Andreas Wilton sudah terlahir dingin karena kejamnya kehidupan yang membuatnya tidak mengerti soal kasih sayang.
Ketika Andreas mendengar berita jika adik tirinya akan menikah, Andreas diam-diam menculik mempelai wanita dan membawa perempuan tersebut ke dalam mansion -nya.
Andreas berniat menyiksa wanita yang paling disayang oleh anak dari istri kedua ayahnya itu, Andreas ingin melihat penderitaan yang akan dirasakan oleh orang-orang yang sudah merenggut kebahagiaannya dan mendiang sang ibu.
Namun, wanita yang dia culik justru memberikan kehangatan dan cinta yang selama ini tidak pernah dia rasakan.
“Kenapa kau peduli padaku? Kenapa kau menangis saat aku sakit? Padahal aku sudah membuat hidupmu seperti neraka yang mengerikan”
Akankah Andreas melanjutkan niat buruknya dan melepas wanita tersebut suatu saat nanti?
Follow instagramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sesuatu Tak Menentu
Langkah kaki Mistiza bergema pelan di sepanjang lorong panjang mansion. Lantainya berlapis marmer dingin, memantulkan cahaya lampu gantung antik yang berderet rapi di langit-langit. Meski sore masih menampakkan cahaya tetapi suasana di mansion tersebut selalu terasa bagai malam yang kelabu, seolah mengumandangkan gejolak batin yang masih tak juga reda.
Jantung Mistiza masih berdetak kencang. Terlalu kencang. Ia bahkan bisa mendengarnya sendiri, bersaing dengan desah napas yang ia usahakan untuk tetap teratur. Pikirannya tak bisa berhenti memutar ulang apa yang baru saja terjadi di ruang biliar. Ciuman itu.
Bukan sekadar ciuman. Bukan pula hanya akibat dari permainan atau perjanjian yang ia setujui dengan berat hati. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih rumit, yang menyelinap tanpa izin. Bibir Andreas yang dingin namun terasa hidup. Tatapan matanya setelah ciuman itu berakhir. Cara tangannya menahan tengkuknya dengan begitu lembut namun penuh kendali. Semua itu terasa nyata, terlalu nyata, dan meninggalkan bekas di dalam dirinya yang tak mudah dihapus.
Mistiza menggigit bibir bawahnya, mencoba mengusir bayangan itu. Namun usahanya sia-sia.
"Apa yang sudah kulakukan..." bisiknya lirih, suaranya hampir tak terdengar di tengah lorong yang sunyi.
Ia menunduk dalam-dalam. Perasaannya bercampur aduk, dan di atas segalanya, ada satu kenyataan pahit yang terus menghantam logikanya—Andreas adalah calon kakak iparnya. Kakak dari calon suaminya, Ryan. Bahkan meski ciuman itu bermula dari paksaan, dari perjanjian, ujungnya berubah menjadi sesuatu yang tidak bisa lagi ia anggap sebagai kewajiban semata.
Ia teringat bagaimana rasanya saat Andreas menyentuh wajahnya, ketika napas mereka menyatu dalam keheningan yang hampir suci. Bagaimana mungkin sesuatu yang seharusnya ia benci, justru terasa begitu... damai?
Langkahnya terhenti di tikungan lorong ketika sosok tinggi dengan jas pelayan muncul dari balik sudut, mengawasinya dari setiap sudut.
"Nona Mistiza." Suara Richard, kepala pelayan keluarga Albrecht, terdengar ramah seperti biasa, meskipun nada prihatin samar terlihat dari ekspresinya. Pria paruh baya itu menundukkan kepala sedikit, memberi salam sopan. "Maaf jika saya mengganggu. Saya hanya ingin memastikan, apakah Tuan Andreas menerima minuman yang Anda bawa tadi?"
Mistiza terdiam sejenak. Pertanyaan sederhana itu seperti tamparan halus yang membawa kembali kesadarannya pada realita. Minuman. Ya, ia bahkan telah melupakannya. Gelas kristal berisi anggur merah itu bahkan belum tersentuh oleh Andreas. Ia mengangguk perlahan.
"Ya, sudah saya simpan di meja" jawabnya pelan, mencoba tetap tenang.
“Apa ada sedikit masalah di dalam?”
Pertanya Richard membuat Mistiza tertegun sejenak.
"Kami... hanya berbicara sebentar, lalu beliau menyuruh saya pergi."
Richard mengangguk, tampak tidak terkejut dengan jawaban tersebut. "Saya mengerti. Terimakasih Nona sudah mengantarnya dengan baik. Saya akan membereskan gelasnya nanti."
Mistiza menunduk sebagai tanggapan, lalu hendak melanjutkan langkahnya. Namun Richard, yang melihat keanehan, mengernyitkan dahi pelan.
"Anda baik-baik saja, Nona?" tanyanya dengan suara yang kini sedikit lebih lembut.
Pertanyaan itu membuat Mistiza terdiam. Untuk sesaat, ia ingin menjawab dengan senyuman palsu dan mengangguk, menyatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Tapi bagian dalam dirinya tahu bahwa kebohongan semacam itu terlalu mudah terbaca, apalagi oleh seseorang seperti Richard.
"Aku..." katanya, lalu berhenti sejenak. "Aku hanya perlu menghirup udara segar. Terima kasih, Richard."
Sang kepala pelayan mengangguk sopan, seakan mengerti bahwa ia tak seharusnya mendesak lebih jauh. “Jika ada yang Anda butuhkan, Anda tahu di mana mencari saya.”
“Tentu, Richard. Kau aku tahu kau bisa diandalkan”
Mistiza melangkah kembali, kali ini lebih cepat, mencoba menjauh dari tempat itu secepat mungkin. Begitu keluar dari lorong menuju halaman belakang, angin sore yang lembut menyapa wajahnya. Udara segar menyentuh kulitnya yang masih terasa panas, bukan karena suhu, tapi karena emosi yang belum reda.
Di halaman belakang, para pelayan wanita tengah duduk-duduk di bawah lampu gantung taman yang menggantung di antara pepohonan kecil. Tawa kecil terdengar di antara mereka, membicarakan hal-hal remeh seperti kebun, masakan dapur, atau rencana liburan keluarga besar saat musim panas tiba. Mistiza berjalan ke arah mereka dengan langkah ringan, berusaha memaksakan diri untuk tersenyum.
“Nona Mistiza, Anda kembali juga,” sapa Clara, pelayan yang pertama kali melihat kedatangan Mistiza.
Mistiza mengangguk dan duduk di bangku rotan kosong yang menghadap ke taman kecil. Di hadapannya, bunga melati bermekaran, aromanya samar terbawa angin. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran bangku dan memejamkan mata sejenak, mencoba menetralisasi segalanya.
Namun perasaan di dadanya masih belum mau tenang.
Ia membuka matanya dan menatap langit senja yang berwarna jingga. Entah kenapa, sore ini langit terlihat lebih dalam, lebih sunyi, seolah mengerti kekacauan dalam dirinya. Ia menyentuh bibirnya secara refleks—sentuhan lembut yang masih meninggalkan jejak hangat dari ciuman tadi. Ia mencoba menepis perasaan itu, tapi semakin ditolak, semakin kuat bayangannya menghantui.
Apa yang sebenarnya Andreas rasakan? Mengapa ekspresinya berubah setelah ciuman itu? Dan kenapa… kenapa ia merasakan bahwa pria itu tidak sekadar menuntut kemenangan? Ada sesuatu di balik tatapan Andreas—rasa sepi, atau mungkin luka yang tersembunyi, yang entah bagaimana menghubungkan mereka berdua dalam ketegangan yang sulit dijelaskan.
Mistiza menggeleng pelan.
Tidak. Ia tidak boleh larut dalam ini. Ia tidak boleh menumbuhkan benih-benih perasaan yang tidak seharusnya tumbuh. Andreas akan menjadi bagian dari keluarganya—segera. Ia tidak boleh, tidak mungkin, memandang pria itu lebih dari sekadar saudara ipar yang terpaksa harus ia hormati.
Tapi perasaan bukan sesuatu yang bisa ia kendalikan semudah membalikkan telapak tangan. Ia bisa memaksa tubuhnya untuk menjauh, bisa menghindari tatapannya, bisa mengalihkan pikirannya—namun perasaan itu tetap menyelinap, merayap masuk lewat celah-celah kecil yang bahkan tidak ia sadari telah terbuka.
Clara menyodorkan segelas teh hangat.
"Nona terlihat pucat saat ini. Ini bisa membantu menenangkan sedikit," katanya dengan senyum tulus, dia tidak tau apa yang sudah dilakukan tuannya kepada Mistiza, tetapi Clara mencoba untuk menenangkan wanita itu.
Mistiza menerima gelas itu dan tersenyum tipis. “Terima kasih, Clara. Aku memang butuh sesuatu yang hangat.”
Ia meminum teh perlahan, membiarkan kehangatan cairan itu menuruni tenggorokannya. Setidaknya, untuk sesaat, ia bisa merasa lebih tenang.
Mistiza berbincang cukup lama sampai hari mulai gelap, Richard datang menghampiri lagi para wanita yang tengah asik mengobrol sampai tak menyadari kehadirannya.
“Nona, Mistiza. Sudah waktunya anda kembali ke kamar, Anda juga harus bersiap untuk malam malam dengan Tuan Andreas lagi”
Mendengar nama itu disebutkan Mistiza kembali gusar, namun dia tak mau menunjukkan kegundahannya di hadapan orang-orang.
“Baik, aku akan kembali sekarang juga”
“Biar saya antar, nona” Clara bangkit dan menemani Mistiza menuju kamarnya berada.
sehat sehat Mak othor... maaf kan aku yg tamak ini .. crtmu bgs bingittt
aku baca yg sudah tamat dan ingat cerita ini pernah ku baca dulu