Aisyah yang mendampingi Ammar dari nol dan membantu ekonominya, malah wanita lain yang dia nikahi.
Aisyah yang enam tahun membantu Ammar sampai berpangkat dicampakkan saat calon mertuanya menginginkan menantu yang bergelar. Kecewa, karena Ammar tak membelanya justru menerima perjodohan itu, Aisyah memutuskan pergi ke kota lain.
Aisyah akhirnya diterima bekerja pada suatu perusahaan. Sebulan bekerja, dia baru tahu ternyata hamil anaknya Ammar.
CEO tempatnya bekerja menjadi simpatik dan penuh perhatian karena kasihan melihat dia hamil tanpa ada keluarga. Mereka menjadi dekat.
Beberapa waktu kemudian, tanpa sengaja Aisyah kembali bertemu dengan Ammar. Pria itu terkejut melihat wajah anaknya Aisyah yang begitu mirip dengannya.
Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah Ammar akan mencari tahu siapa ayah dari anak Aisyah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35. Menantu Yang Mama Inginkan
Mama Rida tampak terkejut mendengar kenyataan rumah tangga putranya ternyata tak seperti yang dia bayangkan. Dia pikir selama ini Ammar telah bahagia dengan istrinya.
"Apakah setiap hari Mia pulang malam?" tanya Mama Rida dengan wajah yang penuh tanda tanya. Ammar hanya menjawab dengan anggukan kepala. Rasanya tenaga telah habis terkuras memikirkan sang istri dan nasib rumah tangga mereka.
"Kamu seharusnya bertanya, kenapa dia lembur setiap hari. Mana ada dokter setiap hari pulang malam," ucap Mama Rida.
"Sudahlah, Ma. Aku capek. Maaf, aku mau istirahat," ucap Ammar. Dia lalu berdiri dari duduknya. Saat ingin berjalan, mama Rida angkat suara sehingga pria itu harus mendengarkan.
"Kamu sebagai suami harus tegas. Jangan mau diinjak harga dirimu dengan seorang istri. Apa karena dia dokter dan anak orang kaya sehingga bisa melakukan semua semaunya saja!" seru Mama Rida.
Ammar tersenyum miring mendengar ucapan mamanya. Sebenarnya tadi dia tak ingin berdebat, itulah sebabnya memilih pergi. Namun, mamanya yang memulai.
"Bukankah itu wanita pilihan mama. Seorang dokter yang akan mengangkat derajat keluarga. Akan dipandang baik. Seorang abdi negara walau hanya kere seperti aku ini hanya cocok dengan dokter. Bukanlah itu yang selalu Mama katakan?" tanya Ammar dengan suara yang cukup tinggi.
Mama Rida tampak menarik napas. Dia sepertinya mencoba menahan emosi. Ammar sekarang membalikkan semua ucapannya.
"Bukan begitu maksud Mama. Sebagai orang tua, Mama hanya ingin yang terbaik untukmu. Apakah kau masih tak terima dengan pernikahanmu ini? Apa kau masih terus mengingat wanita itu? Apa kelebihannya sehingga kamu terus saja mengingatnya?" tanya Mama Rida dengan emosi.
Mama Rida sudah mencoba menahan amarah, tapi mengingat Aisyah dia jadi tersulut emosi. Merasa kalau gadis itu yang membuat dia terus saja bertengkar dan berdebat dengan sang putra.
"Kelebihan Aisyah yang Mama tanyakan? Banyak ... dia wanita yang sabar menemaniku berproses sehingga menjadi seperti sekarang. Dia yang mendorong aku untuk mau maju. Bukan hanya moril, dia juga membantu secara materi. Dia tak pernah menuntut. Cuma satu kekurangannya, dia bukan berasal dari keluarga mampu, sehingga Mama tak bisa melihat kelebihannya itu!" seru Ammar.
Ammar tak menunggu jawaban dari orang tuanya. Dia berjalan menuju kamarnya. Terlalu lelah untuk berdebat. Mama Rida tampak mengomel melihat putranya yang masuk ke kamar tanpa pedulikan dirinya lagi.
Mama Rida juga ikut berdiri. Mengambil tas miliknya dan dia memutuskan untuk meninggalkan rumah putranya itu. Tak ada gunanya dia di sana. Padahal dia tadinya berencana untuk makan bersama anak menantu. Namun, rencana hanya tinggal rencana. Semua gagal terwujud.
***
Setelah merasa tenang, dan dia juga telah mandi dan bersih, Ammar lalu keluar dari kamar. Dia tak melihat sang mama lagi.
"Pasti Mama sudah pulang. Itu lebih baik, dari pada nanti ketemu Mia. Kalau mereka bertengkar aku tak tau harus membela siapa," gumam Ammar dalam hatinya.
Ammar yang merasa lapar, berjalan menuju dapur. Di atas meja makan masih tersedia berbagai menu lauk yang tadi dimasak mamanya. Ammar menarik napas dalam. Merasa sedikit menyesal mengajak mamanya berdebat, padahal wanita yang telah melahirkan dirinya itu datang karena ingin berkumpul dan makan bersama anak dan menantu.
Namun, akan lebih menyakitkan bagi mamanya jika nanti bertemu Mia dan dia diremehkan menantunya itu. Bagi Ammar cukup dia saja yang pernah mendengar ucapan itu dari mulut sang istri.
Saat Ammar sedang makan, terdengar langkah kaki. Dia yakin itu sang istri. Dan hari ini dia pulang sedikit lebih cepat. Jam baru menunjukkan pukul sepuluh malam. Biasanya sang istri pulang jam dua belas malam.
Mia berjalan menuju dapur, karena bibi mengatakan sang suami sedang makan. Dia melihat banyak makanan di atas meja.
"Banyak banget bibi masak. Apa setiap hari begini? Pantas uang dapur boros," ucap Mia. Dia melihat ada banyak menu di atas meja, membuat dia langsung berpikir kalau setiap hari bibi masak begitu.
"Kamu mana tau aku makan apa selama ini? Kamu saja tak pernah makan di rumah. Ini semua mama yang masak. Dia datang ke sini berharap bisa bersama kamu. Makan bareng, tapi aku suruh pulang. Karena percuma Mama menunggu, kau pasti pulang tengah malam juga," ucap Ammar.
Ammar tetap menyuapi makanannya. Dia tak memandang ke arah sang istri.
"Bukankah kamu bisa menghubungiku, nanti pasti aku bisa mengatur waktu pulang," balas Mia.
Ammar tersenyum miring mendengar ucapan istrinya. Mia mungkin masih berpikir kalau dia tak tahu jadwalnya. Pria itu sengaja menguji kejujuran sang istri.
"Bukankah kau tadi mengatakan kalau lembur. Aku sudah menghubungi kamu'kan?"
"Kenapa kamu tak bilang kalau mama ada di rumah. Aku pasti akan minta gantikan dengan dokter lainnya," jawab Mia.
Mia memang selalu bersikap baik dengan mertuanya, walau dibelakang dia memang kurang suka. Dia tak mau mamanya Ammar tahu keburukannya.
Ammar menghentikan suapannya. Dia memandangi sang istri dengan tatapan tajam.
"Hebat benar rumah sakit tempat kau praktek. Bisa dengan mudah mengganti jadwal praktek dokternya," ujar Ammar dengan suara sedikit kesal.
Mia tampak gugup mendengar ucapan suaminya. Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal untuk mencoba menghilangkan kegugupan.
"Maksudku diganti dengan dokter jaga. Kenapa kau bicara begitu, apa kau mencurigaiku?" tanya Mia. Dia melihat suaminya tersenyum mengejek. Sepertinya pria itu mengetahui sesuatu.
"Apa kau pantas dicurigai? Bukankah kau bilang setiap hari lembur karena tak ada dokter pengganti. Heran saja sekarang kau bilang bisa dengan mudah digantikan dokter lain. Rumah sakitmu sangat aneh!" seru Ammar.
Mia tak terima dengan ucapan Ammar. Dia semakin yakin jika pria itu telah mengetahui sesuatu.
"Jangan berbelit! Sebenarnya kau ingin mengatakan apa?" tanya Mia.
"Aku sudah tau semua kebohonganmu. Tadi aku ke rumah sakit, bermaksud ingin menjemputmu. Tak disangka aku melihat sang istri ternyata sudah pulang dengan dokter lain. Dan lebih ironisnya dia mengaku lembur. Jadi selama ini aku dibohongi," ucap Ammar.
"Aku memang lembur. Aku dan dokter lainnya pergi ke rumah sakit lain untuk kunjungan." Mia masih berusaha mengelak dengan tuduhan sang suami.
"Aku tak peduli, kau lembur atau bukan. Kau berkata jujur atau berbohong. Aku hanya ingin mengatakan jika dua bulan lagi aku akan ditugaskan ke kota lain. Selama tiga tahun. Aku ingin kau ikut denganku!"
Mia tampak menarik napas dalam. Dia tak menyangka akan permintaan suaminya itu.
"Jika aku mau tetap di sini, kau mau apa?" tanya Mia.
"Aku mau kita pisah!"
Mia terkejut mendengar ucapan suaminya. Tak menyangka jika Ammar akan mengatakan hal itu.
Jadi tetap sabar Alby jngn terpancing dan jadi ikutan emosi , yang calm By semua nya akan baik baik saja