Terlambat menyatakan cinta. Itulah yang terjadi pada Fiona.
ketika cinta mulai terpatri di hati, untuk laki-laki yang selalu ditolaknya. Namun, ia harus menerima kenyataan saat tak bisa lagi menggapainya, melainkan hanya bisa menatapnya dari kejauhan telah bersanding dengan wanita lain.
Ternyata, melupakan lebih sulit daripada menumbuhkan perasaan. Ia harus berusaha keras untuk mengubur rasa yang terlanjur tumbuh.
Ketika ia mencoba membuka hati untuk laki-laki lain. Sebuah insiden justru membawanya masuk dalam kehidupan laki-laki yang ingin ia lupakan. Ia harus menyandang gelar istri kedua, sebatas menjadi rahim pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28. MUSTAHIL
"Sus, kalau hasil Lab-nya sudah keluar, langsung antar ke ruangan saya, ya," ucap Teddy pada suster yang mendampinginya, mereka baru saja keluar dari ruang rawat pasiennya.
"Baik, dok." Suster tersebut langsung berpamitan.
Teddy pun mengayun langkah menuju ke ruangannya. Namun, langkahnya terhenti ketika melewati
seorang wanita berhijab yang tengah mengandung, sedang duduk di kursi tunggu sembari menumpu wajah dengan kedua telapak tangannya. Meski tak melihat wajahnya, tapi dari postur tubuhnya seperti tak asing.
"Fio," panggilnya ragu.
Wanita itupun tersentak ketika mendengar namanya disebut. Ia mengusap sisa air matanya lalu mengangkat pandangan.
Teddy seketika nampak cemas begitu melihat ternyata wanita itu benar-benar adalah Fiona. Ia langsung duduk di samping istri ke-duanya itu dan mengusap sudut matanya yang basah.
"Kamu kenapa bisa ada di sini? Agnes mana?" tanyanya dengan nada khawatir. Setahunya ini belum waktunya untuk kontrol kandungan. Mungkinkah Fiona sedang mengalami keluhan pada kandungannya.
"Kamu ada keluhan apa? Kenapa tadi gak bilang sama aku, kita bisa berangkat bareng ke rumah sakit," ucapnya lagi saat Fiona belum juga menjawab pertanyaannya. Ia semakin khawatir, terlebih melihat istrinya itu sedang menangis.
"Aku gak ada keluhan apa-apa, Mas," ujar Fiona kemudian. Suaranya terdengar serak karena menangis.
"Terus, kamu ngapain ke rumah sakit?" tanya Teddy lagi.
"Tadi aku izin mau ke rumah Aidan. Tapi pas sampai sana, Dafa bilang kalau Aidan dan Jihan ke rumah sakit jenguk Mama," jawab Fiona.
"Mama kamu sakit?"
Fiona menjawab dengan anggukan. Air matanya kembali jatuh. Mamanya sedang terbaring di ranjang rumah sakit, tapi ia tidak memiliki keberanian untuk menemuinya.
Teddy langsung menarik istri ke-duanya itu kedalam pelukannya. Mengusap punggungnya yang bergetar.
"Kamu sudah menjenguk Mama kamu?" tanyanya.
Fiona hanya merespon dengan menggeleng. Bahkan ia pasrah dalam pelukan Teddy tanpa penolakan. Sekali ini saja, ia benar-benar butuh sandaran, dan dekapan sang suami mampu memberikannya sedikit ketenangan.
"Mau aku temani menjenguk Mama kamu?" tawar Teddy.
"Aku gak berani menemui mereka," lirih Fiona.
Teddy semakin mengeratkan pelukannya. Ia tahu apa yang dirasakannya Fiona saat ini. Hubungan Fiona dan orang tuanya merenggang setelah menikah dengannya, bahkan hingga saat ini mereka belum pernah bertemu.
"Ya sudah, sekarang kamu ikut ke ruanganku dulu."
Fiona hanya mengangguk, kemudian mengikuti sang suami. Dan lagi, ia hanya pasrah ketika Teddy merangkulnya. Tubuhnya serasa kehilangan tenaga saat mengetahui sang mama sedang sakit.
Teddy mendudukkan tubuh sang istri di kursi kerjanya, lalu berjongkok melepaskan alas kaki istrinya.
"Kamu mau makan sesuatu gak? Biar aku pesankan." Teddy mendongak menatap mata sembab wanita yang masih bertahta di hatinya tersebut. Jika boleh jujur, keadaan ini membuatnya senang, sebab secara tak sengaja ia bisa memiliki waktu bersama Fiona tanpa ada halangan dari Agnes.
Fiona menggeleng pelan. "Aku lagi gak kepengen makan apa-apa, Mas," jawabnya.
Teddy memasang senyum tipis. Padahal ia sangat berharap jika Fiona menginginkan sesuatu darinya. Ia sangat ingin merasakan bagaimana reportnya menjadi suami yang harus memenuhi segala keinginan istrinya yang sedang hamil. Saat Agnes dinyatakan hamil, ia belum sempat merasakan itu semua ketika kejadian nahas itu menimpa istri pertamanya.
"Mas, malam ini aku izin nginap di rumah Aidan, ya?" Fiona menatap suaminya penuh harap.
Teddy terlihat keberatan, namun tak mungkin ia melarang dan membuat Fiona bersedih. "Boleh, nanti biar aku yang antar kesana," ujarnya. Setidaknya ia bisa bersama Fiona meski hanya sekedar mengantar.
"Gak usah, Mas. Nanti biar aku ikut sama Jihan saja," ujar Fiona.
Ada gurat kecewa di mata Teddy, namun ia sembunyikan dengan senyuman tipis. "Ya udah, kalau gitu biar aku telepon Aidan dan kasih tahu dia kalau kamu ada di sini."
Fiona merespon dengan anggukan sembari tersenyum.
*****
"Kakak lagi gak ada masalah, kan?" tanya Aidan sembari menatap kakaknya yang duduk dibelakang dari kaca spion di depannya.
"Enggak, kok," jawab Fiona.
Aidan tak percaya begitu saja, terlebih melihat gerakan mata sang kakak yang nampak gelisan. Namun, bukan ranahnya untuk mengorek informasi lebih jauh.
"Maaf ya, aku gak kasih tau kakak kalau Mama lagi sakit," ujar Aidan kemudian.
Fiona hanya merespon dengan anggukan. Setelah mendengar ucapan papanya beberapa saat lalu, sekarang ia paham kenapa Aidan maupun Jihan tak memberitahu perihal mamanya yang sedang sakit.
Tak berselang lama, mereka pun sampai di rumah. Jihan langsung menuntun kakak iparnya masuk ke rumah, sementara Aidan memasukkan mobilnya ke garasi.
"Udah lama ya, kak, kita gak duduk bareng gini dan ngobrol banyak hal," ujar Jihan setelah duduk bersama kakak iparnya di ruang tengah.
Fiona menanggapinya dengan senyuman tipis. Ia pun rindu suasana hangat bersama keluarganya yang sudah beberapa bulan tak ia rasakan.
"Bunda...."
Kedua wanita itu menoleh ketika terdengar lengkingan suara si kecil Hana yang berlari ke arah mereka. Di belakangnya, Dafa dan asisten rumah tangga tampak berusaha mengejar.
"Hai, anak cantiknya Bunda." Jihan merentangkan kedua tangannya dan langsung memeluk putri kecilnya yang berusia empat tahun itu.
Dafa pun duduk di samping sang bunda dan terlihat ngos-ngosan.
"Capek ya jagain Adek?" Jihan mengusap pucuk kepala putra sulungnya.
Dafa mengangguk. "Adek lari-larian terus, Bunda. Gak mau diem," adunya.
"Bu, maaf saya belum masak untuk makan siang. Soalnya ngawasin Hana, takut dia jatuh," lapor sang asisten rumah tangga.
Jihan terkekeh pelan sembari mencubit gemas hidung putrinya. Hana memang lagi aktif-aktif nya dan ia pun kadang kewalahan.
"Gak apa-apa, Bi. Nanti saya pesan aja. Sekarang Bibi istirahat aja dulu, pasti capek jagain Hana. Terima kasih ya, Bi," ujar Jihan.
Wanita setengah baya itu hanya mengangguk lalu berpamitan ke belakang.
"Kenapa kamu gak pakai jasa baby sitter aja, sih?" tanya Fiona. "Biar enak kalau kamu bepergian."
"Mas Aidan juga udah nyaranin gitu, tapi aku gak mau. Lagian aku juga gak ada kerjaan, jadi mending fokus ngurusin anak aja. Kalau mereka sudah besar nanti, aku pasti akan merindukan moment seperti ini, reportnya menjadi ibu."
Fiona terdiam dengan bibir menyunggingkan senyum tipis. Andai bisa ia meminta, ingin sekali ia merasakan hal seperti Jihan. Tapi ia tahu jika itu mustahil. Setelah bayinya lahir nanti, ia harus menyerahkan pada Agnes dan Teddy, lalu kembali pada laki-laki yang masih setia menunggunya.
buat damar berusahalah karena bukan hanya maaf Fiona yang bakalan susah kamu dapat nantinya tapi jga keluarga besarnya karena fio itu putri kesayangan jadi selamat berjuang semoga semesta menjodohkan kamu sama fio
🤭🤭🤭 eh salah semoga Mak nur menjodohkan kamu ama fio
Ngak usah ngimpi mau punya dua istri kalau belum bisa bersikap adil bijak dan tegas kamu ,
jangan cuma mikirin perasaan kamu pikirkan juga perasaan Fio ... Fio itu manusia bukan boneka Fio punya hati nurani
ayo Damar tetap semangat jgn kendor terus perjuangkan cinta mu lewat jalur langit selalu langit kan doa"mu rayu tuhanmu, dan jangan lupa kamu harus jujur dgn masa lalu mu,, belajar jadi imam baik untuk calon bidadari surga mu ❤️🥰