Nasib sial tak terhindarkan menimpa Faza Herlambang dan mahasiswinya, Caca Wijaya, saat mereka tengah melakukan penelitian di sebuah desa terasing. Tak disangka, sepeda motor yang menjadi tumpuan mereka mogok di tengah kesunyian.
Mereka pun terpaksa memilih bermalam di sebuah gubuk milik warga yang tampaknya kosong dan terlupakan. Namun, takdir malam itu punya rencana lain. Dengan cemas dan tak berdaya, Faza dan Caca terjebak dalam skenario yang lebih rumit daripada yang pernah mereka bayangkan.
Saat fajar menyingsing, gerombolan warga desa mendadak mengerumuni gubuk tempat mereka berlindung, membawa bara kemarahan yang membara. Faza dan Caca digrebek, dituduh telah melanggar aturan adat yang sakral.
Tanpa memberi ruang untuk penjelasan, warga desa bersama Tetuah adat menuntut imereka untuk menikah sebagai penebusan dosa yang dianggap telah mengotori kehormatan desa. Pertanyaan tergantung di benak keduanya; akankah mereka menerima paksaan ini, sebagai garis kehidupan baru mereka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DELAPAN
Hening menyelimuti ruangan yang luas itu, hanya suara gemericik air dari akuarium yang ada di sudut ruangan. Faza dan Caca, keduanya terdiam, duduk membeku di sofa yang sama namun seolah terpisah oleh jarak yang tak terlihat.
Mata Faza terpaku pada televisi yang mati, sedangkan Caca terlihat menggigit bibirnya, mungkin sedang menahan kata-kata yang ingin dia lontarkan. Udara di ruangan itu terasa begitu berat, seakan-akan tekanan emosi keduanya menggantung di antara mereka.Faza merasa tak nyaman dengan ketegangan yang memenuhi ruangan itu. Dia merasakan kebutuhan untuk memecah keheningan.
"Ca, kamu buat sarapan apa?" tanya Faza dengan suara yang lebih lembut dari yang dia rencanakan. Pertanyaan itu terdengar begitu tiba-tiba, menggantung di udara.Caca yang sempat terkejut dengan perubahan topik, segera menoleh dengan mata yang membulat. Ekspresi wajahnya berubah, dari tegang menjadi sedikit lega.
"Oh... saya buat udang saus tiram, Pak Faza mau sarapan sekarang?" tanyanya, suaranya terdengar lembut."Ya boleh," jawab Faza, nada suaranya terdengar lebih hangat. Caca pun bangkit dari duduknya dengan gesit, langkahnya menuju dapur terlihat lebih ringan. Suasana yang sebelumnya terasa seperti terjebak dalam es, perlahan mulai mencair karena interaksi singkat itu.
Faza mengikuti dengan tatapan yang lebih lembut, menyaksikan punggung Caca yang kini tampak lebih santai saat memasuki dapur.
"Makan yang banyak Pak" ujar Caca sembari menyendokkan nasi ke piring pak dosennya.
"Sudah cukup" ujar Faza, Caca pun menaruk kembali centong nasi ke wadahnya.
Faza mulai menyantap nasi dengan gerakan yang penuh apresiasi, menikmati setiap suapan masakan Caca.
"Eeemm... ini enak Ca,gak nyangka kamu memiliki keahlian memasak seperti ini. Kamu memang wanita impian banyak pria, Ca," puji Faza dengan tatapan takjub.
Caca merona, tersipu malu mendengar pujian tersebut. "Ah, Pak Faza bisa saja, nyatanya belum ada pria yang benar-benar tertarik pada saya," ujarnya dengan nada rendah hati.
Tatapan Faza menyipit, diliputi senyum misterius."Bagaimana mungkin gadis secantik dan sesempurna kamu tidak dilirik? Atau mungkin, kamu yang terlalu selektif? Saya dengar, nama kamu disebut-sebut sebagai salah satu bintang wanita tercantik di kampus,lo Ca" ucapnya sambil tertawa kecil.
Caca terkejut mendengar jawaban Faza. Bahkan,Caca tak percaya jika gosip tersebut telah sampai ke telinga dosennya, membuat Caca merasa malu.
"Ah, Pak Faza berlebihan," sangkal Caca dengan cepat, tetapi suaranya sedikit bergetar karena gugup.
"Benar, Ca. Bahkan beberapa dosen terkemuka juga terpikat olehmu," seru Faza, sembari menambahkan rasa misteri ke dalam obrolan mereka. Caca tiba-tiba berhenti mengunyah, matanya membulat.
"Apakah maksud Pak Faza... Pak Alfin?" tebaknya, suara penuh tanya. Faza hanya tersenyum simpul dan mengangguk pelan, seolah membenarkan tebakan itu.
"Nah, itu kamu tahu," ujar Faza sambil menunjuk ke arah Caca yang semakin terlihat pucat."Apa saya telah misspeak, Ca?" tanya Faza ketika melihat Caca tenggelam dalam keheningan yang mendalam.
Caca menggeleng perlahan, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.
"Tidak, Pak... saya hanya...terkejut," kata Caca, mencoba menstabilkan suaranya.
"Oh, tapi benarkah gosip itu?" Faza tampak ingin mendapatkan konfirmasi. Caca merenung sejenak, "Saya sendiri kurang tahu, Pak. Pak Alfin tidak pernah secara terbuka mengungkapkan sesuatu kepada saya. Kami hanya makan bersama sekali, itu saja," ujarnya, sambil berjuang keras menyembunyikan kekacauan emosi di dalam dirinya.
Faza hanya menatap, mencoba membaca lebih dalam raut wajah Caca yang terlihat semakin gelisah saat membicarakan Alfin.
Caca tampak ingin mengakhiri pembicaraan tentang Pak Dosen Alfin, seolah ada sesuatu yang membuatnya ragu untuk membahas lebih jauh.
"Tambah lagi, Pak?" tanya Caca sambil tersenyum kecil, mencoba mengalihkan topik. Faza mengangguk, "ah ya boleh" lalu menyerahkan piring kepada Caca.
Setelah mereka selesai sarapan, Caca segera mengemas meja makan.Piring-piring kotor tampak mulai bertumpuk di sudut meja,Faza bangkit dari kursi dan berjalan ke dapur.
Caca terlihat sigap, mulai membereskan meja tanpa banyak bicara.Faza tahu dia adalah tipe perempuan yang bertanggung jawab, selalu cepat mengambil tindakan tanpa mengeluh. Tapi, Faza juga bukan tipe pria yang membiarkan orang lain bekerja sendirian.
Dengan tenang, Faza menggulung lengan kemejanya dan langsung membantu mencuci piring. Caca tertegun sejenak sebelum akhirnya menegur Faza.
"Biar saya saja, Pak. Ini pekerjaan perempuan." Ada nada sungkan dalam suaranya, seolah merasa tidak enak melihat Faza ikut bekerja. Namun, Faza tersenyum pada Caca sambil menjawab, dengan santai.
"Tidak apa-apa, Caca. Saya harus mulai terbiasa dengan pekerjaan rumah tangga seperti ini. Bukankah Rasulullah juga mengajarkan kita untuk saling membantu dalam rumah tangga? Bahkan ada hadis yang menyebutkan bahwa Rasulullah juga sering membantu pekerjaan istrinya. Dan itu salah satu sunnah yang sering dilupakan para suami, membantu istri mengurus rumah."
Ucap Faza, dengan nada ringan, namun ada kesungguhan dalam setiap kata. Faza lantas melirik kearah Caca sebentar. Wajahnya berubah, ada raut halus yang membuatnya tahu bahwa perkataan Faza barusan menyentuh sesuatu dalam diri Caca.
Memang Caca tak menanggapi apa-apa, tapi senyum kecil yang tersungging di bibirnya cukup bercerita, jia mahasiswinya itu terbawa perasaan. Faza tak tahu pasti. Yang jelas,pria berhidung mancung itu, hanya ingin melakukan sesuatu yang menurutnya baik.
Setelah membereskan piring kotor Faza bersiap untuk keluar rumah, entah mau pergi kemana pria itu, Caca pun enggan untuk mencampuri urusannya. Karena Faza hanya mengatakan ingin keluar ada sedikit urusan.
Namun sebelum pergi, Faza sempat mengatakan sesuatu pada Caca.
"Oya Ca, kalau mau pergi, bawa saja mobil, atau motor, terserah kamu mau bawa yang mana. Nanti bawa saja kunci rumahnya, saya ada pegang satu. Em...sepertinya saya pulang sedikit larut," jelas Faza sebelum pergi.
Caca mengangguk, mengerti apa yang Faza instruksikan. Faza pun pergi menggunakan mobil Rubicon hitam kesayangannya.
Tepat pukul delapan pagi, Caca ke kampus, untuk mencari buku referensi untuk materi skripsinya.
Di perpustakaan yang tenang, Caca tanpa sengaja bertemu dengan sosok Pak Alfin, dosen manajemen bisnis yang terkenal ramah. "Sendirian, Ca?" ucap Pak Alfin sambil menyapa, suaranya lembut menyapa Caca yang tenggelam dalam deretan buku dan tumpukan catatan di laptopnya.
"Iya, Pak," jawab Caca, matanya masih lekat pada layar. "Boleh saya duduk di sini?" tanya Pak Alfin, menunjuk kursi di hadapan Caca dengan sebuah senyum hangat.
"Ya, silakan,Pak" balas Caca, masih dengan nada yang singkat namun sopan. Pak Alfin duduk, matanya tidak berpaling dari sosok Caca yang tengah asyik menerawang setiap kalimat penting di bukunya.
Dalam diam, Alfin mulai mengabadikan momen tersebut, kamera ponselnya dengan hati-hati menangkap setiap detail serius wajah Caca. Tanpa suara, foto itu berakhir sebagai story di Instagram dan WhatsApp Alfin.
Dia menutupi wajah Caca dengan stiker bertuliskan 'love', menunjukkan rasa sayang yang terpendam. Caption yang dituliskan di fotonya, "Bismillah calon istri," menjadi pembicaraan di kalangan teman sejawatnya.
"Wah Pak Alfin mepet terus, ke ini cewek. Ini perempuan bikin penasaran deh, siapa targetnya, bisa bikin Alfin jungkir balik gini," ucap Pak Edo dosen sastra.
Story Alfin, menjadi perbincangan hangat di kalangan dosen. Faza, teman dekat Alfin yang juga aktif di Instagram,juga iku melihat story sahabatnya itu.
"Calon istri" batin Faza menelisik foto yang Alfin unggah di instagram. Fikiran Faza seketika berkelana, pria berhidung mancung itu seketika ingin segera cepat pulang. Faza tahu wanita yang tengah Alfin upayakan adalah Caca,mahasiswinya yang baru dua hari lalu sah menjadi istrinya.