NovelToon NovelToon
TERPAKSA MENIKAHI CEO BEJAD

TERPAKSA MENIKAHI CEO BEJAD

Status: sedang berlangsung
Genre:Perjodohan / Cerai / CEO / Percintaan Konglomerat / Konflik etika / Balas Dendam
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Alviona Mahira berusia 15 tahun baru lulus SMP ketika dipaksa menikah dengan Daryon Arvando Prasetya (27 tahun), CEO Mandira Global yang terkenal tampan, kaya, dan memiliki reputasi sebagai playboy. Pernikahan ini hanya transaksi bisnis untuk menyelamatkan keluarga Alviona dari kebangkrutan.

Kehidupan rumah tangga Alviona adalah neraka. Siang hari, Daryon mengabaikannya dan berselingkuh terang-terangan dengan Kireina Larasati—kekasih yang seharusnya ia nikahi. Tapi malam hari, Daryon berubah menjadi monster yang menjadikan Alviona pelampiasan nafsu tanpa cinta. Tubuh Alviona diinginkan, tapi hatinya diinjak-injak.
Daryon adalah pria hyper-seksual yang tidak pernah puas. Bahkan setelah bercinta kasar dengan Alviona di malam hari, pagi harinya dia bisa langsung berselingkuh dengan Kireina. Alviona hanya boneka hidup—dibutuhkan saat Daryon terangsang, dibuang saat dia sudah selesai.

Kehamilan, keguguran karena kekerasan Kireina, pengkhianatan bertubi-tubi

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 35: KAELVIAN MAHENDRA MUNCUL

# 🌟

** - KEDATANGAN YANG TIDAK TERDUGA]**

Hari kesembilan sejak Alviona mengurung diri.

Pagi itu, mansion Prasetya kedatangan tamu yang tidak terduga.

Sebuah mobil sedan hitam mewah—merk Jerman yang mahal—berhenti di depan gerbang. Dari mobil itu turun seorang pria tinggi berusia sekitar 29 tahun, dengan jas abu-abu gelap yang sempurna, rambut hitam yang tersisir rapi tapi tidak kaku, dan aura yang... berbeda dari kebanyakan pria di lingkaran keluarga Prasetya.

Ada kehangatan di matanya. Ada ketenangan di posturnya. Ada sesuatu yang... gentle.

Kaelvian Mahendra.

Direktur Mandira Global—posisi yang hanya sedikit di bawah Daryon sebagai pemilik utama—tapi dengan reputasi yang sangat berbeda. Kalau Daryon dikenal sebagai pemimpin yang dingin, keras, dan menghalalkan segala cara untuk bisnis, Kaelvian dikenal sebagai pemimpin yang firm tapi adil, tegas tapi manusiawi.

Dan yang paling penting: rival Daryon dalam segala hal.

Dalam bisnis, mereka bersaing untuk proyek-proyek besar.

Dalam kehidupan sosial, mereka sering dibandingkan—Daryon yang karismatik tapi dingin versus Kaelvian yang ramah tapi authoritative.

Dan kalau ada yang bisa membuat Daryon merasa terancam... itu Kaelvian.

---

**[DI RUANG KERJA DARYON]**

"Kaelvian," Daryon berdiri dari kursi kerjanya dengan wajah yang... tidak senang. "Aku tidak tahu kau sudah pulang dari Singapura."

Kaelvian masuk dengan langkah tenang, senyum tipis di bibirnya—senyum yang professional tapi ada sesuatu di matanya yang mengatakan dia tidak datang untuk hal yang menyenangkan.

"Aku pulang kemarin malam," jawab Kaelvian sambil duduk di sofa tanpa dipersilakan—gerakan yang menunjukkan dia punya authority di sini, bukan tamu biasa. "Langsung dengar kabar tentang... istri mu."

Daryon langsung tegang. "Apa yang kau dengar?"

"Bahwa dia kehilangan bayinya. Jatuh dari tangga. Dan sekarang... aku dengar dia tidak keluar kamar berhari-hari." Kaelvian menatap Daryon dengan tatapan yang... menyelidik. "Aku datang untuk melayat. Dan... melihat kondisinya sendiri."

"Dia baik-baik saja," jawab Daryon cepat—terlalu cepat. "Hanya butuh waktu untuk pulih."

"Pulih secara fisik? Atau mental?" Kaelvian bertanya dengan nada yang halus tapi ada ketajaman di sana.

Daryon tidak menjawab—hanya menatap Kaelvian dengan tatapan yang defensive.

Kaelvian berdiri. "Aku mau bertemu dengannya. Sekarang."

"Dia sedang istirahat—"

"Sekarang, Daryon." Kaelvian memotong dengan nada yang tidak menerima penolakan. "Atau aku akan naik sendiri dan cari kamarnya."

Tatapan mereka bertemu—tension yang kental di udara—sebelum akhirnya Daryon menghela napas dengan kesal.

"Lantai dua. Kamar ketiga dari tangga."

---

**[PERTEMUAN DENGAN ALVIONA - KONTRAS YANG MENCOLOK]**

Kaelvian naik tangga dengan langkah yang hati-hati—melewati tangga yang sama dimana Alviona jatuh—dan berhenti di depan pintu kamar ketiga.

Dia mengetuk pelan. "Nyonya Alviona? Ini Kaelvian Mahendra. Boleh saya masuk sebentar?"

Tidak ada jawaban.

Dia mengetuk lagi—lebih lembut kali ini. "Saya... saya dengar tentang kehilangan Anda. Saya turut berduka. Dan... saya ingin menyampaikan belasungkawa secara langsung."

Masih tidak ada jawaban.

Tapi kemudian—suara sangat pelan dari dalam:

"Pintu tidak dikunci..."

Kaelvian membuka pintu perlahan—dan pemandangan yang menyambutnya membuat dadanya sesak.

Kamar yang gelap—tirai tertutup rapat, hanya sedikit cahaya yang masuk dari celah. Udara pengap. Bau yang sedikit tidak sedap karena kurang ventilasi.

Dan di ranjang—Alviona berbaring dengan selimut menutupi hampir seluruh tubuhnya, hanya wajah yang terlihat.

Wajah yang... menghancurkan untuk dilihat.

Kurus. Sangat kurus. Pipi cekung. Mata cekung dengan lingkaran hitam yang tebal. Bibir kering dan pecah-pecah. Rambut kusut dan tidak terurus.

Tapi yang paling mencolok adalah... tatapan matanya.

Kosong. Benar-benar kosong. Seperti tidak ada lagi kehidupan di sana.

Kaelvian merasakan sesuatu mencengkeram dadanya—amarah dan kesedihan bercampur jadi satu.

*Daryon... apa yang kau lakukan pada gadis ini?*

Dia melangkah masuk dengan hati-hati, menarik kursi dari sudut ruangan, dan duduk di samping ranjang—dengan jarak yang cukup, tidak terlalu dekat untuk membuat Alviona tidak nyaman.

"Nyonya Alviona," ucapnya dengan suara yang sangat lembut—nada yang sangat berbeda dari nada Daryon atau siapapun di mansion ini. "Nama saya Kaelvian. Kaelvian Mahendra. Saya... saya kerja dengan suami Anda di perusahaan."

Alviona tidak merespon. Hanya menatap langit-langit dengan tatapan yang sama.

"Saya baru dengar tentang... tentang kehilangan Anda. Dan saya... saya sangat menyesal." Kaelvian melanjutkan dengan suara yang bergetar sedikit—genuine empathy yang jelas terdengar. "Tidak ada kata yang cukup untuk kehilangan seperti ini. Tapi... saya ingin Anda tahu bahwa saya turut berduka."

Masih tidak ada respon.

Kaelvian melihat sekeliling kamar—meja nakas dengan obat-obatan yang tidak tersentuh, nampan makanan yang sudah dingin dan tidak dimakan, gelas air yang masih penuh.

"Anda... Anda sudah makan hari ini?" tanyanya pelan.

Keheningan.

"Kemarin?"

Keheningan lagi.

Kaelvian menghela napas—frustasi bercampur kekhawatiran.

"Nyonya Alviona," ucapnya dengan nada yang lebih firm tapi tetap lembut. "Saya tahu ini sangat berat. Saya tidak bisa membayangkan rasa sakitnya. Tapi... Anda harus makan. Anda harus minum. Anda harus—"

"Untuk apa?"

Suara Alviona akhirnya keluar—sangat pelan, serak, hampa.

Kaelvian terdiam.

"Untuk apa aku harus makan?" Alviona melanjutkan dengan nada yang datar. "Untuk apa aku harus hidup? Satu-satunya alasan aku bertahan... sudah mati. Jadi... untuk apa?"

Kata-kata itu seperti pukulan di dada Kaelvian.

"Karena hidup Anda berharga," jawabnya dengan suara yang bergetar karena emosi. "Terlepas dari apapun yang terjadi. Terlepas dari siapa yang bilang apa. Hidup Anda... berharga."

Alviona akhirnya menoleh—menatap Kaelvian untuk pertama kalinya—dan ada sesuatu di matanya yang membuat Kaelvian ingin menangis.

Mata yang sudah kehilangan harapan. Mata yang sudah menyerah.

"Kau tidak kenal aku," bisik Alviona. "Kau tidak tahu apa yang aku alami. Jadi jangan bilang hidupku berharga. Karena... karena semua orang di rumah ini bilang sebaliknya."

Kaelvian merasakan amarah yang membara di dadanya.

"Mereka salah," ucapnya dengan nada yang tegas. "Siapapun yang bilang begitu... mereka salah."

Dia membungkuk sedikit—membuat mata mereka sejajar—dan menatap Alviona dengan tatapan yang penuh... ketulusan.

"Kau tidak pantas diperlakukan seperti ini," bisiknya dengan suara yang penuh keyakinan. "Tidak ada wanita yang pantas."

Kata-kata itu menggantung di udara—simple tapi powerful.

Alviona menatap Kaelvian lama—seperti mencoba memahami apakah kata-kata itu genuine atau hanya basa-basi seperti yang lain.

Tapi ada sesuatu di mata Kaelvian yang berbeda.

Tidak ada pity yang merendahkan. Tidak ada judgement. Hanya... empati murni. Kebaikan murni.

"Aku..." Alviona mencoba bicara tapi suaranya putus. "Aku tidak tahu... aku tidak tahu bagaimana caranya bertahan lagi..."

"Satu hari dalam satu waktu," jawab Kaelvian lembut. "Hari ini, Anda bertahan dengan makan satu suap. Besok, mungkin dua suap. Dan seterusnya. Pelan-pelan. Tidak perlu terburu-buru."

Dia berdiri, berjalan ke meja nakas, mengambil gelas air yang masih penuh.

"Mulai dari ini," ucapnya sambil menyodorkan gelas. "Minum seteguk. Hanya seteguk."

Alviona menatap gelas itu—seperti benda asing yang tidak dia kenal.

Tapi entah kenapa... mungkin karena nada suara Kaelvian, mungkin karena tatapannya yang tidak judgemental, mungkin karena dia sudah terlalu lelah untuk menolak...

Dia duduk perlahan—gerakan yang sangat lambat karena tubuhnya lemah—dan mengambil gelas itu dengan tangan gemetar.

Minum seteguk kecil.

Kaelvian tersenyum—senyum yang hangat, yang tulus.

"Bagus. Itu langkah pertama."

---

**[DI LUAR KAMAR - DARYON MENGINTIP]**

Di luar kamar, berdiri sedikit tersembunyi di ujung koridor, Daryon mengamati interaksi itu lewat celah pintu yang tidak tertutup sepenuhnya.

Melihat cara Kaelvian bicara dengan lembut pada Alviona.

Melihat cara Alviona—yang sudah berhari-hari tidak merespon siapapun—akhirnya merespon Kaelvian.

Melihat cara Kaelvian membuat Alviona minum—sesuatu yang bahkan Bi Sari tidak bisa lakukan berhari-hari.

Dan sesuatu di dada Daryon... terasa tidak enak.

Bukan khawatir tentang Alviona.

Tapi sesuatu yang lebih... possessive. Territorial.

*Kenapa Kaelvian bisa membuat dia merespon? Kenapa dia mendengarkan Kaelvian tapi tidak mendengarkan aku?*

Pikiran itu membuat Daryon mengepalkan tangannya dengan kuat—kuku menancap di telapak tangan.

Sesuatu yang dia tidak mengerti—sesuatu yang dia tidak mau akui—mulai tumbuh di dadanya.

Sesuatu yang berbahaya.

---

**[KAELVIAN BERJANJI]**

Setelah memastikan Alviona minum setengah gelas air dan makan beberapa suap buah yang dia minta dari Bi Sari, Kaelvian berdiri untuk pergi.

"Saya akan datang lagi besok," ucapnya dengan nada yang firm tapi lembut. "Dan saya akan pastikan Anda makan. Setidaknya sedikit."

"Kenapa?" tanya Alviona dengan nada yang bingung. "Kenapa kau peduli? Kau bahkan tidak kenal aku..."

Kaelvian tersenyum sedih. "Karena seseorang harus peduli. Dan sepertinya... orang-orang di rumah ini tidak melakukannya dengan benar."

Dia melangkah ke pintu, tapi sebelum keluar, dia menoleh lagi.

"Dan Nyonya Alviona... kalau Anda butuh bicara. Kalau Anda butuh bantuan. Kalau Anda butuh... apapun. Ini nomor saya."

Dia meletakkan kartu nama di meja nakas.

"Telepon saya. Kapanpun."

Dan dengan itu, dia keluar—menutup pintu dengan lembut.

Meninggalkan Alviona yang untuk pertama kalinya dalam berhari-hari... merasakan sesuatu selain kekosongan.

Ada sedikit kehangatan. Sedikit harapan. Sedikit... kemungkinan bahwa mungkin—mungkin—tidak semua orang di dunia ini jahat.

---

**[KONFRONTASI DI BAWAH]**

Begitu Kaelvian turun, Daryon sudah menunggu di ruang tamu dengan wajah yang... gelap.

"Sudah puas?" tanyanya dengan nada yang tajam.

Kaelvian menatap Daryon dengan tatapan yang... disappointed.

"Istrimu dalam kondisi yang sangat buruk, Daryon," ucapnya dengan nada yang controlled tapi ada amarah di bawahnya. "Dia tidak makan. Tidak minum. Tidak keluar kamar. Itu... itu tanda depresi berat. Dia butuh bantuan profesional."

"Itu bukan urusanmu."

"Aku membuat itu urusanku," balas Kaelvian tegas. "Karena jelas kau tidak peduli cukup untuk mengurusnya."

"Jaga bicaramu—"

"Atau apa?" Kaelvian melangkah mendekati Daryon, tatapan mereka bertemu dengan tension yang sangat tinggi. "Kau akan apa, Daryon? Kau sudah merusak gadis itu cukup parah. Jangan rusak lebih jauh."

"Keluar dari rumahku."

"Dengan senang hati." Kaelvian berbalik, tapi sebelum sampai pintu, dia menoleh lagi. "Tapi aku akan kembali besok. Dan lusa. Dan seterusnya. Sampai aku yakin dia aman."

"Dia ISTRIKU!"

"Lalu perlakukan dia seperti istri!" Kaelvian berteriak sekarang—untuk pertama kalinya kehilangan cool-nya. "Bukan seperti... seperti boneka yang bisa kau buang setelah dipakai!"

Keheningan yang mencekik.

Lalu Kaelvian pergi—membanting pintu cukup keras untuk menunjukkan amarahnya.

Meninggalkan Daryon yang berdiri sendirian di ruang tamu dengan perasaan yang... complicated.

Amarah karena Kaelvian berani masuk rumahnya dan ikut campur.

Tapi juga... sesuatu yang lain.

Sesuatu yang dia tidak mau akui tapi mulai tumbuh.

Sesuatu yang berbahaya bagi Kaelvian.

Dan mungkin... untuk Alviona juga.

---

**Kaelvian telah membuka pintu—pintu kecil untuk harapan di hati Alviona. Tapi dengan membuka pintu itu, dia juga membangkitkan sesuatu yang gelap di dalam Daryon. Sesuatu yang possessive. Sesuatu yang berbahaya. Dan ketika Daryon merasa terancam... tidak ada yang bisa memprediksi apa yang akan dia lakukan.**

---

**[ END OF BAB 35 ]**

1
Eflin
.uuuuiu]uui
Eflin
pkpp
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!