi kembali menghadang.
Kali ini tanpa banyak gaya.
Tanpa ancaman.
Tanpa provokasi.
Hanya berdiri menghalangi jalan.
Cowok yang paling tinggi menyilangkan tangan.
“Lu ngerti gak sih kalo lo gak boleh tanding dulu.”
Davin tidak kaget sama sekali.
“Gue udah bilang, gue gak mau ribut,” ujarnya datar.
“Gue cuma mau latihan.”
Cowok itu menggeleng lambat.
“Lo harus istirahat di ruang UKS.”
Davin mengerutkan kening.
“Masih mau drama?”
Cowok itu mendengus.
“Lagian bener. Lu jangan maksain diri buat main. Tenang, kita yang jagain.”
Davin tertawa pelan, bukan karena lucu.
“Dia peduli atau lo semua sengaja biar gue gak muncul pas tanding?”
Mereka tidak menjawab.
Itu cukup untuk Davin.
Ia melangkah ke kanan. Diblok. Ke kiri. Diblok lagi.
Ia mendongak sedikit. Tatapannya tajam, tapi suaranya tetap tenang.
“Gue gak mau bikin masalah. Gue cuma mau latihan. Tandingnya masih satu jam lagi. Minggir.”
Cowok besar itu mengangkat bahu.
“Lu istirahat aja dulu. Kalo maksa lewat, ya… lo tau sendiri kita harus apa.”
Davin mengepalkan tangan di balik kantong celana, tapi wajahnya tetap dingin.
“Gue gak mau telat gabung sama tim.”
“Ya udah. Tunggu Rey datang.”
Davin menggeram pelan dalam hati.
Situasi makin jelas:
Rey sengaja bikin dia gak bisa latihan.
Bukan demi tim atau demi Leora.
Lebih ke… demi ambisinya sendiri.
Davin melirik jam di dinding lorong.
Masih ada waktu.
Tapi tidak banyak.
Jika dia diam saja, tubuhnya akan makin kaku, dan itu fatal untuk pertandingan nanti.
“Gue lewat. Mau kalian suka atau enggak.”
Cowok itu bersiap menahan—
—tapi langkah kaki keras terdengar dari belakang.
“Kalian lagi ngapain di situ?!”
Semua menoleh.
Pak Aditya, guru BP, melangkah mendekat dengan wajah curiga.
Cowok-cowok itu langsung meluruskan badan seolah tak terjadi apa-apa.
“Gak apa-apa, Pak. Cuma ngobrol kok.”
Pak Aditya melirik Davin, memperhatikan bibirnya yang sedikit pecah dan wajah yang terlihat lelah.
“Davin, kamu nggak latihan sama tim?”
Davin menggeleng.
“Tadi mau, Pak. Tapi…”
Pak Aditya mengangkat alis.
“Tapi apa?”
Keempat cowok itu buru-buru menunduk.
Davin tidak mau memperpanjang.
Dia benci drama.
“Gak apa apa, Pak. Saya bisa jalan sendiri.”
Pak Aditya tampak ragu, tapi ia angkat tangan menyuruh empat cowok itu bubar.
“Pergi kalian. Kalau saya lihat kalian kumpul di lorong ini lagi tanpa alasan, saya panggil orang tua kalian ke sini.”
Mereka pun pergi dengan wajah kesal, meski tak berani melawan.
Begitu mereka menjauh, Raga muncul di tikungan dengan jersey latihan setengah basah keringat.
“VIN! Lu ngapain di sini? Pemanasan udah mulai!”
Davin akhirnya bisa bernapas lega.
“Sorry. Gue telat.”
Raga menepuk bahunya.
“Gak apa apa bro. Lu kalo dingin gak bagus buat otot lo itu.”
Davin mengangguk.
“Gue tau.”
Ia berjalan cepat menuju lapangan.
Begitu pintu terbuka, aroma lantai kayu dan pantulan bola basket langsung menyambut. Timnya sedang melakukan lay-up drill, dan pelatih menoleh begitu melihat Davin masuk.
“Kamu telat, Davin.”
“Maaf, Coach. Ada urusan tadi. Saya siap latihan.”
Pelatih memeriksa wajahnya sebentar.
Namun melihat Davin tegap dan fokus, ia mengangguk singkat.
“Oke. Masuk barisan. Pemanasan masih lima menit lagi.”
Davin langsung mengambil posisi di belakang Raga.
Dan tepat saat ia mulai dribble…
Ponselnya bergetar di kantong celana.
Dari:
Leora
Singkat.
Lu udah latihan?
Davin menahan senyum kecil yang tak bisa ia cegah.
Jari-jarinya mengetik cepat.
Udah. Lo makan yang bener.
Lalu ia menyelipkan ponsel kembali ke saku.
Fokus penuh ke lapangan.
Karena satu jam lagi, pertandingan sebenarnya akan dimulai.
Setelah hampir empat puluh menit, latihan tambahan selesai. Napas para pemain masih teratur meski keringat membasahi wajah.
“Pertandingan resmi tinggal tiga puluh menit lagi. Ini pemanasan terakhir,” ujar pelatih itu tegas. “Fokus kalian bagus, tapi jangan lengah. Apalagi kamu, Vin. Jangan terpancing emosi.”
Davin hanya mengangguk, menunduk sedikit sambil menyeka peluh dengan handuk di bahunya.
Setelah pengarahan singkat, mereka diminta melakukan sparring ringan dengan tim tamu yang sudah tiba lebih awal.
Sparring pertama berjalan mulus.
Sparring kedua, yang menjadi masalah.
Tim lawan tampak lebih agresif. Salah satu pemainnya, seorang forward tinggi besar, mulai melakukan gerakan-gerakan yang tidak semestinya.
Sikutnya mengenai lengan Davin, bahunya menabrak keras, bahkan sempat menjegal kaki Davin saat mengambil bola.
Coach Bram mengangkat tangan, hendak protes, namun wasit sparring—yang lebih mirip penjaga pertandingan pemanasan daripada wasit resmi—hanya mengangkat bahu, seolah menganggap itu bagian dari permainan.
“Vin, lo gapapa?” bisik Raga saat jeda singkat.
“Main aja.”
Jawaban Davin datar, tajam, jelas menunjukkan bahwa ia tidak ingin dihentikan.
Pertandingan pemanasan berlanjut.
Kali ini pemain lawan itu semakin menjadi-jadi. Gerakannya sengaja kasar, dan saat Davin berhasil mencuri bola, pemain tersebut langsung menarik bagian belakang jersey Davin dengan kasar.
Crak—
Suara robeknya jelas terdengar.
Semua orang membelalak.
Jersey biru gelap Davin koyak memanjang dari bahu sampai punggung.
Namun bukannya kesal atau berhenti, Davin malah menghempaskan jerseynya sendiri, melepaskannya sepenuhnya.
Dan mendadak seluruh lapangan mendadak… hening.
Tubuhnya yang tinggi, dengan garis otot perut terukir rapi, bahu lebar, dan otot lengan yang terbentuk bagus membuat para siswa yang menonton di pinggir lapangan serentak bersuara.
“Gila… dia kek gitu dari dulu?”
“Abs-nya nyata banget!”
“Pantes dingin… badannya panas banget…”
“Andai aku pacarnya, aku pasti orang yang paling tahu isi badannya di balik sikap dinginnya…” bisik seorang siswi sambil menutupi mulutnya.
Davin tidak memperhatikan.
Ia hanya melempar jersey robek itu ke bangku cadangan, merapikan rambutnya sejenak, lalu bersiap melanjutkan sparring seperti tidak terjadi apa-apa.
Coach Bram memijit pelipis, antara kesal dan pasrah.
“Astaga, anak ini…”
Sementara itu Raga menahan tawa cemas.
“Bro… minimal pake kaos dalem kek…”
Davin menatapnya seolah berkata ‘fokus atau gue tinggal’, lalu kembali mengambil posisi.
Sementara di sekolah keadaan begitu panas, lain halnya dengan keadaan Leora di rumah.
Saat itu ia masih berbaring di ranjang, satu tangan menyangga kepala, satu lagi menggulir layar ponselnya. Bosan. Dari tadi ia hanya membuka aplikasi yang sama berulang kali.
“Rey mana sih… apa dia semarah itu” gumamnya kesal. Tidak ada chat masuk darinya lagi sejak kemarin.
Ketika hendak menutup ponsel, tiba-tiba notifikasi grup kelas muncul bertubi-tubi.
– LIAT DAVIN COKKKK–
– ANJIR BADANNYA
– Gila gini nih kalo dingin di luar panas di dalem
– Jerseynya ROBEK cuy!!
Leora mengernyit.
“Apa sih…”
Ia membuka grup. Belasan pesan baru memenuhi layar, disertai potongan video yang dikirim teman-temannya. Beberapa story Instagram juga muncul bersamaan, semuanya memuat adegan sama.
Davin.
Di lapangan.
Tanpa jersey.
Leora langsung duduk tegak.
“A-apa sih ini?” gumamnya, jantungnya berdegup aneh.
Ia membuka salah satu video. Tampak Davin berdiri di tengah lapangan hanya mengenakan celana basket, tubuhnya telanjang bagian atas, ototnya jelas dan mencolok. Sorakan siswi-siswi terdengar keras di belakang kamera.
Komentar yang menyertai video membuat wajah Leora semakin panas.
– Asli badannya bikin pingsan
– Kalau dia udah punya pacar, pasti orangnya beruntung banget
– Cowok dingin tapi hot, yes please
Leora melempar ponsel ke samping bantal, tapi hanya bertahan tiga detik sebelum mengambilnya lagi.
“Apaan coba… kenapa dia… lepas?!” suaranya meninggi sendiri.
Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tidak ada yang menjelaskan konteksnya. Yang ia lihat hanya Davin pamer badan di depan banyak orang.
Kesal.
Marah.
Dan… entah kenapa hatinya terasa ditarik.
“Serius dia? Ini fatal tau nggak…”
Tangannya mengepal di atas selimut.
“Nggak lucu banget. Dia itu… gila!"
Ia mengusap wajah, frustasi dengan dirinya sendiri.
“Aduh, kenapa gue sebel sih? Gue aja nggak cinta sama dia…”
Sementara itu chat grup masih berdenting.
– Vin keren parah!
– Gue nggak nyangka dia sekekar itu…
– Kalo single mah bahaya…
Leora meraih ponsel lagi dan mendecak kesal.
“Udahlah! Nggak perlu dipuja gitu juga!”
Tapi sebelum ia sempat menutup ponsel, video lain masuk lebih jelas sedang memperlihatkan wajah datar Davin yang sama sekali tidak peduli sorakan sekitar.
Anehnya.
Hatinya makin berantakan.
*kenapa di novel2 pernikahan paksa dan sang suami masih punya pacar, maka kalian tegas anggap itu selingkuh, dan pacar suami kalian anggap wanita murahana, dan suami kalian anggap melakukan kesalahan paling fatal karena tidak menghargai pernikahan dan tidak menghargai istrinya, kalian akan buat suami dapat karma, menyesal, dan mengemis maaf, istri kalian buat tegas pergi dan tidak mudah memaafkan, dan satu lagi kalian pasti hadirkan lelaki lain yang jadi pahlawan bagi sang istri
*tapi sangat berbanding terbalik dengan novel2 pernikahan paksa tapi sang istri yang masih punya pacar, kalian bukan anggap itu selingkuh, pacar istri kalian anggap korban yang harus diperlakukan sangat2 lembut, kalian membenarkan kelakuan istri dan anggap itu bukan kesalahan serius, nanti semudah itu dimaafkan dan sang suami kalian buat kayak budak cinta dan kayak boneka yang Terima saja diperlakukan kayak gitu oleh istrinya, dan dia akan nerima begitu saja dan mudah sekali memaafkan, dan kalian tidak akan berani hadirkan wanita lain yang baik dan bak pahlawan bagi suami kalau pun kalian hadirkan tetap saja kalian perlakuan kayak pelakor dan wanita murahan, dan yang paling parah di novel2 kayak gini ada yang malah memutar balik fakta jadi suami yang salah karena tidak sabar dan tidak bisa mengerti perasaan istri yang masih mencintai pria lain
tolong Thor tanggapan dan jawaban?