NovelToon NovelToon
Rahasia Kakak Ipar

Rahasia Kakak Ipar

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / CEO / Hamil di luar nikah / Cinta Terlarang / Cinta Seiring Waktu / Konflik etika
Popularitas:378.5k
Nilai: 5
Nama Author: Mommy Ghina

Satu malam yang kelam … mengubah segalanya.

Lidya Calista, 23 tahun, gadis polos, yang selama ini hanya bisa mengagumi pria yang mustahil dimilikinya—Arjuna Adiwongso, 32 tahun, suami dari kakaknya sendiri, sekaligus bos di kantornya—tak pernah membayangkan hidupnya akan hancur dalam sekejap. Sebuah jebakan licik dalam permainan bisnis menyeretnya ke ranjang yang salah, merenggut kehormatannya, dan meninggalkan luka yang tak bisa ia sembuhkan.

Arjuna Adiwongso, lelaki berkuasa yang terbiasa mengendalikan segalanya. Ia meminta adik iparnya untuk menyimpan rahasia satu malam, demi rumah tangganya dengan Eliza—kakaknya Lidya. Bahkan, ia memberikan sejumlah uang tutup mulut. Tanpa Arjuna sadari, hati Lidya semakin sakit, walau ia tidak akan pernah minta pertanggung jawaban pada kakak iparnya.

Akhirnya, gadis itu memilih untuk berhenti kerja, dan menjauh pergi dari keluarga, demi menjaga dirinya sendiri. Namun, siapa sangka kepergiannya membawa rahasia besar milik kakak iparnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 29. Pagi-pagi Ada Yang Datang

Lidya menatap kakaknya lama, matanya memantulkan campuran iba dan luka. Bibirnya bergerak pelan. “Kak Arjuna bukan tipe yang begitu, Kak. Aku yakin dia nggak pernah berhubungan aneh sama perempuan lain.”

Eliza menatapnya, seolah mencari kepastian di balik tatapan itu. “Kamu yakin banget?”

Lidya menunduk, suaranya nyaris tak terdengar. “Yakin.” Ia bisa berkata seperti itu karena selama menjadi sekretaris Arjuna tidak ada kakak iparnya melirik relasi bisnis atau karyawan, kecuali kejadian mereka yang tidak disengaja.

Keheningan jatuh di antara mereka. Hanya suara hujan yang kembali turun di luar sana, membentur genting seperti ribuan jarum air yang jatuh berirama. Uap hangat dari cangkir susu sudah mulai mendingin di antara jari-jari mereka yang diam.

Eliza akhirnya bersandar, menatap langit-langit rumah. “Aku capek. Hidupku kayak drama nggak kelar-kelar.”

Lidya memaksakan senyum. “Drama? Jadi selama ini Kak Eliza tidak bahagia bersama Kak Arjuna? Kayaknya Kak Eliza yang kurang bersyukur memiliki suami seperti Kak Arjuna. Kalau merasa lelah sebaiknya istirahat aja dulu, Kak. Dan, cobalah bicara dari hati ke hati dengan suami, tanpa mengeluarkan ego sendiri.”

Eliza berdiri, memegang bahu adiknya sebentar. “Kamu baik banget, Lid. Kadang aku iri. Kamu selalu bisa kelihatan tenang.”

Lidya hanya bisa menatap punggung kakaknya yang mulai berjalan ke kamarnya. Dalam hati, ia ingin berteriak bahwa ketenangan itu palsu — cuma topeng dari ribuan rasa bersalah yang menjeratnya sejak malam itu.

Ketika Eliza sudah menghilang di balik pintu, Lidya duduk kembali. Pandangannya kosong, menatap gelas susu yang sudah dingin. Di dadanya, ada rasa sesak yang makin berat.

Ia menunduk, menyentuh perutnya perlahan — refleks tanpa sadar.

“Jangan sampai,” bisiknya pelan, nyaris tanpa suara. “Tolong … jangan sampai.”

Air mata jatuh begitu saja, tanpa sempat ia tahan. Lampu ruang tengah berpendar lembut, menyoroti wajahnya yang murung dan tubuhnya yang bergetar kecil.

Di luar, hujan turun semakin deras, seolah ikut menenggelamkan rahasia yang mulai tumbuh dalam diam.

Namun malam itu, Lidya belum tahu — ponselnya yang tergeletak di meja kamar masih menampilkan pesan dari Arjuna, dengan satu kalimat pendek yang baru terkirim sepuluh menit lalu.

“Kamu ada di mana? Sudah di rumah? Kenapa pesanku tidak dibalas?”

Pesan itu belum terbaca.

Dan di sisi lain kota, seseorang sedang duduk di ruang kerja gelap — menatap layar ponselnya yang hening, menunggu tanda “dibaca” yang tak kunjung muncul.

***

Keesokan hati, udara pagi masih lembap setelah semalam hujan turun deras. Dari dapur, aroma roti panggang dan kopi hitam mengepul pelan, bercampur wangi lembut kayu manis. Lidya duduk di meja makan, mengenakan blus putih sederhana dan celana kain navy. Rambutnya dikuncir rendah, wajahnya tampak segar meski matanya masih menyimpan sisa lelah dari malam panjang yang tak memberinya tidur.

Bik Tini lalu-lalang, menyiapkan piring dan gelas tambahan ketika suara klakson mobil terdengar dari halaman depan.

“Eh, kayaknya ada tamu, Neng,” gumamnya sambil mengintip dari jendela. “Lho, itu kayak mobilnya Den Arjuna.”

Lidya refleks menoleh. Sesuatu di dadanya bergetar.

“A—apa?” Suaranya tercekat.

Namun sebelum ia sempat menegakkan tubuh, Bik Tini sudah berjalan cepat ke arah pintu depan. Tak lama, suara langkah berat bergema di teras.

Dan di sana—sosok tinggi dengan kemeja biru tua dan jas abu muda berdiri, wajahnya teduh tapi dingin, seolah baru keluar dari rapat pagi.

“Assalamualaikum. Selamat pagi, Bik,” sapa Arjuna sopan.

“Lho, Den Arjuna! Waalaikumsalam, met pagi! Ayo, masuk, Den,” sambut Bik Tini dengan ramahnya.

Lidya sontak membeku. Jantungnya berdegup tak karuan. Ia menunduk dalam-dalam, berpura-pura fokus mengoles selai di roti panggangnya, seolah tak mendengar langkah-langkah yang mendekat.

Tak lama, suara lembut Mama Riri terdengar dari arah tangga. “Oh, Arjuna ... kamu datang pagi-pagi sekali.”

Arjuna menatap dengan senyum sopan. “Iya, Ma. Aku dengar Eliza nginep di sini semalam, jadi sekalian mampir.”

“Anak itu masih tidur,” jawab Mama Riri sambil tersenyum ramah. “Tapi kamu sudah datang jauh-jauh, sarapan dulu aja bareng kami, ya?”

Arjuna sempat menolak halus, tapi Mama Riri menatapnya dengan keibuan yang sulit ditolak. Akhirnya ia mengangguk pelan. “Baik, Ma.”

Mama Riri mempersilakan duduk di meja makan. Dan kebetulan—kursi kosong yang tersedia hanya di sebelah Lidya.

Lidya yang sedang memotong roti nyaris menjatuhkan pisaunya saat pria itu duduk. Aroma parfum Arjuna yang khas—maskulin tapi tenang—langsung menyelimuti udara di sekitarnya. Ia menelan ludah, berusaha tetap tenang.

“Selamat pagi.” Suara Arjuna terdengar dalam, lembut tapi bergetar samar.

Lidya menoleh sekilas, senyumnya kaku. “Pagi, Kak Arjuna.”

Mereka sama-sama tahu, sapaan itu sekadar formalitas.

Mama Riri duduk di seberang mereka. “Makan aja, Jun. Kebetulan ada nasi goreng kesukaan kamu? Kebetulan Bik Tini buat.”

“Terima kasih, Ma,” jawab Arjuna sambil menatap sekilas ke arah Lidya yang tampak menunduk, sibuk dengan piringnya sendiri.

Suasana meja makan terasa aneh—hangat tapi penuh udara tegang. Sesekali suara sendok beradu pelan dengan piring menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar.

“Lidya, kamu kerja jam berapa?” tanya Mama Riri memecah keheningan.

“Jam delapan, Ma. Tapi aku mau berangkat lebih awal, takut macet,” jawab Lidya lembut.

Arjuna menoleh. “Bareng aku aja.”

Lidya spontan mengangkat wajah, menatap Arjuna heran. “Bareng? Tapi Kak Arjuna kan ke sini mau jemput Kak Eliza.”

Mama Riri ikut menatap Arjuna, menunggu penjelasan.

Arjuna menarik napas pelan, mencoba menyembunyikan kekakuan di suaranya. “Iya, memang. Tapi Eliza belum bangun kata Mama. Lagi pula jam sembilan kita ada meeting di kantor.”

Lidya nyaris kehilangan kata. “Tapi—”

“Udah, bareng aja,” potong Arjuna tenang tapi tegas. “Sekalian biar Mama nggak khawatir sama kamu.”

Mama Riri tersenyum lembut. “Wah, Arjuna ini perhatian banget sama adik iparnya.”

Lidya menunduk dalam-dalam. Pipinya terasa panas, tapi bukan karena pujian.

“Ma,” tiba-tiba Arjuna berkata dengan nada lebih serius. “Sebenarnya ... aku juga mau sekalian bicara sedikit.”

Mama Riri meletakkan sendoknya. “Tentang apa?”

Arjuna menarik napas panjang. “Tentang Eliza.”

Udara di ruang makan mendadak terasa berat.

“Belakangan ini, Ma, dia sering marah kalau aku tidak memenuhi keinginannya. Aku udah coba sabar, tapi ... ada satu hal yang bikin aku bingung. Papa dan Mamaku minta kami segera punya anak, bahkan Mama sudah buat janji dengan dokter untuk program bayi tabung. Tapi Eliza—dia menolak. Katanya trauma karena pernah lihat temannya meninggal saat melahirkan.”

Suara Arjuna bergetar halus di akhir kalimatnya. Ia menunduk sesaat, lalu melanjutkan dengan nada yang nyaris seperti keluh. “Aku mengerti ketakutannya, Ma. Tapi aku juga punya keinginan sebagai suami ... aku pengen jadi ayah. Aku pengen punya anak.”

Bersambung .... 💔

1
Reni Anjarwani
tumben hari ini ngak up , semanggat up thor
nyaks 💜
ada yg otw ni 😅😅
Bulan Alfonsius
are you ok mom..tumben ngak up sehat selalu mommy ghina
Yam Mato
👍👍👍
Engkar Sukarsih
mommy bang Arjun masih nyangkut di mana 🤔🤔🤔
Engkar Sukarsih: sukses selalu mommy dan tetap semangat 🥰🥰🥰💪🏼💪🏼👍
total 3 replies
Engkar Sukarsih
dasar maling teriak maling kamu Eliza 🤬🤬 urat malunya dah putus ada mertuanya aja masih ngegas marah" sama mas bro Arjun...oh .. Arjun 🥰🥰🥰
Yam Mato
👍👍👍
Ayu Ayuningtiyas
bagus ceritanya
Yam Mato
👍👍
Ayu Ayuningtiyas
biarpun istri klo kelakuan seperti itu dan masih tdk mau mengembalikan semua yg diambilnya,mendingan laporkan saja eliza ke polisi ,biar kapok .hancur...hancur sekalian daripada menjalani rumah tangga dgn org yg tdk bisa menghargai suami padahal suaminya sdh memberikan nafkah yg berlebih ke istrinya.
Erna Riyanto
Dah lngsung talat tiga aja....selesaikan urusan Elisa....trus semangat buat cari Lidya...jgn lama" ya jun...cepet temuin...jngn sampai nnti sekian tahun br ktmu..GK adil bgt buat Lidya menanggung semua sendiri.. kamu harus ada disamping Lidya selama masa kehamilan
nyaks 💜
ehhhhh mulai agak² no org 😅😅😅
nyaks 💜
👊👊👊👊😅😅
nyaks 💜
😂😂😂😂
nyaks 💜
yakin?? 🤔
nyaks 💜
Arjuna..Arjuna...
💐ERNA💐🥀🌹
ibu Hanum yang pusing ,yg baca lebih pusing lagi 🤦‍♀️
nyaks 💜
🙄🫤🫤
nyaks 💜
wlopun kau itu adik Kaka Lidya,,maap El aku timnya Lidya 😅😅😅
nyaks 💜
knpa gak nikah aja dgn penganut yg sama sih El?? kan kalian bisa bebas gak saling sperti kek skarang...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!