Satu tubuh, dua jiwa. Satu manusia biasa… dan satu roh dewa yang terkurung selama ribuan tahun.
Saat Yanzhi hanya menjalankan tugas dari tetua klannya untuk mencari tanaman langka, ia tak sengaja memicu takdir yang tak pernah ia bayangkan.
Sebuah segel kuno yang seharusnya tak pernah disentuh, terbuka di hadapannya. Dalam sekejap, roh seorang dewa yang telah tertidur selama berabad-abad memasuki tubuhnya. Hidupnya pun tak lagi sama.
Suara asing mulai bergema di pikirannya. Kekuatan yang bukan miliknya perlahan bangkit. Dan batas antara dirinya dan sang dewa mulai mengabur.
Di tengah konflik antar sekte, rahasia masa lalu, dan perasaan yang tumbuh antara manusia dan dewa… mampukah Yanzhi mempertahankan jiwanya sendiri?
Atau justru… ia akan menjadi bagian dari sang dewa selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cencenz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Menjelang Pertarungan
Langit senja menggantung rendah saat suara lonceng panjang menggema dari aula utama. Para murid segera berkumpul, firasat mereka tentang pengumuman besar tak salah.
Di depan aula, salah satu tetua berdiri, diapit para pembimbing senior.
"Dalam tiga hari ke depan, Sekte Baiyuan akan mengunjungi Sekte Tianhan untuk mengadakan adu tanding persahabatan. Ini bukan sekadar unjuk kekuatan, tapi kesempatan belajar dan menilai diri masing-masing."
Bisik-bisik segera menyebar di antara murid.
"Sekte Baiyuan? Bukankah mereka terkenal dengan teknik pedang?"
"Aku dengar mereka punya jurus pamungkas, yang bisa menebas lawan bahkan sebelum mereka sadar telah diserang."
"Tebasan Seribu Li, bukan?"
Yanzhi berdiri di tengah kerumunan, matanya sedikit menyipit mendengar nama jurus itu.
Roh di tubuhnya langsung bersuara,
"Oh? Menarik. Jurus legendaris akhirnya muncul. Kalau beruntung, kau bisa melihatnya langsung… sebelum kau roboh karenanya."
Yanzhi mendecak. "Tenang saja. Aku nggak berniat jadi target uji coba."
Roh itu tertawa ringan. "Belum tentu. Sekte Baiyuan tidak datang tanpa alasan. Mereka suka menguji batas lawan."
Tiga hari menuju kedatangan Sekte Baiyuan bukanlah waktu yang panjang. Sejak hari itu, suasana sekte berubah drastis.
Hari-hari berikutnya diisi dengan latihan lebih intens. Senior Lu Ming, yang biasanya tenang, kini menunjukkan sisi tegasnya. Ia melatih murid-muridnya dalam formasi kecil dan pertarungan satu lawan satu.
"Jangan terlalu percaya diri," ucapnya pada Yanzhi saat latihan sore itu. "Di luar sana, banyak teknik yang tak bisa dilawan hanya dengan kekuatan tubuh. Kau harus lebih cermat membaca gerakan."
Yanzhi mengangguk. Peluh menetes di pelipisnya, tapi tekad dalam matanya menguat.
Latihan intens itu hanya awal. Kini, malam yang dinantikan atau mungkin ditakuti, telah tiba.
Malam sebelum hari kedatangan Sekte Baiyuan, suasana sekte berubah. Obor dinyalakan di sepanjang koridor, dan para instruktur tampak memeriksa ulang segala persiapan.
Di kamar asramanya, Yanzhi duduk bersila. Api spiritual dalam tubuhnya berdenyut tenang, jauh lebih stabil dari sebelumnya.
Roh itu tiba-tiba berkata,
"Besok, jangan buat aku malu."
Yanzhi menghela napas. "Bukannya biasanya kau suka lihat aku kesulitan?"
"Beda. Melawan murid Baiyuan, kalau kau jatuh, kita berdua jatuh."
"Kau terdengar seperti… peduli."
"Jangan terlalu percaya diri. Itu cuma naluri bertahan hidup."
"Kalau begitu… bantu aku."
"Tergantung. Coba minta lagi dengan suara lebih meyakinkan."
"Lupakan."
"Hah. Kepala batu tetap kepala batu."
Malam pun bergulir dalam diam, menyimpan segala kemungkinan yang akan datang.
......................
Pagi itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya, meski matahari sudah tinggi. Para murid Sekte Tianhan berkumpul di gerbang utama, mengenakan jubah resmi dengan lambang sekte di dada kiri. Aroma dupa menyatu dengan semangat dan rasa ingin tahu yang memenuhi halaman.
Tak lama kemudian, iring-iringan mendekat dari kejauhan, rombongan dari Sekte Baiyuan.
Mereka datang dengan langkah teratur, jubah mereka berwarna abu-abu kebiruan, dengan pola petir halus menjalar dari bahu ke lengan. Wajah-wajah mereka tenang, sebagian bahkan tampak angkuh.
Namun di antara mereka, satu sosok menarik perhatian.
Seorang pemuda tinggi dengan rambut hitam diikat rapi, pedang panjang tergantung di punggungnya. Sorot matanya tajam, seolah mengukur kekuatan siapa pun yang dilihatnya.
Bisik-bisik segera terdengar:
"Itu dia… Ruo Han. Murid utama Sekte Baiyuan."
"Kudengar dia pernah menang dalam lima adu tanding berturut-turut tanpa menarik pedangnya."
"Dan katanya, dia sudah menguasai Tebasan Seribu Li."
Yanzhi berdiri sedikit lebih belakang, mencoba tidak terlibat dalam hiruk-pikuk sambutan itu. Tapi matanya sempat bertemu dengan tatapan Ruo Han.
Hening. Sejenak, seolah waktu berhenti.
Tatapan Ruo Han menyapu seluruh barisan murid Tianhan, lalu berhenti sejenak pada Yanzhi. Hening, hanya desir angin yang lewat.
Yanzhi balas menatap, tak mengerti kenapa sorotan pemuda itu terasa menusuk.
Dalam kepalanya, suara roh terdengar pelan:
"Heh. Jadi ini yang katanya murid unggulan Baiyuan? Tatapan tajam, langkah percaya diri, jubah bagus… tapi auranya kosong."
Yanzhi sempat melirik ke arah rombongan tamu, lalu bertanya dalam hati, "Kau yakin? Tekanannya besar."
"Besarkah? Kau menyedihkan sekali kalau menganggap itu ‘tekanan’. Anak itu hanya belajar cara berjalan seperti pendekar, belum benar-benar hidup seperti satu."
"Kudengar dia bisa pakai jurus ‘Tebasan Seribu Li’."
"Dan aku pernah menghancurkan tujuh gunung hanya karena bosan. Kau pikir aku peduli?"
Yanzhi hampir tersedak napasnya sendiri karena komentar itu.
"Tapi hati-hati," lanjut roh itu setelah jeda, "Karena kau, sayangnya, bukan aku."
Yanzhi mendengus pelan dalam hati. Ia sudah terbiasa mendengar ocehan roh itu tentang betapa hebatnya dirinya di masa lalu.
"Iya, iya. Tujuh gunung, satu napas, dunia gemetar. Cerita lama."
Roh itu terkekeh kecil.
"Senang akhirnya kau mulai menghafalnya. Sekarang tinggal buktikan kau pantas jadi wadahku."
Yanzhi menatap ke depan lagi, ke arah arena yang mulai dipersiapkan.
"Aku tidak perlu menjadi sepertimu," gumamnya.
"Cukup jadi diriku… yang bisa menang."
Suara roh itu mendadak hening. Tapi Yanzhi tahu, ia sedang memperhatikan dan entah kenapa, tak ada ejekan yang keluar kali ini.
Sorak-sorai murid bergema di sekitar arena latihan, yang kini disulap menjadi gelanggang tanding. Tiang-tiang bendera dari kedua sekte berdiri sejajar, dengan lambang masing-masing berkibar tertiup angin pagi. Di atas panggung batu, para tetua dan instruktur duduk mengawasi, termasuk Lu Ming yang berdiri tegak di sisi Sekte Tianhan.
"Untuk tanding pembuka," suara dari pengawas utama menggema lewat pengeras suara spiritual, "akan dimulai oleh wakil Sekte Baiyuan, murid inti Rou Han, melawan wakil Sekte Tianhan, Wu Jintang."
Desahan dan bisik-bisik segera terdengar dari kerumunan.
"Wu Jintang? Dia cukup kuat, tapi… melawan Rou Han?"
"Rou Han sudah bisa menguasai Tebasan Seribu Li. Ini gila."
Yanzhi berdiri di barisan murid Tianhan, menyipitkan mata menatap arena.
Roh dalam dirinya berkomentar, "Murid itu akan menjadi umpan. Lihat saja, pertandingan ini hanya untuk pamer kekuatan."
Wu Jintang melangkah ke tengah arena dengan wajah datar, diikuti Rou Han yang berjalan santai dengan jubah birunya berkibar, pedang panjang di punggungnya memantulkan cahaya pagi.
Begitu keduanya berdiri saling berhadapan, suasana menjadi hening.
"Silakan mulai," ucap pengawas.
Tanpa banyak basa-basi, Rou Han mengangkat satu tangan dan menghunus pedangnya.
Aura tajam segera memenuhi arena. Suara angin terbelah terdengar bahkan sebelum pedangnya bergerak.
"Dia… dia belum menyerang, tapi tekanannya—" gumam seorang murid.
Yanzhi mengepalkan tangan. Tekanan energi itu seperti menggerus udara.
"Dia bisa mengubah medan hanya dengan aura," gumam Yanzhi.
Roh itu mencibir, "Aura? Itu hanya trik panggung. Jurus bagus, tapi jangan tertipu cahaya dan kilapnya. Yang penting, hasil akhir."
......................
Wu Jintang mengangkat kedua tangannya, membentuk segel sederhana. Dari tanah di bawah kakinya, aura tanah terangkat membentuk lapisan perisai mengitari tubuhnya. Ia memilih bertahan, menunggu gerakan lawan.
Rou Han tersenyum tipis. "Kalau begitu, biar aku yang membuka."
Langkahnya ringan, tapi dalam sekejap, ia sudah berada di udara. Pedangnya ditarik ke belakang, dan seketika udara di sekelilingnya berubah. Angin mengamuk. Daun-daun beterbangan. Uap energi melingkar di sepanjang bilah pedang panjangnya.
"Tebasan Seribu Li!"
Seruan itu meledak bersamaan dengan ayunan pedangnya ke arah tanah. Satu garis tajam terbentuk di udara, memanjang jauh bagaikan membelah dunia. Cahaya biru membentuk bayangan tebasan yang menyapu lurus ke depan, menggerus tanah dan menghantam perisai Wu Jintang tanpa ampun.
Boom!
Ledakan debu membumbung. Suara tebasan masih bergema beberapa detik setelahnya. Arena berguncang.
Ketika kabut debu perlahan menghilang, sosok Wu Jintang tampak terduduk di luar garis arena. Perisainya hancur, pakaiannya compang-camping, bahunya berdarah, tapi ia masih sadar, meski jelas kalah.
"Pertarungan pertama dimenangkan oleh Sekte Baiyuan."
Tepuk tangan riuh menyambut kemenangan itu.
Dari tempatnya berdiri, Yanzhi mengerutkan kening. Bukan karena kagum, tapi karena instingnya menyadari sesuatu yang lebih dalam.
"Dia menahan kekuatannya," gumamnya pelan.
Roh dalam dirinya mendengus.
"Setengah kekuatan, hanya untuk pamer. Anak itu belum menunjukkan giginya. Tapi cukup untuk membuat setengah murid di sini gemetar ketakutan."
Yanzhi menatap lurus ke depan. "Kau bilang kau pernah menghancurkan tujuh gunung… Sekarang aku hanya berharap bisa berdiri tanpa jatuh saat giliranku nanti."
"Berhenti bicara seperti penantang tak berguna. Kau tubuhku sekarang. Jangan bikin aku malu."
Yanzhi menghela napas pelan, lalu mengepalkan tangan. Api samar muncul di ujung jarinya, sedikit bergoyang, tapi tidak padam.
"Kalau dia tebas seribu li… maka aku akan bertahan meski harus terbakar dalam seribu luka."
Roh itu diam sejenak.
"…Kalimat itu nyaris terdengar keren. Sayang kau yang mengucapkannya."
......................
Di panggung batu yang lebih tinggi, para tetua dari dua sekte menyaksikan dengan mata tajam dan ekspresi nyaris tak berubah. Tapi ketika Tebasan Seribu Li dilepaskan, kilatan kecil tampak di mata beberapa dari mereka.
Salah satu tokoh utama dari Sekte Baiyuan, Xu Zhen, pria berjubah kelabu yang dikenal sebagai kepala divisi ilmu pedang, menyipitkan mata. "Dia belum menunjukkan bentuk sempurna jurus itu," ucapnya pelan pada wanita di sampingnya.
Wanita itu adalah Qin Shuyu, penasihat senior Sekte Baiyuan, sosok tua berambut perak dan sorot mata tajam. Ia duduk tenang dengan tangan terlipat di pangkuan. "Tentu tidak," sahutnya. "Kalau Rou Han serius, bukan cuma perisai yang hancur. Tanah arena ini bisa retak sampai ke gerbang selatan."
Di sisi lain, di tribun kehormatan Sekte Tianhan, suasana lebih tegang. Luo Jian, penanggung jawab pelatihan murid baru, mengelus janggutnya perlahan.
"Anak Baiyuan itu… lebih berbahaya dari yang kita duga."
"Jurusnya belum matang," tambah Mei Ronghua, pengawas utama bidang teknik energi. Perempuan itu berbicara pelan tapi tajam. "Tapi bahkan bentuk setengahnya saja cukup untuk menekan murid kita."
Lu Ming yang duduk di kursi paling ujung tidak bicara sepatah kata pun. Namun tatapannya terfokus, tajam seperti mata pedang. Ia tak menoleh pada siapa pun, hanya menatap ke arena.
"Apa dia bisa menandingi itu?" tanya Tetua Luo, pelan.
Lu Ming tidak menjawab.
Tapi jemari kanannya mengepal pelan di atas lututnya.
Di tepi arena, Yanzhi berdiri diam. Angin pagi menyapu wajahnya, membawa bau tanah dan debu pertarungan.
Ia menatap arena batu itu lekat-lekat.
Tempat di mana langkahnya berikutnya akan menentukan segalanya.
...****************...