Safira Maharani hanyalah gadis biasa, tetapi nasib baik membawanya hingga dirinya bisa bekerja di perusahaan ternama dan menjabat sebagai sekretaris pribadi CEO.
Suatu hari Bastian Arya Winata, sang CEO hendak melangsungkan pernikahan, tetapi mempelai wanita menghilang, lalu meminta Safira sebagai pengantin pengganti untuknya.
Namun keputusan Bastian mendapat penolakan keras dari sang ibunda, tetapi Bastian tidak peduli dan tetap pada keputusannya.
"Dengar ya, wanita kampung dan miskin! Saya tidak akan pernah merestuimu menjadi menantu saya, sampai kapanpun! Kamu itu HANYA SEBATAS ISTRI PENGGANTI, dan kamu tidak akan pernah menjadi ratu di istana putra saya Bastian. Saya pastikan kamu tidak akan merasakan kebahagiaan!" Nyonya Hanum berbisik sambil tersenyum sinis.
Bagaimana kisah selanjutnya, apakah Bastian dan Safira akan hidup bahagia? Bagaimana jika sang pengantin yang sebenarnya datang dan mengambil haknya kembali?
Ikuti kisahnya hanya di sini...!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moms TZ, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 08
...***...
Keesokan harinya.
Selesai sholat subuh, Safira bergegas ke dapur membuat sarapan untuk sang suami, Bastian. Ia juga membuat bekal makan siang mereka nanti di kantor. Safira memang selama ini selalu menyempatkan waktu memasak, dan membawa bekal. Dia jarang makan di luar, kecuali jika harus menemani Bastian bertemu klien.
"Nyonya Muda, apa yang Anda lakukan di dapur? Bukankah ini masih pagi sekali?" tanya Mbok Rum.
"Saya akan membuat sarapan sekaligus buat bekal, Mbok. Tidak apa-apa kan, saya pinjam dapurnya sebentar?" balas Safira.
"Oohh...tapi, Nyonya. Bagaimana jika ketahuan sama Tuan Muda? Beliau bisa marah nanti." Mbok Rum tampak ketakutan dan pandangannya menyapu sekeliling ruangan memastikan hanya ada mereka berdua di dapur.
"Mbok, tidak usah khawatir. Tuan tidak akan marah hanya masalah kecil seperti ini. Saya sudah terbiasa masak, Mbok," ucap Safira meyakinkan.
"Baiklah, Nyonya. Apa yang bisa saya bantu?" tanya Mbok Rum.
Safira memberikan beberapa sayuran pada Mbok Rum untuk disiangi, dan sekalian menyiapkan bumbu-bumbu yang harus diuleg dan diiris, sementara Safira sibuk menyiapkan bahan yang lain.
Dengan bantuan Mbok Rum, Safira bisa menyelesaikan masakannya lebih cepat. Kemudian dia membaginya untuk sarapan dan bekalnya nanti.
"Ini buat Mbok Rum, semoga suka. Nanti dimakan bareng-bareng sama yang lain ya, Mbok.' Safira memberikan sebagian hasil masakannya pada Mbok Rum.
"Ini buat kami, Nyonya?" tanya Mbok Rum dengan perasaan terharu dan mata berkaca-kaca.
"Iya, Mbok. Nanti buat sarapan sama yang lain, ya." Safira tersenyum sambil mengelus lengan Mbok Rum.
"Te-terima kasih, Nyonya." Tentu saja Mbok Rum sangat gembira, pagi-pagi mendapatkan rejeki nomplok, mana dimasakin sama majikannya pula.
"Sudah ya, Mbok. Saya harus membangunkan Tuan Bastian, dulu." Safira kemudian berlalu menuju lantai dua di mana kamarnya berada.
Sesampai di kamar, Safira tak melihat Bastian di tempat tidur, dan mendengar suara gemericik air di kamar mandi. Maka dia segera menyiapkan pakaian kerja untuk Bastian.
Di dapur, Mbok Rum sibuk membuat masakan khusus buat Nyonya Hanum dengan dibantu oleh Santi. Sesekali mereka berdua terlibat obrolan ringan sambil tertawa kecil. Bahkan keduanya tidak menyadari bahwa Nyonya Hanum telah berada di belakang mereka dan memperhatikan keduanya dengan wajah angkuh sambil berkacak pinggang.
"Kalian di sini digaji oleh putra saya, bukan mulutnya yang bekerja, tetapi tangan dan kaki kalian yang bekerja," sarkas Nyonya Hanum. Tatapannya begitu sinis, sama sekali tak nampak raut muka ramah pada wajahnya.
Mbok Rum dan Santi langsung membalik badan. Mata mereka melebar sempurna mendapati seseorang di belakang mereka tengah menatapnya dengan nyalang.
"M-ma-maafkan kami, Nyonya. Kami tidak tahu jika Anda sudah berada di sini pagi-pagi...
Perkataan Mbok Rum langsung terpotong oleh Nyonya Hanum. "Aah, sudahlah! Jangan banyak ba*cot kalian! Cepat selesaikan masak sarapan buat saya!" perintah Nyonya Hanum dengan nada ketus.
"Saya tidak habis pikir, bisa-bisanya Bastian memperkerjakan pembantu tidak kompeten macam kalian ini. Benar-benar payah!" Nyonya Hanum kemudian melangkah masuk ke dapur dan netranya melihat masakan yang tampak lezat di dalam mangkok di atas meja kabinet.
"Baru ini yang sudah selesai kalian masak?" tanyanya sambil meraih mangkok tersebut.
Sejenak Mbok Rum dan Santi saling pandang, tetapi belum juga mereka sempat menjawab, Nyonya Hanum justru sudah berlalu sambil membawa lauk hasil masakan Safira, yang diberikan pada Mbok Rum dan lainnya.
"San, bagaimana reaksi Nyonya Besar nanti, jika tahu itu masakan Nyonya Muda? Duh...tapi kita juga tidak mungkin melarangnya, kan?" Mbok Rum merasa resah.
"Sudahlah, Mbok. Toh, bukan salah kita. Siapa suruh itu Kanjeng Mami asal ambil aja tanpa bertanya." Santi mengangkat bahunya cuek.
"Rum, mana nasinya? Berikan sini! Saya makan ini saja, menunggu kalian keburu kelaparan saya nanti," teriak Nyonya Hanum, sama sekali tak tampak sikapnya yang elegan.
Mbok Rum datang tergopoh-gopoh membawa sepiring nasi putih hangat. "Monggo, ini nasinya, Nyonya."
Nyonya Hanum dengan tidak sabar mengambil lauk di dalam mangkok, lalu menyendok nasi berserta lauk dan menyuapkannya ke dalam mulut. Untuk beberapa saat Nyonya Hanum terdiam menikmati rasa masakan yang masuk ke mulutnya.
Sementara Mbok Rum yang berdiri tak jauh dari Nyonya Hanum, tampak harap-harap cemas menanti reaksi selanjutnya dari majikannya itu.
Akan tetapi, hal yang selanjutnya terjadi, Nyonya Hanum tampak begitu menikmati makanannya, tanpa protes ini dan itu seperti biasanya.
"Alhamdulillah, semoga lewat makanan, Nyonya Besar bisa terpikat pada Nyonya Muda." Mbok Rum tersenyum melihat majikannya itu makan dengan lahap.
"Aamiin..." sahut Santi dan Rini yang kebetulan lewat.
"Tumben, masakanmu rasanya berbeda, Rum?" komentar Nyonya Hanum ketika telah selesai makan.
Deg...
Mbok Rum langsung terkesiap, begitu mendengar ucapan Nyonya Hanum. Dia terdiam beberapa saat, hatinya diliputi dilema antara jujur atau tidak.
"Bumbu apa yang kamu pakai?" tanya Nyonya Hanum.
"Tumben rasanya enak sekali, besok masak seperti ini lagi," perintahnya kemudian.
"Alhamdulillah..." Senyum tersungging di bibir Mbok Rum. Hatinya merasa gembira, dia berpikir bahwa majikannya pasti akan merasa senang, jika dia mengatakan dengan jujur masakan siapa yang telah majikannya makan itu.
"Maaf, Nyonya. Jika Anda menyukainya, maka saya akan mengatakan pada Nyonya muda untuk memasaknya buat Anda, Nyonya," sahutnya.
"Apa katamu? Jadi ini masakan perempuan kampung yang miskin itu?" teriak Nyonya Hanum.
Dan tanpa diduga wanita yang merasa dirinya terhormat itu, langsung melemparkan mangkok dan piring bekas makannya sesaat lalu, sehingga membuat mereka yang berada di ruangan itu melebarkan matanya sambil menahan napas.
Pyaaarrr
"Astaghfirullah al'adzim...!" pekik Santi nyaring karena pecahan mangkok dan piring keramik itu hampir mengenai tangan dan kakinya.
"Kur*ang aj*ar...! Kalian sengaja ingin meracuni saya kan, dengan membiarkan saya memakan makanan sampah itu? Jawab, Rum!" teriak Nyonya Hanum dengan lantang memenuhi ruangan.
"M-maaf, Nyonya. Bu-bukan maksud saya seperti itu, tapi..."
"Ada apa ini...? Kenapa pagi-pagi sudah terjadi keributan?" tanya Bastian yang baru saja turun bersama Safira dan sudah rapi dengan pakaian kerja.
Bastian langsung mendekati Nyonya Hanum, sedangkan Safira hanya diam berdiri di ujung tangga bawah menyaksikan keributan tersebut.
"Ada apa ini sih, Mi? Tidak bisakah membicarakan masalah dengan baik, tanpa ada keributan?" tanya Bastian berusaha sabar menghadapi sikap ibunya.
"Bilang sama perempuan kampung yang miskin itu, agar jangan menggunakan dapur bersih ini! Kalau mau masak, gunakan saja dapur yang sama dengan para pelayan. Karena di situlah memang tempat dia seharusnya!" Nyonya Hanum berkata tanpa perasaan.
"Mi, Safira adalah istriku! Itu artinya dia nyonya rumah di sini, dan dia juga menantu Mami. Jadi dia berhak menggunakan apapun yang ada di mansion ini. Safira tidak perlu meminta ijin pada siapapun." Bastian memberi penjelasan.
"Sampai kapanpun mami tidak akan pernah menganggapnya sebagai menantu! Mami tidak level dengan perempuan kampung yang miskin itu! Sangat memalukan memiliki menantu dari kasta rendah," cibir Nyonya Hanum tanpa perasaan.
Matanya memandang sinis dan tersenyum smirk ke arah Safira, yang melangkah keluar meninggalkan ruangan itu dengan membawa sebongkah luka di hati.
***
Bersambung....
Aiiihhh...pasti rasanya sungguh nyeri-nyeri sedap menjadi Safira.