Prita dihantui mimpi-mimpi samar tentang sosok misterius dan sosok asing bernama Tana' Bulan. Di tengah kesehariannya yang tenang di Loka Pralaya bersama sahabat-sahabatnya, Wulan dan Reida, serta bimbingan bijak dari Nyi Lirah, mimpi-mimpi itu terasa lebih dari sekadar bunga tidur.
Sebuah buku kuno berkulit, Bajareng Naso, menjadi kunci misteri ini. Ditulis oleh Antaboga, legenda di dalamnya menyimpan jejak masa lalu Prita yang hilang—ingatan yang terkubur akibat pengembaraannya melintasi berbagai dunia. Nyi Lirah yakin, memahami legenda Bajareng Naso adalah satu-satunya cara untuk memulihkan kepingan-kepingan memori Prita yang berserakan.
Namun, pencarian kebenaran ini tidaklah mudah.
Akankah Prita berhasil memecahkan misteri mimpinya dan memulihkan ingatannya yang hilang? Siapakah tamu tak diundang itu, dan apa hubungannya dengan rahasia yang dijaga oleh Luh Gandaru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Margiyono, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Undangan
Benteng Jaga Barat.
Benteng Jaga Barat terletak sekitar seratus kilometer dari bangunan megah tempat Nyi Lirah tinggal. Tidak seperti pondok jaga utara di pinggiran pantai Sambutara yang sederhana, Benteng Jaga Barat ini memiliki bangunan yang besar, dikelilingi oleh benteng-benteng tinggi menjulang.
Beberapa penjaga tampak siaga di depan pintu masuknya. Empat menara intai berdiri kokoh di setiap sudut benteng. Di dalam benteng itu juga ada beberapa bangunan yang berjajar di sepanjang dindingnya.
Seperti biasanya, suasana Benteng Jaga Barat selalu terasa penuh kewaspadaan. Para penjaga berseragam lengkap terlihat sibuk melakukan berbagai aktivitas pengamanan. Di tengah area terbuka seperti lapangan dengan rumput hijau, tampak dua orang berseragam sedang berbicara serius, seorang pria tinggi besar dan seorang pemuda.
“Banu,” kata pria tinggi besar itu kepada pemuda di hadapannya. “Apakah kedatanganmu ke sini sepengetahuan Bei Rangga?” tanyanya lagi.
“Hmm, hari ini aku izin tidak berjaga di pondok selatan, Bei Tantra,” jawab pemuda yang ternyata bernama Banu itu.
“Oh, baiklah kalau begitu, ada perlu apa engkau datang kemari?” tanya Bei Tantra.
“Iya, aku membawa pesan dari ibu,” jawab Banu.
“Pesan? Pesan apa?” tanya Bei Tantra.
“Ibuku berpesan agar tiga hari yang akan datang engkau datang ke rumah kami,” jawab Banu.
“Tiga hari lagi?” gumam Bei Tantra.
“Iya, Bei Tantra,” jawab Banu.
“Apa ada hal lain yang disampaikan ibumu?” tanya Bei Tantra.
“Ibu tidak mengatakan hal lain, selain pesan beliau agar engkau datang menemuinya tiga hari lagi,” jawab Banu.
Bei Tantra tampak berpikir sejenak sebelum bertanya lagi pada Banu. “Apakah Bei Rangga juga diundang?”
“Iya, Bani yang menyampaikan pesan ibu kepada Bei Rangga di pondok jaga timur,” jawab Banu.
“Oh, begitu,” kata Bei Tantra. Sepertinya dia sedang menebak-nebak tentang undangan itu. Apakah ada hubungannya dengan hilangnya Bei Tama atau ada hal lain yang ingin dibicarakan? Menurutnya, tidak biasanya Banu datang ke tempat itu sendirian. Biasanya dia selalu bersama saudara kembarnya, Bani, ke mana pun dia pergi. Banu dan Bani adalah anak kembar dari mendiang Bei Tama, suami Luh Gandaru.
“Baiklah kalau begitu, sampaikan pada ibumu, aku akan datang tiga hari lagi,” jawab Bei Tantra mengakhiri pembicaraan mereka.
Lalu Banu segera pergi, keluar melalui gerbang besar. Tidak jauh dari sana, ada seekor burung Garudyn hitam besar yang sudah menunggunya. Di punggungnya terpasang pelana cokelat tua dari kulit, dan tali kekang melilit di leher burung besar itu. Banu segera menaiki burung itu dan terbang meninggalkan Benteng Jaga Barat menuju timur, ke arah bangunan megah tempatku tinggal. Setelah Banu pergi, tampak Bei Tama berjalan menyusuri lorong di bawah benteng, lalu masuk ke ruangannya.
Sementara itu..
Di bangunan megah ini. Aku sedang berada di kamarku, ditemani Wulan yang setia. Aku memandangi beberapa bunga Sambutara yang diberikan Nyi Lirah. Kondisinya masih segar dengan warna kuning keemasan yang semakin mempercantik penampilannya. Aku sangat menyukai bunga itu.
“Wulan,” kataku memecah kesunyian. “Aku masih belum mengerti perkataan Nyi Lirah tentang aku,” kataku selanjutnya.
“Perkataan Nyi Lirah yang mana?” tanya Wulan sambil tersenyum ramah, tangannya membetulkan posisi bunga di atas pot kecil.
“Maksudku, pesan yang disampaikan Nyi Lirah itu,” kataku, raut wajahku tampak khawatir.
“Oh, pesan Nyi Lirah,” kata Wulan sambil menghela napas. Sepertinya dia juga merasakan tekanan besar dari pesan yang disampaikan Nyi Lirah tadi pagi.
“Untuk saat ini, sebaiknya kamu jangan terlalu memikirkan hal itu, ya,” hibur Wulan untuk menenangkan perasaanku.
“Bagaimana aku tidak memikirkannya, Wulan? Pesan Nyi Lirah begitu berat kurasakan, terutama buat kalian. Kehadiranku semakin menambah beban buat kalian semua.” Suaraku terasa tertekan saat mengatakan itu.
“Seandainya waktu dapat kuputar kembali,” aku berhenti sejenak, “rasanya sebaiknya aku tidak ada sama sekali, tak perlu hadir di sini, bertemu kalian, dan membawa masalah yang kalian sendiri tidak tahu mengapa itu terjadi,” kataku kemudian.
Mendengar ucapanku, Wulan hanya menghela napas lagi. Dia tampak sedang berpikir untuk mengalihkan pembicaraan. Lama dia terdiam, tapi dia tetap berusaha tersenyum di depanku.
“Kami di sini sudah terbiasa dengan hal itu kok,” balas Wulan sambil tersenyum.
“Tapi menurutku ada hal lain yang lebih penting buatmu,” kata Wulan sambil menyipitkan matanya, seolah ingin menggoda.
“Hal penting, buatku?” tanyaku.
“Iya,” kata Wulan sambil tertawa.
“Apa?” tanyaku penasaran.
“Namamu! Itu hal yang penting sekarang,” kata Wulan sambil tertawa menjawab pertanyaanku.
“Namaku?” kataku sambil mengerutkan dahi. “Aku sendiri tidak tahu siapa namaku,” lanjutku.
“Justru itu! Memangnya kamu tidak sadar, sedari tadi aku kesulitan memanggilmu!” jawab Wulan.
“Repot juga loh, berteman dengan orang yang tidak ada namanya,” lanjut Wulan sambil tertawa.
Tanpa terasa, aku ikut tertawa karena tawa Wulan. Dengan sedikit menahan malu, aku ikut tertawa juga.
“Eh, iya juga… tapi aku benar-benar tidak tahu siapa aku,” jawabku.
“Hmm, bagaimana kalau kita cari nama baru buat kamu?” kata Wulan.
“Setidaknya untuk sementara saja, sebelum kamu benar-benar ingat siapa namamu,” lanjut Wulan.
Aku tertegun mendengar usulan Wulan. Aku tidak tahu harus setuju atau menolak.
Keduanya terasa membingungkan. Wulan masih menunggu jawabanku, matanya menatap tanpa berkedip, seolah ingin segera mendapat jawaban. Melihat tatapan Wulan seperti itu, akhirnya aku menyerah.
“Kalau menurutmu itu penting,” kataku kemudian, “aku setuju,” lanjutku.
“Nah, begitu dong,” kata Wulan sambil tertawa.
“Eh… tapi kira-kira apa ya? Nama yang bagus buat kamu?” kata Wulan seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Wulan terdiam agak lama, mencoba menimbang-nimbang nama apa yang cocok untukku.
“Ah, bagaimana kalau Prita?” kata Wulan akhirnya.
“Tiba-tiba saja nama itu terbersit dalam pikiranku,” Wulan berhenti sejenak, memperhatikan reaksiku.
“Kamu setuju tidak?” tanyanya kemudian.
“Prita?” tanyaku. “Kenapa harus Prita?” lanjutku penasaran.
“Hmm, kenapa ya?” Wulan bergumam pada dirinya sendiri, mencari alasan yang tepat.
“Karena… itu cocok buatmu!” jawabnya kemudian.
“Karena menurutku, nama itu simpel dan cantik, seperti kamu!” kata Wulan menggoda.
Mendengar jawaban Wulan, aku tersipu malu. Aku tidak menduga Wulan sudah punya nama alternatif untukku.
“Kalau kamu suka, aku tidak apa-apa kamu panggil Prita, setidaknya untuk sementara ini,” jawabku akhirnya.
“Nah, begitu dong, Prita!” kata Wulan kegirangan.
“Iya,” jawabku singkat.
“Dan mulai saat ini, aku akan memanggilmu Prita, oke?” kata Wulan, memastikan.
“Iya, iya,” jawabku.