NovelToon NovelToon
AKU ISTRIMU BUKAN MUSUHMU

AKU ISTRIMU BUKAN MUSUHMU

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Selingkuh / Romansa / Penyesalan Suami / Ibu Mertua Kejam
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: SAFIRANH

Luna harus memilih antara karir atau kehidupan rumah tangganya. Pencapaiannya sebagai seorang koki profesional harus dipertaruhkan karena keegoisan sang suami, bernama David. Pria yang sudah 10 tahun menjadi suaminya itu merasa tertekan dan tidak bisa menerima kesuksesan istrinya sendiri. Pernikahan yang telah dikaruniai oleh 2 orang putri cantik itu tidak menjamin kebahagiaan keduanya. Luna berpikir jika semua masalah bisa terselesaikan jika keluarganya tercukupi dalam hal materi, sedangkan David lebih mengutamakan waktu dan kasih sayang bagi keluarga.
Hingga sebuah keputusan yang berakhir dengan kesalahan cukup fatal, mengubah jalan hidup keduanya di kemudian hari.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SAFIRANH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8

“Ada hubungan apa kamu dengan Luna, Mas?” tanya Maria, wajahnya merah karena emosi.

“Hubungan apa?” tanya Doni sangat bingung. “Tentu saja hubungan saudara. Dia kan adik ipar kita,” lanjutnya dengan nada santai.

“Kamu jangan coba-coba membohongiku, Mas!” Maria menaikkan nada suaranya. “Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri jika kamu sangat perhatian dengannya.”

“Hanya perasaanmu saja. Lagipula, kasihan Luna, dia sama sekali belum bisa makan karena menghadapi sikap Ibu.”

“Itu bukan urusan kita. Suaminya saja diam melihat istrinya diperlakukan seperti itu. Untuk apa kamu ikut-ikutan, Mas.”

“Sudahlah, tak perlu diperpanjang lagi. Aku harus pergi sekarang.” Doni tampak bangkit dari duduknya, menyambar tas yang berada di atas meja. Berhenti sejenak di hadapan Maria, ia mengulurkan tangannya, berniat pamit untuk pergi ke suatu tempat.

Namun, Maria masih merajuk. Wanita itu justru bersedekap di depan dada sambil membuang tatapannya ke arah lain, tak mau bersalaman dengan suaminya itu.

Doni yang sudah sangat hafal dengan sikap istrinya, kini hanya bisa menghela nafas. Tubuhnya mendekat, lalu mendaratkan satu kecupan hangat di dahi Maria, lalu berkata, “Jaga diri baik-baik, aku pergi dulu.”

Dan sosok itu pun berlalu begitu saja, meninggalkan Maria terdiam di dalam kamarnya. Setelah Doni pergi, Maria merasa tubuhnya lemas, hingga terjatuh begitu saja di atas tempat tidurnya. Ia terduduk lesu, sambil menangis sendirian. 

Saat Doni baru sampai di ruang tengah, ia melihat David dan ibunya yang sedang berbincang dengan sangat akrab. Doni menghentikan langkah sejenak, hanya untuk berpamitan.

“Ibu, aku pergi dulu,” ucapnya.

“Ya, hati-hati,” jawab Bu Galuh ala kadarnya.

“Mau kemana, Mas?” tanya David penasaran.

“Hari ini aku harus ke kota untuk memilih bibit tanaman yang bagus.”

“Oh ya. Kalau begitu hati-hati, Mas.” 

Doni membalasnya dengan anggukan dan senyuman, sebelum sosoknya mulai menghilang dan keluar dari dalam rumah.

“Bu,” panggil David setengah berbisik pada ibunya.

“Hmm,” 

“Mas Doni, sekarang lebih sibuk, ya?” 

“Sudah satu tahun ini dia dipercaya menjadi mandor di perkebunan juragan Sidiq. Jadi, wajar jika Mas mu itu akan sangat sibuk setiap harinya,” jawab Bu Galuh menjelaskan.

David mengangguk mengerti. Meski begitu, ia sedikit merasa iri pada sang kakak yang bisa hidup nyaman dengan pekerjaan yang menjanjikan di tempat kelahirannya sendiri. Sebuah hal yang menjadi impian David sejak lama.

“Oh ya, kenapa Mas Doni tidak disuruh menjalankan bisnis rumah makan keluarga kita saja, Bu?” tanya David lagi.

Bu Galuh yang saat ini tengah menyesap teh hangatnya,mulai menurunkan cangkir bermotif bunga itu ke atas meja. Helaan nafas keluar begitu saja mulutnya. “Sudah lama sekali rumah makan itu terbengkalai. Ibu pikir, juga akan sia-sia saja jika membukanya kembali. Lagipula, Ayah dan Ibu sudah tua, sudah tak sekuat dulu.”

“Bagaimana jika aku saja yang mengurusnya, Bu?” saran David dengan penuh semangat.

“Kamu serius?” 

“Tentu saja, tapi jika Ibu mengizinkannya.”

Tanpa ragu, Bu Galuh mengangguk, “Baiklah, Ibu setuju. Kamu bisa mengurusnya mulai sekarang.”

“Benarkah?” tanya David antusias. Tak menyangka jika sang Ibu akan setuju dengan mudah. “Terima kasih, Bu.”

“Tapi dengan satu syarat. Kamu tidak boleh merubah resep turun temurun keluarga kita,” Bu Galuh memperingatkan. Jari telunjuknya mengarah langsung di hadapan putranya.

“Tentu saja. Ibu tidak perlu khawatir.”

Bu Galuh tersenyum dengan puas, melihat David yang begitu bersemangat untuk menjalankan bisnis keluarga. Tak salah Bu Galuh meminta putranya tersebut untuk cepat pulang ke rumah ini, setidaknya ada satu orang lagi yang berpihak penuh padanya. 

Meski, kepulangan David bukan hanya dirinya seorang, melainkan membawa tiga orang beban lainnya. Begitulah pemikiran dangkal seorang Bu Galuh.

***

Sementara itu, di rumah keluarga pak Handoko, suasana yang seharusnya damai penuh kehangatan karena putra bungsu dari keluarga itu baru saja pulang dari kota besar, telah berubah penuh dengan ketegangan.

Pak Handoko tampak berdiri, kedua tangannya mengepal, dan mata yang menatap tajam ke arah putranya. Mahesa, putra bungsu dari pak Handoko yang telah berusia 32 tahun, duduk terdiam menghadapi amarah sang Ayah.

“Apa kamu bilang…cincin itu hilang?” pak Handoko berucap nyaris tak percaya.

“Aku sudah berusaha mencarinya, Ayah. Tapi cincin itu sama sekali tidak ada dimanapun.”

“Cincin itu barang berharga, Mahesa!” Pak Handoko menaikkan nada suaranya, tangannya menunjuk dengan gemetar ke arah putranya. “Itu cincin warisan dari keluarga kita. Bisa-bisanya kamu menghilangkannya.”

Mahesa hanya diam. Tak mau menjawab perkataan Ayahnya yang sedang diliputi kemarahan besar.

Melihat sang putra yang tidak mau memberikan penjelasan apapun, membuat pak Handoko semakin murka. Pria paruh baya itu mendekat ke arah meja makan, mengambil satu buah gelas dan hampir melemparkannya begitu saja. Namun sang istri, yaitu Bu Widuri dengan cepat menahan tangan suaminya.

“Cukup, Pak,” ucap Bu Widuri. Nada suaranya seakan memohon. “Jangan terlalu keras, Mahesa itu tetap anak kita.”

Pak Handoko mengatupkan rahangnya kuat. “Pernikahan itu tinggal satu bulan lagi. Ini soal simbol kebanggaan keluarga yang tak bisa digantikan.”

Di tengah ketegangan itu, sebuah suara terdengar dari sudut ruangan.

“Jika cincin itu sangat penting, ya sudah…batalkan saja pernikahannya.” 

Semua orang langsung menoleh ke arah sumber suara. Tampak seorang wanita duduk dengan santai di sofa yang lain, wajahnya datar tanpa ekspresi. Dia adalah kakak perempuan dari Mahesa, namanya Raras.

“Apakah cincin itu lebih berharga dari anak Ayah sendiri?” tanya Raras lagi ke arah pak Handoko tanpa rasa takut.

“Raras…bicara yang benar!” pak Handoko mendekat, langkahnya terasa berat.

“Sangat jelas terlihat jika Ayah begitu mempermasalahkan barang yang tidak seberapa itu,” kata Raras dengan pelan tapi menyengat.

Pak Handoko kembali marah, pria itu mengepalkan tangannya tak terima. “Pernikahan ini sudah direncakan sejak lama. Dan Mirna adalah wanita yang paling cocok untuk Mahesa.”

Raras mengangkat bahu, tidak setuju dengan pendapat Ayahnya. “Perjodohan itu tidak akan mendatangkan kebahagiaan. Lihat aku? Dua tahun aku menikah dengan proses penjodohan, dan kini aku berakhir menjadi seorang janda.”

Nafas pak Handoko tercekat. Ucapan putri pertamanya itu benar-benar menamparnya sangat keras, tapi Raras belum selesai bicara.

“Ayah pikir Mahesa akan bahagia hidup dengan wanita asing itu? Tolong pikirkan juga perasaan kita.”

Ruangan luas itu mendadak berubah menjadi hening. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar jelas.

Pak Handoko juga tak bicara lagi. Wajahnya memerah padam, dengan cepat pria itu membalikkan badannya, keluar begitu saja dari dalam ruangan tanpa menoleh ke arah siapapun.

Bu Widuri tampak sangat sedih dengan keadaan keluarganya saat ini. Kakinya melangkah pelan ke arah kedua anaknya, menatap sejenak, lalu mengusap pundak Raras dan Mahesa secara bergantian sebelum ikut menyusul suaminya keluar dari ruangan.

“Mbak, kapan kamu pulang?” tanya Mahesa saat menoleh ke arah Raras.

“Kemarin,” Raras menyunggingkan senyum. “Aku ingin Ayah melihat keadaanku setelah bercerai.”

“Ayah tampak sangat marah.”

“Biarkan saja. Ayah harus tahu jika tidak semua keinginannya bisa terkabul begitu saja.”

Keduanya terkekeh. Sudah cukup lama Mahesa tak bertemu kakak perempuannya itu, mungkin juga selama dia menikah, baru kali ini Mahesa berjumpa lagi.

Saat melihat wajah Raras, Mahesa tampak tersenyum kecil. Entah karena merasa lega atau merasa senang dengan status janda milik kakaknya itu. Tapi jika dilihat lebih jelas, sepertinya Raras tampak lebih bahagia dari sebelumnya.

“Untunglah kamu menghilangkan cincin sialan itu. Jika tidak, maka kamu harus rela berakhir seperti aku,” gumam Raras. Ia menunduk sejenak, seperti merenungi nasib hidupnya.

“Aku bukannya sengaja menghilangkannya. Benda itu tiba-tiba saja hilang dari dalam tas.” 

“Tapi kamu juga senang benda itu hilang, kan?” cecar Raras lagi.

Mahesa tersenyum, lalu mengangguk membenarkan. “Kuharap benda itu hilang untuk selamanya, dan tidak muncul lagi di hadapanku.” 

BERSAMBUNG 

1
Becce Ana'na Puank
ok
SAFIRANH: Terima kasih ❤️
total 1 replies
HappyKilling
Bikin terhanyut. 🌟
SAFIRANH: Terima kasih 😘
total 1 replies
Helen
Kece abis!
SAFIRANH: Terima kasih,🥰❤️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!