SINOPSIS
Laura Christina telah menyimpan perasaan pada Julian Mahardika sejak mereka kuliah—sepuluh tahun yang terasa seperti selamanya. Julian, pria yang membangun tembok tinggi di sekitar hatinya setelah tragedi masa lalu, tidak pernah menyadari cinta diam-diam Laura. Ketika kehidupan membawa mereka kembali bersama dalam proyek berbahaya yang melibatkan konspirasi, pengkhianatan, dan ancaman maut, Laura harus memilih: tetap bersembunyi di balik senyumnya atau mengambil risiko kehilangan segalanya—termasuk nyawanya—untuk pria yang bahkan tidak tahu dia ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2: PERTEMUAN TAK TERDUGA
Senin pagi yang sibuk. Gedung perkantoran Equity Tower menjulang tinggi di kawasan SCBD, Jakarta Selatan. Laura melangkah cepat melewati lobby mewah, stiletto hitamnya mengetuk lantai marmer dengan ritme teratur. Blazer abu-abu dan rok pensil membuatnya terlihat profesional—persis seperti yang dia inginkan.
Seminggu telah berlalu sejak reuni. Tujuh hari Laura mengubur perasaannya lebih dalam lagi. Tujuh hari dia meyakinkan dirinya bahwa dia sudah melepaskan Julian.
"Pagi, Mbak Laura!" sapa resepsionis dengan ramah saat Laura melintas.
"Pagi, Siska." Laura membalas dengan senyum singkat, tidak mengurangi kecepatan langkahnya.
Hari ini dia punya meeting penting dengan klien baru. Presentasi untuk proyek perumahan mewah senilai tiga ratus miliar rupiah. Ini adalah proyek terbesar yang pernah Laura tangani, dan dia tidak boleh gagal.
Di tangannya, Laura memegang folder berisi proposal lengkap dan tablet yang sudah dipersiapkan dengan sempurna. Tidak ada ruang untuk kesalahan.
Lift di sayap kiri gedung terbuka. Laura melangkah masuk, menekan tombol lantai dua puluh tiga—lantai di mana kantor perusahaannya, Mahkota Property Development, berada.
Tepat sebelum pintu menutup, seseorang memasukkan tangannya, menahan pintu.
Laura refleks mundur sedikit, memberi ruang. "Silakan—"
Kata-katanya terhenti.
Jantungnya berhenti berdetak.
Julian Mahardika melangkah masuk ke dalam lift.
Waktu seakan berhenti bergerak. Laura tidak bisa bernapas, tidak bisa berpikir. Otaknya tiba-tiba kosong, semua kata-kata yang pernah dia pelajari menghilang begitu saja.
Julian mengenakan jas abu-abu gelap dengan kemeja putih, tanpa dasi. Rambutnya sedikit berantakan seperti baru saja dia menyisirnya dengan jari. Dan wajahnya—wajah yang telah Laura lihat dalam mimpi selama sepuluh tahun—berada hanya beberapa langkah darinya.
Julian tidak menatapnya. Dia sibuk dengan ponselnya, mengetik sesuatu dengan cepat. Ekspresinya datar, fokus.
Lift mulai bergerak naik. Ruang sempit itu tiba-tiba terasa sangat terbatas. Laura bisa mencium aroma cologne Julian—maskulin dengan sedikit sentuhan kayu cendana. Aroma yang sama yang pernah dia cium sekilas bertahun-tahun lalu saat mereka tidak sengaja berpapasan di koridor kampus.
Laura menelan ludah, memaksa dirinya untuk bernapas normal. Dia menatap panel angka lift, berpura-pura tidak peduli. Tapi seluruh indranya terasa sangat hidup—terlalu hidup.
Lantai lima. Enam. Tujuh.
Keheningan memenuhi lift.
Lalu Julian bergerak sedikit, mengubah posisi berdirinya. Tanpa sengaja, lengan jasnya menyentuh lengan Laura.
Laura hampir terlonjak. Sentuhan itu seperti aliran listrik yang menyengat kulitnya meski terhalang kain.
"Maaf," ujar Julian tanpa menoleh, suaranya rendah dan dalam.
Laura menegang. Itu pertama kalinya Julian berbicara padanya—berbicara langsung padanya—dalam sepuluh tahun.
"Tidak apa-apa," jawab Laura pelan, mencoba menjaga suaranya tetap stabil.
Hening lagi. Julian kembali fokus pada ponselnya.
Lantai lima belas. Enam belas.
Laura bisa merasakan jantungnya berdetak sangat kencang. Terlalu kencang. Dia yakin Julian bisa mendengarnya di dalam keheningan lift ini.
Katakan sesuatu, desak Laura pada dirinya sendiri. Ini kesempatanmu. Katakan sesuatu.
Tapi apa? Apa yang bisa dia katakan pada pria yang tidak mengenalnya? Pada pria yang tidak tahu bahwa dia telah mencintainya selama sepuluh tahun?
Lantai dua puluh. Lift akan berhenti sebentar lagi.
"Um..." Laura membuka mulut, mencoba, tapi kata-katanya застряла di tenggorokan.
Julian menoleh. Untuk pertama kalinya, mata mereka bertemu.
Dan Laura merasa seluruh dunianya berhenti.
Mata Julian berwarna cokelat gelap, nyaris hitam. Tajam. Penuh kewaspadaan. Tapi ada sesuatu di balik ketajaman itu—kekosongan. Kesepian yang dalam.
"Ya?" Julian menunggu, alis terangkat sedikit.
Laura membeku. Otaknya tiba-tiba kosong total. Apa yang mau dia katakan tadi? Dia lupa. Semuanya hilang.
"Tidak... tidak apa-apa," Laura akhirnya bergumam, mengalihkan pandangan.
Bodoh. Bodoh. Bodoh.
Ting.
Lift berhenti di lantai dua puluh tiga. Pintu terbuka.
"Permisi," ujar Laura cepat, melangkah keluar tanpa menoleh lagi.
Tapi tepat saat dia melangkah keluar, dia mendengar Julian berbicara—bukan padanya, tapi pada seseorang di ponselnya.
"Ya, aku sudah di Equity Tower. Meeting dengan Mahkota Property jam sepuluh."
Laura membeku di tengah lorong.
Mahkota Property. Perusahaannya.
Tidak mungkin.
Laura berbalik, tapi pintu lift sudah tertutup. Julian sudah naik ke lantai lebih atas.
Dengan langkah cepat, Laura menuju resepsionis kantornya. "Dina, siapa klien kita jam sepuluh?"
Dina, resepsionis muda berambut panjang, membuka agendanya. "Sentinel Security Services, Mbak. Perusahaan keamanan swasta. Katanya mau kerja sama untuk proyek Green Valley Residence."
Sentinel Security Services.
Perusahaan Julian.
Laura merasa lututnya hampir lemas. Dia berpegangan pada meja resepsionis, mencoba menjaga keseimbangannya.
"Mbak Laura, tidak apa-apa?" Dina terlihat khawatir.
"Aku... aku baik-baik saja," Laura memaksa senyum. "Siapa yang akan meeting dengan mereka?"
"Pak Direktur utama dan... Mbak Laura sendiri. Mbak kan yang pegang proyek Green Valley."
Tentu saja. Laura adalah project leader untuk Green Valley Residence—proyek perumahan elit dengan sistem keamanan tingkat tinggi. Wajar jika mereka membutuhkan perusahaan keamanan profesional.
Tapi kenapa harus Sentinel? Kenapa harus perusahaan Julian?
"Meetingnya di ruang direksi, Mbak. Jam sepuluh kurang lima belas menit lagi."
Lima belas menit.
Laura menarik napas dalam-dalam. Dia Director Marketing Mahkota Property. Dia sudah menangani puluhan meeting dengan klien-klien besar. Dia profesional. Dia bisa melakukan ini.
Meski kliennya adalah pria yang telah dia cintai selama sepuluh tahun.
"Terima kasih, Dina." Laura berjalan menuju kantornya dengan langkah yang dibuat-buat tenang.
Begitu pintu kantornya tertutup, Laura bersandar pada pintu dan memejamkan mata.
Ini tidak bisa terjadi. Ini terlalu kejam.
Seminggu lalu dia memutuskan untuk melupakan Julian. Melepaskan perasaan yang tidak akan pernah terbalas. Dan sekarang takdir memaksanya untuk bekerja dengan pria itu?
Ponsel Laura bergetar. Pesan dari Nia.
**Nia: Pagi sayang. Sudah sarapan? Jangan lupa makan ya. Love you!**
Laura tersenyum tipis. Nia selalu tahu kapan harus mengirim pesan-pesan seperti ini—seolah dia bisa merasakan saat Laura membutuhkan dukungan.
Tapi Laura tidak membalas. Tidak sekarang. Dia tidak tahu bagaimana menjelaskan situasi ini bahkan pada sahabatnya sendiri.
Laura menaruh tasnya di meja, membuka laptop, dan mencoba fokus pada proposal yang sudah dia siapkan. Dia membaca ulang setiap slide presentasi, memastikan semuanya sempurna.
Dia harus profesional. Tidak boleh ada yang tahu tentang perasaannya. Terutama Julian.
Pukul sepuluh kurang lima, Laura berdiri di depan cermin kecil di kantornya. Dia memperbaiki rambutnya yang disanggul rapi, memastikan lipstiknya tidak luntur, dan menarik napas dalam-dalam.
Kamu bisa melakukan ini, Laura. Kamu kuat. Kamu sudah melalui sepuluh tahun mencintainya dalam diam. Kamu bisa melalui satu meeting.
Dengan kepala tegak dan punggung lurus, Laura keluar dari kantornya menuju ruang meeting di ujung koridor.
Di depan pintu ruang direksi, dia berhenti sejenak. Dari balik pintu kaca buram, dia bisa melihat beberapa siluet sudah menunggu di dalam.
Laura menarik napas terakhir, lalu membuka pintu.
Julian duduk di seberang meja meeting, mengobrol dengan Direktur Utama Mahkota Property, Pak Widodo. Di samping Julian ada dua orang—seorang pria paruh baya dengan kacamata tebal dan seorang wanita muda membawa laptop.
Saat Laura masuk, semua mata tertuju padanya.
Termasuk mata Julian.
Dan untuk sesaat—sangat singkat—Laura melihat sesuatu berkilat di mata Julian. Pengakuan? Kebingungan? Tapi secepat itu muncul, secepat itu juga hilang.
"Ah, Laura!" Pak Widodo berdiri, tersenyum lebar. "Ini project leader kita untuk Green Valley. Laura Christina, Direktur Marketing kami yang terbaik."
Laura memaksa senyum profesionalnya, melangkah maju dan mengulurkan tangan. "Selamat pagi. Senang bisa bertemu."
Julian berdiri, menjabat tangan Laura dengan singkat. Tangannya besar, hangat, genggamannya kuat tapi tidak menyakitkan.
"Julian Mahardika," ujarnya dengan nada bisnis. "CEO Sentinel Security Services."
Tidak ada pengakuan di matanya. Tidak ada tanda bahwa dia ingat Laura dari lift tadi. Atau dari kampus sepuluh tahun lalu.
Bagi Julian, Laura adalah orang asing.
Dan entah kenapa, itu lebih menyakitkan daripada yang Laura bayangkan.
"Silakan duduk, Laura," ujar Pak Widodo, menunjuk kursi di seberang Julian.
Laura duduk dengan anggun, membuka laptopnya, dan memasang wajah profesional yang telah dia latih bertahun-tahun.
Meeting dimulai.
Dan Laura tahu—hidupnya baru saja menjadi jauh lebih rumit.